Apa itu makna Tabarruj? Definisi, Maksud dan Penafsiran Ulama

Apa itu makna Tabarruj? Definisi, Maksud dan Penafsiran Ulama

Oleh: Amir Mahmud

Surat Al-Ahzab Ayat 33

وَ قَرْنَ فِي بُيُوْتِكُنَّ وَ لاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَ أَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَ آتِيْنَ الزَّكَاةَ وَ أَطِعْنَ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَ يُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا .

Artinya:

Dan hendaklah kalian (istri-istri Rasulullah) tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj  seperti tabarrujnya orang-orang jahiliah dahulu, dan kalian tegakkanlah shalat dan kalian tunaikanlah zakat dan kalian taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya tiada lain Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian, wahai ahlul bait dan Dia hendak membersihkan kalian benar-benar  bersih.

Khitab Ayat

Para mufasir  mengatakan bahwa khithab ayat ini ditujukan kepada istri-istri Rasulullah. [1]

Meskipun khithab ayat ini ditujukan kepada istri-istri Rasulullah, akan tetapi ayat ini berlaku juga untuk semua wanita muslimat. [2]

Makna Tabarruj Secara Bahasa dan Secara Syar’i

Makna tabarruj secara bahasa adalah menampakkan perhiasan dan keindahan kepada para lelaki ajnabi. [3]

Adapun secara syar’i, maknanya tidak menyimpang dari makna tabarruj secara bahasa. [4]

Hadis Yang Berkaitan dengan Makna Tabarruj

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا ، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ ، وَ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ ، رُءُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ ، لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ ، وَ لاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا ، وَ إِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا . [5] رَوَاهُ مُسْلِمٌ .

Artinya:

Dari Abi Hurairah, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, Ada dua golongan penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat: kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, yang mereka gunakan untuk memukul orang. Dan wanita-wanita berpakaian tetapi sama dengan bertelanjang, memikat hati para lelaki, berjalan dengan berlenggak-lenggok, (rambut) kepala-kepala mereka bagaikan punuk unta. Wanita-wanita tersebut tidak masuk jannah, dan tidak dapat mencium baunya. Dan sesungguhnya baunya itu sungguh tercium dari jarak sekian dan sekian”.HR Muslim.

Makna كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ adalah:

a). Memakai pakaian tipis yang menampakkan tubuh. [6]

b). Memakai pakaian ketat yang menggambarkan bentuk tubuh. [7]

c). Menutup sebagian tubuh dan membuka sebagian yang lain. [8]

Adapun makna مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ adalah: wanita-wanita yang suka memikat para lelaki [9],  atau menampakkan kecantikan dan perhiasannya kepada lelaki serta berjalan dengan berlenggak-lenggok. [10]

Inti dari makna كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ di atas adalah menampakkan aurat, adapun makna مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ adalah bergaya dengan gaya yang dapat menimbulkan fitnah dan membangkitkan syahwat lelaki. Kedua hal tersebut termasuk dalam kategori tabarruj (sebagaimana analisa penafsiran ulama tentang makna tabarruj yang akan datang).

Dengan demikian, hadits ini dapat dijadikan hujah untuk memaknai tabarruj dengan menampakkan aurat dan bergaya dengan gaya yang dapat menimbulkan fitnah dan membangkitkan syahwat lelaki, wallahu a’lam.

Penafsiran Ulama tentang Makna Tabarruj

Tabarruj adalah Berjalan Bolak-Balik di antara Para Lelaki

Mujahid mengartikan bahwa tabarruj adalah berjalan bolak-balik di antara para lelaki [11]

Catatan: Penafsiran ini sangat berkaitan dengan kalimat sebelumnya. Kalimat sebelumnya adalahوَ قَرْنَ فِى بُيُوْتِكُنَّ  yang artinya dan hendaklah kalian menetap di rumah-rumah kalian. Isma’il Al-Burusawi menerangkan  dalam kitab tafsirnya bahwa maksud وَ قَرْنَ فِى بُيُوْتِكُنَّ  adalah menetap di rumah dan tinggal di dalamnya. [12]

Perintah untuk menetapi tempat tinggal pada ayat ini ditujukan kepada istri-istri Nabi. Akan tetapi perintah itu juga berlaku untuk semua wanita muslimat. Sebagaimana telah dibahas pada pembahasan khitab ayat.

