Apakah Paha Laki-Laki Aurat?

Apakah Paha Laki-Laki Aurat?

Oleh: Abdurrozzaq Muttaqin

Pendapat Ulama

Paha Laki-Laki adalah Aurat

ulama yang berpendapat paha laki-laki aurat adalah Asy-Syafi’i (Al-Umm, 1/109), Muhammad bin Muflih (Al-Furu’ 1/207), Asy-Syaukani (Nailul Author 2/52), Ash-Shagharji (Al-Fiqhul Hanafi wa Adillatuhu 1/147), Az-Zuhaili (Al-Wajiz 1/153), dan sejumlah ulama dari Al-Lajnatud Da`imatu lil Buhutsil ‘Ilmiyyati wal Ifta` (Fatawa Lajnah Da`imah 6/167).

Secara umum, pendapat bahwa paha laki-laki adalah aurat itu ada dalam madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu 1/637, 641, 644).

Asy-Syafi’i dan Ibnu Muflih tidak menyebutkan dalil yang melandasi pendapat mereka. Asy-Syaukani dan Lajnah Daimah mendasarkan pendapat mereka pada hadits Jarhad, ‘Ali bin Abi Thalib, Muhammad bin Jahsy, dan Ibnu ‘Abbas. Ash-Shagaharji mendasarkan pendapatnya pada hadits Jarhad, Muhammad bin Jahsy, dan ‘Abdullah bin ‘Amr. Adapun Az-Zuhaili mendasarkan pendapatnya pada hadits Muhammad bin Jahsy.

Catatan: hadits-hadits yang menjadi dasar pendapat ini berderajat dla’if dan menyelisihi hadits-hadits shahih yang menunjukkan bahwa paha laki-laki bukan aurat, yaitu hadits Anas bin Malik dan ‘Aisyah, sehingga tidak dapat dijadikan hujah

Paha Laki-Laki bukan Aurat

Ulama yang berpendapat bahwa paha bukan aurat adalah Ahmad (Fathul Bari 2/32), Al-Bukhari (Fathul Bari 2/27), Ibnu Hazm (Al-Muhalla 3/210) dan para pengikut madzhab Adh-Dhahiriyyah (Fathul Bari 2/32).

Al-Bukhari berdalil dengan hadits Anas bin Malik. Ibnu Hazm berdalil dengan hadits Anas bin Malik, Zaid bin Tsabit, ‘Aisyah, dan Abu Dzar, serta atsar Anas bin Malik. Adapun Ahmad dan pengikut madzhab Adh-Dhahiriyyah, penulis tidak mendapati dalil yang menjadi dasar pendapat mereka.

Catatan: pendapat ini dapat diterima karena hadits Anas bin Malik, hadits ‘Aisyah, dan atsar Anas bin Malik berderajat shahih dan menunjukkan bahwa paha laki-laki bukan aurat. Adapun hadits Zaid bin Tsabit dan hadits Abu Dzar tidak menunjukkan bahwa paha laki-laki bukan aurat, sehingga tidak dapat dijadikan hujah bagi pendapat ini, sebagaimana telah penulis jelaskan pada analisis hadits Zaid bin Tsabit dan hadits Abu Dzar.

Paha Laki-Laki adalah Aurat apabila Berkaitan dengan Kemuliaan-Kemuliaan Akhlaq

Dalam catatan kaki pada Kitabul Furu’ disebutkan bahwa Ibnu Rusyd Ibnu Rusyd mengatakan bahwa menutup paha itu wajib dalam kaitannya dengan kemuliaan-kemuliaan dan kebagusan-kebagusan akhlak. Beliau berpendapat bahwa hadits-hadits yang membahas tentang paha itu tidak bertentangan, melainkan masing-masing menempati posisinya sendiri. Menurut beliau, paha laki-laki memang tidak harus ditutup secara wajib sebagaimana kubul dan dubur, akan tetapi tetap harus ditutup ketika seorang laki-laki berada di tengah keramaian atau di hadapan orang yang terpandang. Beliau mengatakan bahwa pendapat ini merupakan wujud pengamalan dari semua riwayat yang ada tentang paha, sedangkan mengamalkan seluruh dalil yang ada itu lebih baik daripada membuang sebagiannya (Al-Furu’ 1/208).

