Daftar Isi:
- 1 Berapa Jarak Boleh Mengqashar shalat?
- 2 Pendapat Ulama
- 3 Kesimpulan
- 4 Dalil-Dalil yang Berkaitan dengan Masalah ini dan Ulasan Ringkasnya
- 4.1 Pertama, Surat An-Nisa` (4): 101
- 4.2 Kedua, Hadits Anas bin Malik Diperbolehkannya Melakukan Qasar pada Jarak 3 Mil atau 3 Farsakh
- 4.3 Ketiga, Hadits Ibnu ‘Abbas tentang Larangan Melakukan Qasar pada Jarak Safar Kurang dari 4 Barid
- 4.4 Keempat, Hadits Anas bin Malik bahwa Nabi Shalat Empat Rakaat di Madinah dan Dua Rakaat di Dzul Hulaifah
- 4.5 Kelima, Hadits Ibnu ‘Umar tentang Larangan bagi Wanita Bersafar Selama Tiga Hari Tanpa Mahram
- 4.6 Keenam, Hadits Abu Hurairah tentang Larangan bagi Wanita Bersafar Selama Sehari Semalam Tanpa Mahram
- 4.7 Ketujuh, Atsar Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas tentang Qasar pada Jarak Safar Empat Barid
Berapa Jarak Boleh Mengqashar shalat?
Oleh: Ustadz Mukhtar Zainul Ma’arif
Fakta yang ada, di antara Muslimin terjadi perbedaan tentang jarak bolehnya mengqasahar sholat. Saking banyaknya perbedaan penddapat, Ash-Shon’ani menyebutkan di dalam kitab Subulus Salam bahwa ada sekitar 20 pendapat ulama dalam permasalahan ini [1] dengan perbedaaan jarak dan waktu masing-masing Ulama. Bahkan, Ibnu Taimiyah berpendapat bolehnya qasar dalam setiap safar, tanpa ada ketentuan jaraknya [2].
Pendapat Ulama
Pertama, Empat Puluh Enam (46) Mil
Pendapat ini dikemukakan oleh Asy-Syafi’i sebagaimana dijelaskan oleh Al-Mawardi dalam kitab Al-Hawil Kabir. [31]
Pendapat Asy-Syafi’i di atas berdasarkan dengan atsar Ibnu ‘Abbas yang menjelaskan tentang tidak bolehnya mengqasar shalat pada jarak safar kurang dari jarak antara Makkah dengan ‘Usfan, Jeddah, atau Ath-Tha`if [32]. Beliau menghitung jarak ketiga tempat tersebut dari Makkah adalah 46 mil [33].
Catatan: atsar tersebut tidak dapat dijadikan dalil dalam menentukan batas minimal jarak safar yang diperbolehkan untuk qasar (lihat analisis atsar Ibnu ‘Abbas)
Kedua, Empat Puluh Delapan (48) Mil
An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab menyebutkan bahwa ini merupakan madzhab Asy-Syafi’i [34] Pendapat ini juga merupakan pendapat Ahmad bin Hanbal [35], Ibnu Qudamah [36], Al-Qasthalani [37], dan jumhur fukaha (Al-Malikiyyah, Asy-Syafi’iyyah, Al-Hanabilah) [38].
Mereka mendasari pendapatnya dengan atsar Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas tentang qasar pada jarak empat barid, dan atsar Ibnu ‘Abbas tentang tidak boleh mengqasar shalat pada jarak safar kurang dari jarak antara Makkah dengan ‘Usfan, Jeddah, atau Ath-Tha`if. [39]
Catatan: atsar Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas tidak dapat dijadikan dalil dalam menentukan batas minimal jarak safar yang diperbolehkan untuk qasar (lihat analisa yg telah lewat), atsar Ibnu ‘Abbas juga tidak dapat dijadikan dalil dalam menentukan batas minimal jarak safar yang diperbolehkan untuk qasar (lihat analisa yang telah lewat). Adapun hadits Ibnu ‘Abbas berderajat dla’if, sehingga tidak dapat dijadikan hujah.