Dari perintah untuk menetapi tempat tinggal pada ayat ini dapat diambil pengertian bahwa wanita dilarang keluar rumah. Pengambilan pengertian ini berdasarkan kaidah ushul fiqh, yaitu:,اْلأَمْرُ بِالشَّيْئِ نَهْيٌ عَنْ ضِدِّهِ  yang artinya perintah terhadap sesuatu merupakan larangan dari kebalikannya. [13]

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud disebutkan bahwa wanita adalah aurat. Apabila dia keluar niscaya syaitan akan menghiasinya. [14] Syu’aib Al-Arna`uth [15] dan Al-Albani [16] menilai bahwa hadits ini adalah hadits shahih.

Al-Mubarakfuri menerangkan bahwa apabila wanita keluar maka setan akan menghiasinya pada pandangan para lelaki. Jadi makna hadits Abdullah bin Mas’ud tersebut adalah keluarnya wanita itu dianggap jelek, karena setan akan selalu menghiasinya, sehingga dapat menimbulkan fitnah pada laki-laki atau keduanya.[17]

Adapun larangan keluar rumah bagi para wanita yang telah disebutkan di atas tidak berlaku mutlak, karena para shahabiyyat di zaman Nabi diperbolehkan keluar rumah, seperti untuk shalat berjama’ah di masjid, sebagaimana hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori. [18]

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menerangkan bahwasanya wanita-wanita diperbolehkan keluar rumah untuk melaksanakan shalat berjama’ah di masjid [19]. Selain itu, mereka juga diperbolehkan keluar rumah untuk menghadiri majlis ta’lim [20], membantu mengobati muslimin yang terluka di medan perang [21], menyaksikan shalat ‘Id di tanah lapang [22], menjenguk orang sakit [23].

Kesimpulan:

1). Berdasarkan uraian di atas, bisa diambil pengertian bahwa larangan keluar bagi wanita bukan larangan untuk pengharaman. Oleh karena itu, wanita diperbolehkan untuk keluar rumah tatkala ada keperluan. Mereka dilarang keluar rumah hanya untuk berjalan bolak-balik di antara para lelaki.

2). Berkaitan dengan pembahasan ini, tabarruj dengan makna berjalan bolak-balik di antara para lelaki tanpa ada keperluan dapat diterima.

Tabarruj  adalah Berjalan dengan Lemah Gemulai dan Genit

Qatadah mengartikan bahwa tabarruj adalah berjalan dengan lemah gemulai dan genit [24]

Catatan: Al-Mawardi menerangkan bahwa pendapat ini semakna dengan sebagian lafal dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Hurairah. [25] beliau menafsirkan lafal الْمَائِلاَتُ الْمُمِيْلاَتُ yang terdapat pada hadis itu dengan wanita-wanita yang memikat hati para lelaki.

Penjelasan di atas menunjukkan  bahwa wanita yang berjalan dengan lemah gemulai dan genit adalah wanita yang dapat memfitnah hati para lelaki yang melihat mereka. Adapun tentang fitnah wanita, Rasulullah bersabda “Tidaklah aku tinggalkan sesudahku (wafat) fitnah yang lebih memadlarati para lelaki daripada wanita.” HR Al-Bukhori [26]

Kesimpulan: (1). Dari uraian di atas, diketahui bahwa wanita disebut bertabarruj tatkala melakukan perbuatan yang menimbulkan fitnah terhadap laki-laki. (2). Tabarruj dengan makna berjalan dengan lemah gemulai dan genit dapat diterima karena dapat menimbulkan fitnah terhadap laki-laki.