Catatan: dalam ilmu Ushul Fiqh disebutkan bahwa salah satu langkah yang harus ditempuh dalam menghindari pertentangan dalil adalah memeriksa keshahihan dalil tersebut (Ma’alimu Ushul Fiqh Inda Ahlissunnah, hlm. 272).

Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa paha laki-laki adalah aurat, yaitu hadits Jarhad, ‘Ali bin Abi Thalib, dan ‘Abdullah bin ‘Amr itu berderajat dla’if, sedangkan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa paha laki-laki bukan aurat, yaitu hadits Anas bin Malik dan ‘Aisyah berderajat shahih. Dengan demikian, hadits-hadits tersebut tidak dapat dipertentangkan, karena hadits dla’if tidak boleh dijadikan sebagai hujah ataupun penetap suatu hukum (Ma’alimu Ushul Fiqh Inda Ahlissunnah, hlm. 147)

Kesimpulan:

Paha laki-laki bukan aurat.

Hendaklah muslimin yang berpendapat bahwa paha laki-laki bukan aurat menghormati muslimin yang berpendapat bahwa paha laki-laki adalah aurat, demikian pula sebaliknya.

Dalil-Dalil yang berkaitan dan analisa ringkasnya

Hadits Anas tentang Paha Rasulullah Terbuka

عَنْ أَنَسٍ … وَ إِنَّ رُكْبَتِيْ لَتَمَسُّ فَخِذَ نَبِيِّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ثُمَّ حَسَرَ اْلإِزَارَ عَنْ فَخِذِهِ حَتَّى إِنِّيْ أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ فَخِذِ نَبِيِّ اللهِ… . [1] رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ .

Artinya:

Dari Anas … dan sungguh lututku menyentuh paha Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau menyingkapkan kain dari paha beliau sampai aku melihat putihnya paha Nabi Allah… .” HR Al-Bukhari dan Muslim [2].

An-Nawawi berpendapat bahwa lafal hadits حَسَرَ اْلإِزَارَ (beliau menyingkapkan kain) dalam riwayat Al-Bukhari memungkinkan untuk dimaknai sebagaimana riwayat Muslim yang menggunakan lafal انْحَسَرَ الإِزَارُ (kain itu tersingkap), sehingga hadits ini menunjukkan bahwa pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbuka tanpa beliau sengaja. (Shahih Muslim bi Syarh Nawawi 6;12/163-164)

Menurut Ibnu Hajar, ada yang membaca lafal حسر pada riwayat Al-Bukhari dengan حُسِرَ (tersingkap), dengan dalil adanya riwayat Muslim yang berlafal انْحَسَرَ . Menurut beliau, pembacaan itu tidak tepat, karena riwayat Muslim itu tidak harus sama dengan riwayat Al-Bukhari. Terlebih lagi dalam bab ini Al-Bukhari memberi keterangan وَ قَالَ أَنَسٌ حَسَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ (dan Anas berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkapkan (pakaian).” Hal ini menunjukkan bahwa Al-Bukhari berpendapat bahwa pembacaan yang benar adalah حَسَرَ (menyingkapkan). [Fathul Bari 2/32] 

Catatan: lafal hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dapat menunjukkan bahwa paha laki-laki bukan aurat, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hajar (Fathul bari 2/32-33). Beliau menambahkan bahwa kalau saja kejadian tersebut menjadi pedoman hukum bagi orang yang tidak sengaja, maka seharusnya ada keterangan setelah kejadian yang menerangkan bahwa kejadian itu tidak disengaja, sebagaimana yang terjadi ketika beliau lupa dalam shalat (Fathul Bari 2/32).

Dalam ilmu ushul fiqh disebutkan bahwa Nabi tidak mungkin mengakhirkan keterangan ketika dibutuhkan, karena diamnya Nabi itu menunjukkan bolehnya suatu perbuatan yang beliau diamkan (Ma’alim Ushul Fiqh Inda Ahlissunnah wal Jama’ah, hlm. 129).