Ketiga, Perjalanan Sehari Penuh
Ini adalah pendapat Al-Bukhari sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari [40]
Al-Bukhari mendasarkan pendapatnya dengan hadits Abu Hurairah tentang larangan bagi wanita untuk bersafar selama sehari semalam tanpa mahram, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar. [41]
Catatan: hadits Abu Hurairah tersebut tidak dapat dijadikan dalil dalam menentukan batas minimal jarak safar yang diperbolehkan untuk qasar (lihat analisis hadits Abu Hurairah yang telah lewat).
Keempat, Perjalanan Selama Tiga Hari
Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ats-Tsauri, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Mawardi dalam kitab Al-Hawil Kabir [42]
Pendapat di atas dikemukakan juga oleh Malik, Al-Laits, Ahmad, [43] dan Al-Kufiyyun [44].
Catatan: Dalil yang mendasari pendapat mereka adalah hadits Ibnu ‘Umar. [45]
Hadits Ibnu ‘Umar di atas tidak dapat dijadikan dalil dalam menentukan batas minimal jarak safar yang diperbolehkan untuk qasar (lihat analisis hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat).
Kelima, Tidak ada Ketentuan
Pendapat ini diutarakan oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitab Majmu’atul Fatawa [46]
Pendapat ini dikemukaan juga oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah [47], dan Al-‘Utsaimin [48].
Ibnu Taimiyyah berpendapat demikian dengan alasan bahwa Al-Qur`an dan As-Sunnah tidak membatasi jarak minimal untuk qasar. [49] Al-‘Utsaimin beralasan bahwa penentuan batas minimal jarak safar yang diperbolehkan untuk qasar itu tidak sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah. [50] Adapun Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah beralasan bahwa Nabi tidak membatasi dengan suatu jarak tertentu, akan tetapi memutlakkannya [51].
Catatan: (a.) Dalil yang berkenaan dengan qasar ketika safar itu bersifat mutlak tanpa ada batas minimal jarak safarnya, di antaranya: surat An-Nisa` (4) : 101. (b.) hadits Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma tentang shalat bagi musafir adalah dua rakaat [52]. Mengenai kemutlakan safar pada ayat dan hadits tersebut, tidak mendapati taqyid (pembatasan) dari ayat maupun hadis, sehingga tetap berlaku atas kemutlakannya, sebagaimana disebutkan dalam ilmu Ushul Fikih bahwa setiap yang mutlak akan tetap berlaku atas kemutlakannya sampai datang suatu nash yang mentaqyidnya [53].
Ibnu Taimiyyah dan Al-Utsaimin juga menyimpulkan bahwa penentuan jarak safar dapat dikembalikan pada ‘urf. [54] ‘Urf adalah suatu perkataan atau perbuatan yang masyarakat itu menjadi terbiasa dengannya, membiasakannya, dan memberlakukannya dalam kehidupan [55]
Catatan: dalam kaidah fikih bahwa:مَا وَرَدَ فىِ الشَّرْعِ مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ تَحْدِيْدٍ، وَ لاَ حَدَّ لَهُ فِيِ اللُّغَةِ وَلاَ فِي الشَّرِيْعَةِ ، يَجِبُ الرُّجُوْعُ فِيْهِ إلَى الْعُرْفِ وَ اْلعاَدَةِ )apa-apa yang disebutkan dalam syari’at secara mutlak tanpa pembatas, dan tidak ada batasan baginya secara bahasa maupun syariat, maka wajib dikembalikan kepada urf atau adat setempat) [56]. Dengan demikian, kemutlakan safar pada hal ini dapat dikembalikan kepada ‘urf atau adat setempat.