Tabarruj adalah Berjalan dengan Meliuk-liuk ke Kanan dan ke Kiri

Ibnu Abi Najih memaknai bahwa tabarruj adalah berjalan dengan meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri [27]

Catatan: Pendapat tersebut sesuai dengan makna sebagian lafal dari hadits Abu Hurairah yang telah lewat. Lafal hadits tersebut adalah مَائِلاَتٌ. Muhammad Al-Amin Al-Harari menerangkan bahwa lafal tersebut bermakna meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri dalam berjalan. Mereka melakukan hal tersebut untuk memikat hati dan memfitnah para lelaki [28].

Tabarruj adalah Menampakkan Kalung, Anting-Anting, dan Leher

Muqatil memaknai bahwa tabarruj adalah berkerudung tetapi tampak kalung, anting-anting, dan lehernya [29]

Catatan: makna tersebut  berkaitan dengan kalam Allah dalam surat An-Nur (24): 31, yaitu:  وَ لْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ (dan hendaklah mereka menjuraikan kerudung-kerudung mereka sampai dada-dada mereka).

Ibnu ‘Ajibah mengatakan bahwa sebab turun surat An-Nur (24): 31 ini adalah kebiasaan wanita-wanita di masa jahiliah dalam mengenakan kerudung dengan menjuraikannya ke arah belakang, padahal kerah baju mereka lebar, sehingga leher, kalung, dan dada mereka tampak. Dengan sebab ini, mereka diperintahkan untuk menjuraikan kerudung mereka sampai dada untuk menutup aurat-aurat yang terlihat darinya. [30]

Dalam surat Al-Ahzab ayat 33 ini, Allah melarang wanita mukminat untuk mengikuti gaya wanita jahiliah, sedangkan kebiasaan wanita jahiliah dalam mengenakan kerudung adalah dengan menjuraikan ke belakang sehingga leher, kalung, dada, dan aurat mereka tampak, sebagaimana sebab turun ayat 31 surat An-Nur.

Tabarruj adalah Memakai Pakaian dari Mutiara Kemudian Berjalan di Luar Rumah

Al-Kalbi memaknai bahwa tabarruj adalah memakai pakaian dari mutiara kemudian dia berjalan di luar rumah. [31]

Catatan: Makna ini sebagaimana makna tabarruj secara bahasa yaitu menampakkan perhiasan dan keindahan kepada para lelaki ajnabi.

Pakaian dari mutiara merupakan pakaian yang indah dan mewah. Pada asalnya, memakai perhiasan merupakan sesuatu  yang diperbolehkan bagi wanita [32]. Akan tetapi, apabila wanita mengenakan pakaian indah atau perhiasan mewah yang dapat menimbulkan syahwat lelaki, maka hal tersebut dilarang [33].

Selain itu, As-Sayyid Quthb menyatakan bahwa banyak orang yang lebih tergoda tatkala melihat sepatu, baju, atau perhiasan wanita daripada melihat tubuh wanita itu sendiri [34].

Kesimpulan: Dari uraian di atas, diketahui bahwa wanita yang memakai pakaian yang berhiaskan mutiara, kemungkinan besar dapat menggoda lelaki yang melihatnya.

Dengan demikian, tabarruj dengan makna memakai pakaian yang berhiaskan mutiara kemudian berjalan di luar rumah dapat diterima.

Tabarruj adalah Menampakkan Perhiasan dan Kecantikan kepada  Para Lelaki

Mu’inuddin Al-Husaini memaknai bahwa tabarruj adalah menampakkan perhiasan dan kecantikan kepada para lelaki. [35]

Mufasir lain yang berpendapat demikian adalah Jalaluddin Al-Mahalli [36], As-Sayyid Muhammad Husain Fadl-lullah [37], Wahbah Az-Zuhaili [38], Al-Maraghi [39], dan Muhammad ‘Ali Ash-Shabuni [40].

Catatan: Pendapat ini sesuai dengan surah An-Nur (24) ayat 31 …وَ لاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا… (dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa-apa yang tampak darinya).