Kesimpulan: hadits ini menjadi dalil bahwa paha laki-laki bukan aurat.

Hadits Zaid bin Tsabit tentang Paha Rasulullah Menindih Pahanya

أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَمْلَى عَلَيْهِ : فَأَنْزَلَ اللهُ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى عَلَى رَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ، وَ فَخِذُهُ عَلَى فَخِذِيْ . فَثَقُلَتْ عَلَيَّ حَتَّى خِفْتُ أَنْ تَرُضَّ فَخِذِيْ. [3] أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ .

Artinya:

Bahwasanya Zaid bin Tsabit telah mengabarinya (Marwan bin Al-Hakam), bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendiktekan kepadanya … Maka Allah Tabaraka wa Ta’ala menurunkan (wahyu) atas Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan paha beliau berada di atas pahaku, kemudian terasa berat bagiku, sampai aku khawatir pahaku patah… HR Al-Bukhari.

Ibnu Baththal menyatakan bahwa hadits ini menjadi dalil bagi orang yang berpendapat bahwa paha laki-laki bukan aurat (Syarh Ibn Bathal 2/35).

Al-Isma’ili mengatakan bahwa hadits ini tidak dapat menjadi dalil bahwa paha laki-laki bukan aurat karena hadits ini tidak menyatakan secara jelas bahwa paha Rasulullah bersentuhan dengan paha Zaid bin Tsabit secara langsung. Adapun Al-Bukhari berpegang pada asal perkara, yaitu persentuhan itu terjadi tanpa penghalang (Fathul Bari 2/31).

Al-Habib bin Thahir (salah satu ulama madzhab Maliki yang berpendapat bahwa paha laki-laki adalah aurat) berpendapat bahwa penyentuhan aurat secara tidak langsung itu boleh (Al-Fiqhul Maliki wa Adillatuhu 1;1/177).

Catatan: Dengan demikian, apabila dapat dipastikan bahwa persentuhan dalam hadits ini terjadi secara langsung, maka hadits ini dapat menjadi dalil bahwa paha laki-laki bukan aurat. Namun, sepanjang penelitian penulis tidak menemukan dalil yang memastikan bahwa persentuhan paha Nabi dengan Zaid bin Tsabit itu terjadi tanpa penghalang.

Hadits ‘Aisyah tentang Rasulullah Menutupi Paha Beliau karena Kedatangan ‘Utsman bin ‘Affan

أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مُضْطَجِعًا فِى بَيْتِى كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ أَوْ سَاقَيْهِ …  ثُمَّ اسْتَأْذَنَ عُثْمَانُ فَجَلَسَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ سَوَّى ثِيَابَهُ … [4] أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ .

Artinya:

Bahwasanya ‘Aisyah berkata: Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring di rumahku dalam keadaan terbuka kedua paha atau kedua betis beliau. … Lalu ‘Utsman meminta izin (untuk masuk), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk dan merapikan pakaian beliau … HR Muslim. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad [5] dan Ath-Thahawi [6].

Tindakan Rasulullah membiarkan paha beliau tetap terbuka ketika Abu Bakr dan ‘Umar bertamu dan menutupnya ketika ‘Utsman datang ini serupa dengan tindakan beliau menutup lutut ketika ‘Utsman datang di kali yang lain (Shahih Bukhari 2;5/17 h. 1). Ibnu Baththal mengatakan bahwa Rasulullah mengkhususkan perlakuan beliau terhadap shahabat-shahabat beliau sesuai dengan kelebihan-kelebihan mereka yang menonjol; dan karena yang menonjol pada diri ‘Utsman adalah sifat pemalu, maka Rasulullah pun malu kepadanya (Syarh Ibn Bathal 2/36).

Asy-Syaukani mengatakan bahwa hadits ini, begitu pula hadits Anas bin Malik itu mengandung dua kemungkinan hukum, yaitu: kekhususan hukum bolehnya menampakkan paha bagi Nabi atau keumuman hukum itu bagi umat beliau juga. Dua kemungkinan hukum itu muncul karena kedua hadits tersebut berupa cerita tentang perbuatan Nabi, bukan ucapan (perintah atau larangan) beliau. Selain itu, pada lafal hadits ini terdapat keraguan apakah yang terbuka itu paha atau betis. Dengan demikian, kedua hadits itu tidak dapat dijadikan dalil bahwa paha laki-laki bukan aurat (Nailul Authar 2/53-54).