Kesimpulan
Jarak safar yang diperbolehkan untuk qasar itu tidak ada ketentuannya, sehingga qasar diperbolehkan pada semua safar, sesuai ‘urf (pengertian) masyarakat.
Muslimin yang hendak melakukan qasar ketika safar, hendaknya memperhatikan pengertian safar menurut masyarakat masing-masing.
Dalil-Dalil yang Berkaitan dengan Masalah ini dan Ulasan Ringkasnya
Pertama, Surat An-Nisa` (4): 101
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي اْلأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوْا مِنَ الصَّلاَةِ
Artinya:
Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah berdosa bagi kalian untuk menqasar shalat….
Al-Jaza`iri menjelaskan bahwa maksud ayat ضَرَبْتُمْ فِي اْلأَرْضِ adalah melakukan safar sejauh 4 barid atau 48 mil [3]. Sedangkan Ar-Razi memaknai lafal ayat tersebut dengan safar secara mutlak baik jauh maupun dekat [4].
Catatan: Al-Utsaimin menyebutkan bahwa penentuan jarak untuk menafsirkan ayat ini tidak ada dalilnya. [5] Dalam kaidah fikih disebutkan bahwa setiap yang mutlak akan tetap berlaku atas kemutlakannya sampai datang suatu nash yang mengkhususkannya [6]. Sehingga makna ayat tersebut lebih tepat untuk dibawa kepada makna mutlak.
Kedua, Hadits Anas bin Malik Diperbolehkannya Melakukan Qasar pada Jarak 3 Mil atau 3 Farsakh
عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَ الْهُنَائِىِّ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ قَصْرِ الصَّلاَةِ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلاَثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلاَثَةِ فَرَاسِخَ – شَكَّ شُعْبَةُ – صَلَّى رَكْعَتَيْنِ. [7] أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ.
Artinya:
Dari Yahya bin Yazid Al-Hunaiyyi berkata, “Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang shalat qasar, kemudian dia menjawab, “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila keluar perjalanan tiga mil atau tiga farsakh –Syu’bah ragu–, beliau shalat dua rakaat
Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah apabila melakukan safar sejauh 3 mil / 3 farsakh, beliau mengqasar shalat.
Al-‘Aini menakwilkan bahwa ada kemungkinan, ketika itu Nabi hendak bersafar jauh, akan tetapi beliau ingin memulai qasar pada jarak tersebut [8]. Adapun Al-Maghribi menjelaskan bahwa secara dhahir, hadits ini menunjukkan bahwa jarak 3 mil / 3 farsakh adalah tujuan safar Nabi [9].
Catatan: Pendapat Al-Aini berdasarkan kemungkinan, Dalam ilmu Ushul Fikih disebutkan bahwa hukum tidak dapat ditetapkan dengan kemungkinan dan keraguan [10]. Penjelasan Al-Maghribi lebih tepat, karena hadits ini disampaikan oleh Anas bin Malik sebagai jawaban dari pertanyaan Yahya bin Yazid yang bertanya tentang kebolehan qasar, bukan tentang permulaan qasar.
Ulama madzhab Dhahiriyah menjadikan hadits ini sebagai hujah bahwa batas minimal jarak safar yang diperbolehkan untuk qasar adalah 3 mil [11]. Adapun Al-‘Azzazi menjadikannya sebagai hujah bahwa batas minimal jarak safar yang diperbolehkan untuk qasar adalah 3 farsakh [12].
Catatan (1): penyebutan kedua jarak safar (3 mil / 3 farsakh) pada hadits tersebut merupakan keraguan rawi. Dalam hal ini, ulama madzhab Dzahiriyah merajihkan yang 3 mil, sedangkan Al-‘Azzazi memilih yang 3 farsakh. Dalam ilmu Ushul Fikih disebutkan bahwa الشَّكُّ لاَحُكْمَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنَ الطَّرَفَيْنِ [13] (keragauan tidak dapat dihukumkan kepada salah satu dari dua ujung yang diragukan).