Al-Maraghi menerangkan bahwa maksud ayat tersebut adalah wanita dilarang menampakkan perhiasannya kepada lelaki ajnabi, kecuali perhiasan yang biasanya tidak mungkin disembunyikan, seperti cincin dan celak. [41] Wahbah Az-Zuhaili menerangkan bahwa ayat tersebut mengandung larangan untuk menampakkan bagian tubuh yang dikenakan perhiasan padanya, seperti: dada, telinga, leher, lengan bawah, lengan atas, dan betis. [42]

Adapun makna إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا adalah wajah dan kedua telapak tangan, sebagaimana pernyataan Ath-Thabari [43], Al-Qurthubi [44], dan Yusuf Al-Qardlawi [45].

Kesimpulan: Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa wanita dilarang untuk menampakkan perhiasan dan anggota tubuh yang dikenakan perhiasan padanya kecuali wajah dan kedua telapak tangan kepada lelaki ajnabi. Dengan demikian, tabarruj dengan makna menampakkan perhiasan dan kecantikan kepada para lelaki dapat diterima.

Tabarruj adalah Menampakkan Kecantikan yang Wajib Ditutupi yang Dapat Membangkitkan Syahwat Lelaki

Al-Wahidi memaknai bahwa tabarruj adalah menampakkan kecantikan yang wajib ditutupi yang dapat membangkitkan syahwat lelaki [46]

Mufasir lain yang berpendapat sebagaimana pendapat ini  adalah Asy-Syaukani [47], Abu Thayyib Al-Husaini [48], Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi [49], dan Abu ‘Ubaidah [50].

Catatan: Penafsiran ini berarti wanita menampakkan apa yang harus dia tutup dari tubuhnya, yaitu aurat. Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan sebagaimana yang dikemukakan oleh Abuth Thayyib Abadi [51]. Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari ‘Aisyah. Hadits ini adalah hadits hasan lighairihi [52]. Hadits hasan lighairihi dapat dijadikan hujah [53].

Wanita yang menampakkan auratnya dapat membangkitkan syahwat lelaki yang melihatnya. Hal ini sebagaimana yang telah terjadi di zaman Rasulullah yang tercantu dalam hadis Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh At-Turmudzi. [54] Syu’aib Al-Arna`ut [55] dan Al-Albani [56] menyatakan bahwa hadits ini shahih dengan sebab adanya hadits lain yang menguatkannya.

Tabarruj adalah Memakai Pakaian Tipis yang Menampakkan Bentuk Tubuh

Ibnul ‘Arabi memaknai bahwa tabarruj adalah memakai pakaian tipis yang menampakkan bentuk tubuh [57] Beliau mengatakan bahwa hal ini sesuai dengan makna lafal hadits Abu Hurairah  كَاسِيَاتٌ عَارِِِيَاتٌ.

Catatan: Penafsiran lafal كَاسِيَاتٌ عَارِِِيَاتٌ yang diungkapkan oleh Ibnul ‘Arabi ini sebagaimana salah satu penafsiran yang dinyatakan oleh ‘Isa bin Dinar [58], Malik [59], dan Ibnu ‘Abdil Barr [60].

Ash-Shabuni [61] menerangkan bahwa tujuan berpakaian adalah untuk menutup tubuh. Hal itu tidak akan tercapai kecuali dengan mengenakan pakaian tebal, sedangkan pakaian tipis justru menambah fitnah [62].

Tabarruj adalah Tampak di Hadapan Manusia

Nashir Makarim Asy-Syirazi memaknai bahwa tabarruj adalah tampak di hadapan manusia. [63]

Catatan: terdapat beberapa hadits yang menunjukkan bolehnya keluar rumah bagi wanita. Padahal keluarnya wanita dari rumah memungkinkan baginya untuk tampak di hadapan manusia. Yaitu:

1). Hadits Ummu ‘Athiyyah Al-Anshariyyah tentang keluarnya dia bersama Rasulullah dalam perang. Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim. [64]

2). Hadits Anas bin Malik tentang wanita yang keluar kepada Nabi untuk mengadukan  suatu perkara. Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim. [65]

Kesimpulan: tabarruj dengan makna tampak di hadapan manusia tidak diterima.

Tabarruj adalah Memakai Pakaian Tipis yang Berwarna

Penafsiran bahwa tabarruj bermakna memakai pakaian tipis yang berwarna disebutkan di dalam kitab tafsir Tanwirul Miqbas. [66]

Catatan: Penafsiran tersebut sesuai dengan makna hadis Abu Hurairah yang telah lewat. Pada hadits ini terdapat lafal  كَاسِيَاتٌ عَارِِِيَاتٌ , (wanita-wanita yang berpakaian tetapi sama dengan bertelanjang).