Al-‘Utsaimin mengatakan bahwa suatu perbuatan itu tidak dapat ditetapkan sebagai kekhususan bagi Nabi tanpa adanya dalil, karena asal perbuatan Nabi itu merupakan keteladanan (Al-Ushul min ‘ilmil Ushul, hlm. 57).

Catatan: Allah Ta’ala berkalam (Al-Ahzab 21) yang menunjukkan bahwa ayat tersebut menjadi dasar atas keharusan meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala ucapan, perbuatan, dan keadaan beliau, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir (Tafsir Ibn Katsir 3/474).

As-Sarkhasi mengatakan bahwa dalam ayat di atas terdapat nas yang menunjukkan bolehnya meneladani perbuatan-perbuatan Nabi, kecuali ada dalil yang menunjukkan dilarangnya meneladani perbuatan tersebut, yaitu dalil yang menunjukkan kekhususan perbuatan tersebut bagi beliau (Ushul Sarkhasi 2/89).

Penulis tidak mendapati dalil yang menyatakan bahwa perbuatan Rasulullah membuka paha (baik yang tersebut dalam hadits Anas bin Malik maupun hadits ‘Aisyah) ini merupakan kekhususan beliau. Dengan demikian dapat disimpukan bahwa perbuatan Nabi membiarkan paha beliau terbuka sebelum kedatangan ‘Utsman itu tidak merupakan kekhususan beliau.

Adapun perihal keraguan yang ada pada lafal hadits ini, Al-Albani menyatakan bahwa keraguan itu dipastikan oleh riwayat Ath-Thahawi yang menyebutkan bahwa Rasulullah membiarkan paha beliau tetap terbuka sebelum kedatangan ‘Utsman (Irwa`ul Ghalil 1/299).

Riwayat Ath-Thahawi berderajat shahih dan lafalnya tidak bertentangan dengan lafal hadits pada riwayat Muslim. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa anggota badan beliau yang terbuka pada waktu itu adalah paha.

Kesimpulan: hadits ini dapat menjadi dalil bahwa paha laki-laki bukan aurat, dan bahwa menutup paha dalam rangka menghormati seseorang itu boleh.

Hadits Abu Dzar tentang Menyentuh Paha Orang Lain

عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ الْبَرَّاءِ قَالَ قُلْتُ لِعَبْدِ اللهِ بْنِ الصَّامِتِ نُصَلِّيْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ خَلْفَ أُمَرَاءَ فَيُؤَخِّرُوْنَ الصَّلاَةَ قَالَ فَضَرَبَ فَخِذِيْ ضَرْبَةً أَوْجَعَتْنِى وَ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا ذَرٍّ عَنْ ذلِكَ فَضَرَبَ فَخِذِيْ وَ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ ذلِكَ فَقَالَ « صَلُّوْا الصَّلاَةَ لِوَقْتِهَا وَ اجْعَلُوْا صَلاَتَكُمْ مَعَهُمْ نَافِلَةً ». قَالَ وَ قَالَ عَبْدُ اللهِ ذُكِرَ لِيْ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ضَرَبَ فَخِذَ أَبِي ذَرٍّ . [7] أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ .

Artinya:

Dari Abul ‘Aliyah Al-Barra`, dia berkata: Aku mengadu kepada ‘Abdullah bin Shamit: Kami shalat pada hari Jum’at di belakang para pemimpin sedangkan mereka mengakhirkan shalat. Abul ‘Aliyah berkata: Maka dia (‘Abdullah bin Shamit) memukul pahaku dengan satu pukulan yang menyakitkanku dan berkata: Aku bertanya kepada Abu Dzar tentang itu, maka dia memukul pahaku dan berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang itu, maka beliau bersabda, “Shalatlah kalian pada waktunya, dan kalian jadikanlah shalat kalian bersama mereka itu sebagai tambahan.” Abul ‘Aliyah berkata: ‘Abdullah berkata: Dikatakan kepadaku bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk paha Abu Dzar. HR Muslim.

Ibnu Hazm menerangkan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa paha laki-laki bukan aurat. Beliau berpendapat bahwa kalau saja paha laki-laki adalah aurat, niscaya Rasulullah tidak akan menyentuh paha Abu Dzar dengan tangan beliau. Demikian pula Abu Dzar tidak akan menyentuh paha, dan ‘Abdullah bin Shamit tidak akan menyentuh paha Abul ‘Aliyah, kalau mereka menganggap bahwa paha laki-laki adalah aurat (Al-Muhalla 2;3/212).

Catatan: pendapat Ibnu Hazm di atas dapat dibenarkan apabila persentuhan yang disebutkan dalam hadits ini terjadi secara langsung, sebagaimana penulis jelaskan pada analisis hadits Zaid bin Tsabit. Namun sepanjang penelitian, penulis tidak menemukan dalil yang memastikan bahwa penyentuhan paha dalam hadits ini terjadi secara langsung.

Kesimpulan: hadits ini tidak dapat menjadi hujah bahwa paha laki-laki bukan aurat.

Hadits Jarhad tentang Perintah Rasulullah kepadanya untuk Menutup Paha

عَنْ زُرْعَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ جَرْهَدٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : كَانَ جَرْهَدٌ هذَا مِنْ أَصْحَابِ الصُّفَّةِ قَالَ : جَلَسَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عِنْدَنَا وَ فَخِذِيْ مُنْكَشِفَةٌ ، فَقَالَ : أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ ؟ [8] أَخْرَجَهُ أَبُوْ دَاوُدَ .

Artinya:

Dari Zur’ah bin ‘Abdurrahman bin Jarhad, dari bapaknya, dia berkata: Jarhad ini termasuk ashhabush shuffah [9], dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk bersama kami sedangkan pahaku terbuka. Maka beliau bersabda, “Tidakkah engkau tahu bahwa paha itu aurat?” HR Abu Dawud.

Derajat Hadis

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ahmad [10], At-Turmudzi [11], dan Al-Baihaqi [12]. Hadits ini berderajat dla’if.

Hadits Jarhad ini adalah hadits yang sangat goncang (mudltharib [13] jiddan),  sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar (Taghliqut Ta’liq 2;2/209). Hadits mudltharib tergolong hadits dla’if (At-Taisir, hlm. 114), sehingga tidak dapat dijadikan hujah

Keterangan:

i). Adapun hadits-hadits lain yang semakna dengan hadits Jarhad di atas juga berderajat dla’if. Kedla’ifan hadits ‘Ali bin Abi Thalib disebabkan oleh terputusnya sanad antara Ibnu Juraij dan Habib bin Abi Tsabit. Kedla’ifan hadits Muhammad bin Jahsy disebabkan oleh ketidakjelasan identitas seorang rawinya, yaitu Abu Katsir (Fathul Bari 2/30). Kedla’ifan hadits Ibnu ‘Abbas disebabkan oleh lemahnya hafalan seorang rawinya, yaitu Abu Yahya Al-Qattat (At-Tahdzib 12/277). Ii). Selain itu, hadits-hadits tersebut menyelisihi hadits shahih yang diriwayatkan dari Anas bin Malik dan ‘Aisyah yang menunjukkan bahwa paha laki-laki bukan aurat (lihat analisis kedua hadis tersebut). Hadits dla’if yang menyelisihi hadits shahih dinamakan hadits munkar (Taisir, hlm. 96). Hadits munkar tidak dapat dijadikan sebagai hujah (At-Taisir, hlm. 97).

Kesimpulan: hadits Jarhad ini tidak dapat dijadikan dalil bahwa paha laki-laki adalah aurat.

Hadits ‘Ali bin Abi Thalib tentang Larangan Membuka Paha dan Melihat Paha Orang Lain

عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : « لاَ تَكْشِفْ فَخِذَكَ ، وَ لاَ تَنْظُرْ إِلَى فَخِذِ حَيٍّ وَ لاَ مَيِّتٍ » .قَالَ أَبُوْ دَاوُدَ : هذَا الْحَدِيْثُ فِيْهِ نَكَارَةٌ . [14] أَخْرَجَهُ أَبُوْ دَاوُدَ .  