Al-Baji menerangkan bahwa makna lafal tersebut adalah wanita-wanita yang mengenakan pakaian tipis yang transparan sehingga apa yang ada dibalik pakaian dapat terlihat, atau tipis yang tidak transparan tetapi ketat sehingga menampakkan bentuk tubuh mereka. [67]

Ibnu Taimiyyah menerangkan bahwa lafal tersebut dapat ditafsirkan dengan wanita-wanita memakai pakaian tipis yang menampakkan kulit atau memakai pakaian sempit yang menggambarkan lekuk tubuh. [68]

Adapun tentang warna pakaian, para wanita tidak dilarang untuk mengenakan pakaian dengan warna apa pun, dengan syarat tidak menimbulkan fitnah. [69] Akan tetapi, jika warna tersebut menyelisihi warna yang dipakai orang di sekitarnya sehingga menarik perhatian mereka, maka warna tersebut termasuk dalam kategori pakaian syuhrah (pakaian yang dimaksudkan untuk mencari ketenaran di kalangan manusia [70]). [71]

Rasulullah mengancam orang yang memakai pakaian syuhrah, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad. [72] Syu’aib Al-Arna`uth menyatakan bahwa hadits ini berderajat hasan. [73]

Kesimpulan:

Makna tabarruj pada surat Al-Ahzab ayat 33 adalah:

A). Keluar rumah bertujuan memamerkan diri kepada lelaki.

B). Bergaya dengan gaya yang dapat menimbulkan fitnah dan membangkitkan syahwat lelaki.

C). Menampakkan aurat.

 

Artikel ini diringkas dan diedit oleh Muhammad Iqbal dari tulisan ilmiyyah yang dituis oleh Amir Mahmud yang berjudul ‘Telaah Makna Tabarruj pada Surat Al-Ahzab ayat 33″ sebagai syarat lulus dari Ma’had Al-Islam Surakarta

 

FOOTNOTE:

[1] Lihat Tafsirul Qur`anil ‘Adhim susunan Ibnu Katsir, jld. 3, jz. 6, hlm. 245; Tafsirubni ‘Utsaimin susunan Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, jld. 5, hlm. 506; dan Taisiru Karimir Rahman susunan As-Sa’di, hlm. 632.

[2] Lihat At-Tafsirul Munir susunan Wahbah Az-Zuhaili, jld. 11, jz. 22. hlm. 13.

[3] Ibnu Mandhur, Lisanul ‘Arab, jld. 1, hlm. 359.

[4] Lihat Al-Mausu’atul Fiqhiyyah susunan Wuzaratul Auqaf, jld. 10, hlm. 61.

[5] Muslim, shahihu Muslim, jld. 4, hlm. 344, H. 2128.

[6] Lihat At-Tamhid susunan Ibnu ‘Abdil Bar, jld. 5, hlm. 222.

[7] Lihat Al-Muntaqa susunan Al-Baji, jld. 6, hlm. 211.

[8] Lihat Al-Kaukabul Wahhaju War Raudlul Bahhaju fi Syarhi Shahihi Muslimibnil Hajjaj susunan Muhammad Al-Amin Al-Harari, jld. 21, hlm. 514.

[9] Lihat Tafsirul Mawardi susunan Abul Hasan Al-Mawardi, jld. 4, hlm. 399.

[10] Lihat Al-Kaukabul Wahhaju war Raudlul Bahhaju fi Syarhi Shahihi Muslimibnil Hajjaj susunan Muhammad Al-Amin Al-Harari, jld. 21, hlm. 514.

[11] ‘Abdurrazzaq Ash-Shan’ani, Tafsiru ‘Abdirrazzaq, jld. 3, hlm. 38.

[12] Al-Burusawi, Ruhul Bayan, jld. 7, hlm. 170.

[13] Lihat Ushulul Fiqhil Islami susunan Wahbah Az-Zuhaili, jld. 1, hlm. 223.