Artinya:

Dari ‘Ali radliyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau membuka pahamu, dan janganlah engkau melihat paha orang yang masih hidup maupun sudah mati.” Abu Dawud berkata: Dalam hadits ini ada sesuatu yang diingkari. Abu Dawud telah mengeluarkannya.

Derajat Hadis

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah [15], Ad-Daruquthni [16], Al-Baihaqi [17], dan Al-Hakim [18]. Hadits ini berderajat dla’if.

Dalam sanad hadits ini terdapat dua rawi yang dipermasalahkan, yaitu:

i). Habib bin Abi Tsabit.

Perihal Habib bin Abi Tsabit, Abu Dawud mengatakan bahwa Habib tidak memiliki satu hadits shahih pun dari ‘Ashim bin Dlamrah (At-Tahdzib 2/179).

ii). Ibnu Juraij

Adapun perihal Ibnu Juraij, Yahya bin Sa’id mengatakan bahwa dia shaduq. Ahmad mengatakan bahwa apabila dia mengatakan قَالَ atau أُخْبِرْتُ , maka hadits yang dia riwayatkan itu munkar, akan tetapi kalau dia mengatakan أَخْبَرَنِي atau سَمِعْتُ , maka dia benar. Ibnu Hibban mengatakan bahwa dia termasuk fukaha, qari, serta mutqin ahli Hijaz, hanya saja dia juga mentadlis hadits. Al-‘Ijli mengatakan bahwa dia tsiqat. Ad-Daraquthni mengatakan bahwa tadlisnya adalah tadlis yang jelek, yaitu yang dia tadlis pasti riwayat orang-orang yang majruh (dicela). Al-Bazzar mengatakan bahwa dia tidak mendengar dari Habib bin Abi Tsabit. Ibnu Ma’in mengatakan bahwa dia hanya mendengar dua hadits dari Habib bin Abi Tsabit, yaitu hadits مَا أَكْذَبَ الْغَرَائِبُ dan hadits الرَّاقِي (tentang peruqyah). [At-Tahdzib 6/404]. Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa Ibnu Juraij tidak mendengar hadits ini dari Habib bin Abi Tsabit.

Berdasarkan uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa hadits ini munqathi’ (terputus) karena Ibnu Juraij tidak mendengarnya dari Habib bin Abi Tsabit. Hadits munqathi’ tergolong hadits dla’if (At-Taisir, hlm. 78)

Catatan:

Hadits ini juga menyelisihi hadits-hadits shahih yang menunjukkan bahwa paha laki-laki bukan aurat (hadits Anas bin Malik dan ‘Aisyah), sehingga termasuk hadits munkar dan tidak dapat dijadikan hujah.

Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr tentang Anggota Badan yang Menjadi Aurat Laki-laki

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : ((إِذَا زَوَّجَ أَحَدُكُمْ خَادِمَهُ عَبْدَهُ أَوْ أَجِيْرَهُ فَلاَ يَنْظُرْ إِلَى مَا دُوْنَ السُّرَّةِ وَ فَوْقَ الرُّكْبَةِ)) . [19] أَخْرَجَهُ أَبُوْ دَاوُدَ .

Artinya:

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian menikahkan pembantunya dengan hamba atau pekerjanya, maka janganlah dia melihat apa yang di bawah pusar dan di atas lutut.” HR Abu Dawud.

Derajat Hadis

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqi [20]. Hadits ini berderajat
dla’if.

Dalam sanad hadits ini terdapat dua hal yang dipermasalahkan, yaitu:

Pertama, adanya rangkaian periwayatan ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya. Abu Zur’ah mengatakan bahwa ‘Amr bin Syu’aib hanya mendengar beberapa hadits saja dari bapaknya dan dia mengambil kitab bapaknya lalu dia meriwayatkannya (At-Tahdzib 8/49). Metode periwayatan seperti ini dikenal dalam ilmu mushthalah hadits dengan metode wijadah, yang termasuk periwayatan munqathi’ (terputus) [At-Taisir, hlm.165]. Meski demikian, periwayatan dengan metode wijadah dapat diterima dan dikategorikan dalam periwayatan hasan (Al-Mursalul Khafi 2/880).

Ibnu ‘Adi mengatakan bahwa riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya itu mursal, karena yang dimaksud dengan جده (kakeknya) adalah Muhammad, padahal dia bukan seorang shahabat (Mizanul I’tidal 3/266).

Adz-Dzahabi berkomentar bahwa Syu’aib mendengar dari ‘Abdullah, dan dialah yang mengasuhnya. Muhammad meninggal pada masa hidup ‘Abdullah (bapaknya), sehingga dia (‘Abdullah) yang mengasuh Syu’aib. Dengan demikian, dlamir ha` (ه) pada kata جده kembali kepada Syu’aib (sehingga yang dimaksud dengan جده adalah ‘Abdullah). [Mizanul I’tidal 3/266]

Kedua, perihal Sawwar bin Dawud, Ahmad mengatakan bahwa dia adalah rawi yang لاَ بَأْسَ بِهِ (tidak ada bahaya padanya), dan haditsnya hanya satu saja, yaitu hadits عَلِّمُوْا أَوْلاَدَكُمُ الصَّلاَةَ وَ هُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ . Ad-Daraquthni mengatakan bahwa tidak terdapat tabi’ [21] dalam hadits-hadits Sawwar, sehingga tidak mungkin bisa dii’tibar [22]. Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam kitab Ats-Tsiqat dan mengatakan bahwa kadang-kadang dia salah (dalam meriwayatkan). [At-Tahdzib 4/267].

Rawi yang dikatakan لاَ بَأْسَ بِهِ termasuk rawi yang haditsnya hanya bisa ditulis untuk dicari penguatnya (At-Taisir, hlm 152). Dengan demikian, riwayat Sawwar tidak dapat diterima karena tidak adanya tabi’.

Catatan:

Hadits ini juga munkar lantaran menyelisihi hadits-hadits shahih yang menunjukkan bahwa paha laki-laki bukan aurat (hadits Anas bin Malik dan ‘Aisyah). Dengan demikian, hadits ‘Abdullah bin ‘Amr ini tidak dapat dijadikan dalil bahwa paha laki-laki adalah aurat,

Atsar Anas bin Malik tentang Perbuatannya Membuka Paha pada Perang Yamamah

حَدَّثَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ مُوسَى بْنِ أَنَسٍ قَالَ : وَ ذَكَرَ يَوْمَ الْيَمَامَةِ قَالَ : (( أَتَى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ ثَابِتَ بْنَ قَيْسٍ وَ قَدْ حَسَرَ عَنْ فَخِذَيْهِ … .  [23] أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ .

Artinya:

Ibnu ‘Aun telah menceritakan kepada kami, dari Musa bin Anas, dia (Ibnu ‘Aun) berkata: Dan dia (Musa) menyebutkan (cerita) tentang hari perang Yamamah. Musa berkata: Anas bin Malik datang kepada Tsabit bin Qais, sedangkan dia (Anas) dalam keadaan telah membuka pahanya … . HR Al-Bukhari.

Ibnu Hazm menjadikan atsar ini sebagai bukti bahwa paha laki-laki itu bukan aurat karena atsar ini mengandung pengertian bahwa shahabat Anas bin Malik dan Tsabit bin Qais tidak menganggap paha laki-laki sebagai aurat (Al-Muhalla 2;3/215-216).

Catatan: Adanya shahabat yang menampakkan pahanya setelah Nabi wafat itu menunjukkan bahwa menampakkan paha boleh, dan itu bukan merupakan kekhususan beliau.

Artikel ini adalah hasil editing dan upaya meringkas dari tulisan Ilmiyyah karya Abdurrozzaq Muttaqin yang berjudul, “Kedudukan Paha Laki-Laki sebagai Aurat” yang ditulis sebagai syarat lulus dari Ma’had Al-Islam Surakarta.