[14] At-Tirmidzi, Al-Jami’ush Shahihu wahuwa Sunanut Tarmidzi, jld. 2, hlm. 230, H. 1173.

[15] Lihat Al-Jami’ul Kabir (Sunanut Tirmidzi) susunan At-Tirmidzi, jld. 3, hlm. 30, pada bagian footnote.

[16] Lihat Silsilatul Ahaditsish Shahihah susunan Muhammad Nashiruddin Al-Albani, jld. 6, hlm. 424.

[17] Lihat Tuhfatul Ahwadzi susunan Al-Mubarakfuri, jld. 4, hlm. 337-338.

[18] Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld. 1, jz. 1, hlm. 151, k. Mawaqitush Shalah, b. Waktil Fajri.

[19] Lihat Fathul Bari susunan Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, jld. 2, hlm. 249.

[20] Lihat Shahihul Bukhari susunan Al-Bukhari, jld. 1, jz. 1, hlm. 36.

[21] Lihat Shahihu Muslim susunan Muslim, jld. 4, hlm. 93, h. 137.

[22] Lihat Shahihul Bukhari susunan Al-Bukhari, jld. 1, jz. 2, hlm. 26.

[23] Lihat Shahihul Bukhari susunan Al-Bukhari, jld. 3, jz. 7, hlm. 151, k. Ath-Thib, b. ‘Iyadatun Nisa`ir Rijal.

[24] Lihat Ad-Durrul Mantsuru fit Tafsiril Ma`tsur susunan As-Suyuthi, jld. 5, hlm. 375.

[25] Lihat Tafsirul Mawardi susunan Abul Hasan Al-Mawardi, jld. 4, hlm. 399.

[26] Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld. 3, jz. 7, hlm. 11, k. An-Nikah, b. Ma Yuttaqa min Syu`mil Mar`ah.

[27] Lihat Ad-Durrul Mantsuru fit Tafsiril Ma`tsur susunan As-Suyuthi, jld. 5, hlm. 375.

[28] Lihat Al-Kaukabul Wahhaju war Raudlul Bahhaju fi Syarhi Shahihi Muslimibnil Hajjaj susunan Muhammad Al-Amin Al-Harari, jld. 21, hlm. 514.

[29] As-Suyuthi, Ad-Durrul Mantsuru fit Tafsiril Ma`tsur, jld. 5, hlm. 375.

[30] Lihat Al-Bahrul Madidu fi Tafsiril Qur`anil Majid, susunan Ibnu ‘Ajibah, jld. 5, hlm. 69.

[31] Ibnul Jauzi, Zadul Masiri fi ‘Ilmit Tafsir, jld. 3, jz. 6, hlm. 206.

[32] Lihat Ahkamuz Zinati lin Nisa` susunan ‘Amr ‘Abdul Mun’im Salim, hlm. 3.

[33] Lihat ‘Aunul Ma’bud susunan Abuth Thayyib Abadi, jld. 2, hlm. 273.

[34] Lihat Fi Dhilalil Qur`an susunan As-Sayyid Quthub, jld. 6, jz. 18, hlm. 97.

[35] Mu’inuddun Al-Husaini, Jami’ul Bayani fi Tafsiril Qur`an, hlm. 756.

[36] Lihat Tafsirul Jalalain susunan Jalaluddin As-Suyuthi dan Jalaluddin Al-Muhalli, hlm. 422.

[37] Lihat Min Wahyil Qur`an susunan As-Sayyid Muhammad Husain Fadl-lullah, jld. 18, hlm. 298.

[38] Lihat At-Tafsirul Munir susunan Wahbah Az-Zuhaili, jld. 11, jz. 22, hlm. 10.

[39] Lihat Tafsirul Maraghi susunan Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, jld. 8, jz. 22, hlm. 5.

[40] Lihat Shafwatut Tafasir susunan Muhammad ‘Ali Ash-Shabuni, jld. 2, hlm. 504.

[41] Lihat Tafsirul Maraghi susunan Al-Maraghi, jld. 6, jz. 18, hlm. 99.