FOOTNOTE:

[1] Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld. 1, juz 1, hlm. 103-104, h. 371.

[2] Lihat Shahihu Muslim susunan Muslim, jld. 3, juz 5, hlm. 185, h. 120.

[3] Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld. 2, juz 4, hlm. 30, h. 2832.

[4]   Muslim, Shahihu Muslim, jld. 4, juz 7, hlm. 116-117, h. 26.

[5]   Lihat Musnadul Imami Ahmadabni Hanbal susunan Ahmad, juz 6, hlm. 62.

[6]   Lihat Syarhu Musykilil Atsar susunan Ath-Thahawi, juz 4, hlm. 399, h. 1695.

[7]   Muslim, Shahihu Muslim, jld. 1, juz 2, hlm. 121.

[8]   Abu Dawud, Sunanu Abi Dawud, juz 2, hlm. 301, h. 4014.

[9]   Ashhabush Shuffah adalah para fukara muhajirin yang tinggal di serambi Masjid Madinah, yang hidupnya ditanggung oleh Rasulullah (lihat  Al-Mu’jamul Wasith susunan Ibrahim Unais, dkk., juz 1, hlm. 517, kol. 1).

[10] Lihat Musnadul Imami Ahmadabni Hanbal susunan Ahmad, juz 3, hlm. 478-479.

[11] Lihat Sunanut Turmudzi susunan At-Turmudzi, juz 5, hlm. 110-111, h. 2795, 2797, dan 2798.

[12] Lihat As-Sunanul Kubra susunan Al-Baihaqi, juz 2, hlm. 228, h. 3-4.

[13] Hadits mudltharib adalah hadits yang diriwayatkan dengan redaksional bertentangan yang sama kuat, sehingga tidak mungkin dimenangkan salah satunya. (Lihat Taisiru Mushthalahil Hadits susunan Mahmud Ath-Thahhan, hlm. 112.)

[14] Abu Dawud, Sunanu Abi Dawud, juz 2, hlm. 301, k. 25-Al-Hammam, b. 2-An-Nahyu ‘anit Ta’arri, h. 4015.

[15] Lihat Sunanubnni Majah susunan Ibnu Majah, juz 1, hlm. 469, h. 1460.

[16] Lihat Sunanud Daruquthni susunan Ad-Daruquthni, jld. 1, juz 1, hlm. 225, h. 3-4.

[17] Lihat As-Sunanul Kubra susunan Al-Baihaqi, juz 2, hlm. 228, k. Ash-Shalah, b. ‘Auratur Rajul, h. 7.

[18] Lihat Al-Mustadraku ‘alash Shahihain susunan Al-Hakim, juz 4, hlm. 180-181.

[19] Abu Dawud, Sunanu Abi Dawud, juz 2, hlm. 318, h. 4114.

[20] Lihat As-Sunanul Kubra susunan Al-Baihaqi, juz 2, hlm. 228-229, h. 8-10.

[21]    Tabi’ adalah sebutan untuk hadits yang para rawinya menyamai periwayatan rawi-rawi lain pada hadits yang bersendiri, baik dari segi lafal dan makna maupun makna saja, dengan kesamaan pada sahabat (lihat Taisiru Mushthalahil Hadits susunan Ath-Thahhan, hlm. 141).

[22]    I’tibar adalah pemeriksaan jalan-jalan periwayatan suatu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi saja, supaya diketahui apakah ada yang menyertainya atau tidak (lihat Taisiru Mushthalahil Hadits susunan Ath-Thahhan, hlm. 141).

[23] Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld. 2, juz 4, hlm. 33, h. 2845.

2 pemikiran pada “Apakah Paha Laki-Laki Aurat?”

  1. Alhamdulillah…
    Sekedar masukan, mungkin sebaiknya saran untuk kesimpulan ini dibalik:

    Hendaklah muslimin yang berpendapat bahwa paha laki-laki bukan aurat menghormati muslimin yang berpendapat bahwa paha laki-laki adalah aurat, demikian pula sebaliknya.

    Soalnya kan kalau sama-sama menutup paha, maka aman. Kalau membuka paha, kan jadi beda pendapat.

    Balas

Tinggalkan komentar