[42] Lihat At-Tafsirul Munir susunan Wahbah Az-Zuhaili, jld. 9, jz. 18, hlm. 216-217.

[43] Lihat Jami’ul Bayani fi Tafsiril Qur`an susunan Ath-Thabari, jld. 9, jz. 18, hlm. 94.

[44] Lihat Al-Jami’u li Ahkamil Qur`an susunan Al-Qurthubi, jld. 6, hlm. 212.

[45] Lihat Fatawa Mu’ashirah susunan Yusuf Al-Qardlawi, jld. 2, hlm. 319.

[46] ‘Ali bin Ahmad Al-Wahidi, Al-Wasithu fi Tafsiril Qur`anil Majid, jld. 3, hlm. 469.

[47] Lihat Fathul Qadir susunan Asy-Syaukani, jld. 4, hlm. 278.

[48] Lihat Fathul Bayani fi Maqashidil Qur`an susunan Al-Qanuji, jld. 5, hlm. 364.

[49] Lihat Tafsirul Qasimi susunan Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi, jld. 5, hlm. 506.

[50] Lihat Ruhul Ma’ani susunan Al-Alusi, jld. 11, hlm. 189.

[51] Lihat ‘Aunul Ma’bud susunan Abuth  Thayyib Abadi, jld. 11, hlm. 162.

[52] Lihat Sunanu Abi Dawud susunan Abu Dawud, jld. 6, hlm. 199, pada footnote no. 1.

[53] Lihat Taisiru Mushthalahil Hadits susunan Mahmud Ath-Thahhan, hlm. 43.

[54] At-Tirmidzi, Al-Jami’ul Kabir (Sunanut Tirmidzi), jz.. 3, hlm. 57.

[55]  Lihat Al-Jami’ul Kabir (Sunanut Tirmidzi) susunan At-Tirmidzi, jld. 3, hlm. 57, pada footnote no. 2.

[56] Lihat Irwa`ul Ghalil susunan Muhammad Nashiruddin Al-Albani, jz. 7, hlm. 179.

[57] Ibnul ‘Arabi, Ahkamul Qur`an, jld. 3, hlm. 419.

[58] Lihat Al-Muntaqa susunan Al-Baji, jld. 9, hlm. 311.

[59] Lihat Tafsirut Tahriri wat Tanwir susunan Ibnu ‘Asyur, jld. 8, jz. 18, hlm. 207.

[60] Lihat At-Tamhid susunan Ibnu ‘Abdil Barr, jld. 5, hlm. 222.

[61] Lihat Rawa`i’ul Bayan susunan Ash-Shabuni, jld. 2, hlm. 384.

[62] Lihat Al-Ikhtiyaratul Fiqhiyyah susunan Ibrahim Abu Syada, hlm. 409.

[63] Nashir Makarim Asy-Syirazi, Al-Amtsal, jld. 13, hlm. 216.

[64] Muslim, Shahihu Muslim, jld. 4, hlm. 93, h. 142.

[65] Muslim, Shahihu Muslim, jld. 4, hlm. 491, h. 2326.

[66] Al-Fairuz Abadi, Tanwirul Miqbasi min Tafsiribni ‘Abbas, hlm. 444.

[67] Lihat Al-Muntaqa susunan Al-Baji, jld. 6, hlm. 211.

[68] Lihat Majmu’atul Fatawa susunan Ibnu Taimiyyah, jld. 11, jz. 22, hlm. 91.

[69] Lihat Fatawal Lajnatud Da`imah susunan Ahmad bin ‘Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, jld. 17, hlm. 108.

[70] Lihat Al-Ikhtiyaratul Fiqhiyyah susunan Ibrahim Abu Syada, hlm. 414.

[71] Lihat Nailul Authar susunan Asy-Syaukani, jld. 2, hlm. 94.

[72] Ahmad bin Hanbal, Musnadul Imami Ahmadabni Hanbal, jld. 9, hlm. 476, h. 5664.

[73] Lihat Musnadul Imami Ahmadabni Hanbal susunan Ahmad bin Hanbal, jld. 9, hlm. 476, h. 5664, pada footnote no. 1.

Tinggalkan komentar