Catatan (2): penyebutan jarak safar pada hadits ini tidak dapat dinyatakan sebagai batas minimal jarak safar yang diperbolehkan untuk qasar. Ibnu Hazm menjelaskan bahwa tidak ada dalil larangan mengqasar shalat di bawah jarak safar tersebut, akan tetapi yang ada justru Allah memperbolehkan qasar pada setiap safar tanpa ada batasan jarak safarnya [14].
Ketiga, Hadits Ibnu ‘Abbas tentang Larangan Melakukan Qasar pada Jarak Safar Kurang dari 4 Barid
عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : يَا أَهْلَ مَكَّةَ لاَ تَقْصُرُوْا الصَّلاَةَ فِي أَدْنَى مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عُسْفَانَ. [15] أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ بِسَنَدٍ ضَعِيْفٍ.
Artinya:
Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian melakukan qasar pada (jarak safar) kurang dari empat barid, dari Makkah ke ‘Usfan.
Hadits ini menunjukkan larangan melakukan qasar pada jarak safar kurang dari empat barid.
Catatan: Hadits ini dla’if karena dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang berdusta, yaitu Abdul Wahhab bin Mujahid [16], sedangkan dalam ilmu Mushthalah Hadits disebutkan bahwa bilamana ada hadits dla’if yang disebabkan oleh seorang rawi yang berdusta, maka tidak dapat dikuatkan dengan banyaknya jalan sekalipun [17].
Keempat, Hadits Anas bin Malik bahwa Nabi Shalat Empat Rakaat di Madinah dan Dua Rakaat di Dzul Hulaifah
عَنْ أَنَسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا وَبِذِي الْحُلَيْفَةَ رَكْعَتَيْنِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ [18]
Artinya:
Dari Anas radliyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku melakukan shalat dluhur empat rakaat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah dan shalat (asar) dua rakaat di Dzul Hulifah. Telah disepakati atas keshahihannya.
Ulama madzhab Dhahiriyah menjadikan hadits ini sebagai hujah bahwa qasar itu boleh dilakukan ketika safar jarak dekat maupun jarak jauh, menurut mereka jarak antara Madinah dan Dzul Hulaifah ini termasuk jarak dekat, yaitu enam mil [19].
Ibnu Hajar menjelaskan bahwa Dzul Hulaifah bukanlah tempat tujuan safar Nabi ketika itu, karena beliau hendak menuju Makkah, lantas di tengah perjalanan tibalah waktu shalat Ashar, kemudian beliau mengqasarnya ketika itu [20].
Catatan: Dari penjelasan Ibnu Hajar di atas, dapat dipahami bahwa Nabi mengqasar shalat karena telah tiba waktunya, bukan karena jarak perjalanan hanya enam mil.
Kelima, Hadits Ibnu ‘Umar tentang Larangan bagi Wanita Bersafar Selama Tiga Hari Tanpa Mahram
عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ. [21] أَخْرَجَهُ اْلبُخاَرِيُّ.
Artinya:
Dari Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang wanita safar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya. Al-Bukhari telah mengeluarkannya.
Hadits ini menjelaskan tentang larangan bagi wanita untuk bersafar selama tiga hari tanpa mahram.
Abu Hanifah menjadikan hadits Ibnu ‘Umar ini sebagai dalil bahwa batas minimal jarak safar yang diperbolehkan untuk qasar adalah perjalanan yang ditempuh selama tiga hari. [22]
Al-Mawardi menyanggah istidlal tersebut dengan alasan bahwa riwayat tentang larangan bagi wanita bersafar tanpa mahram itu ada beberapa penyebutan jarak safar yang berbeda, seperti: sehari dan dua hari, dengan demikian karena adanya ikhtilaf riwayat tersebut maka tidak dapat dijadikan dalil. [23]
Catatan: Rasulullah juga melarang wanita untuk bersafar sendirian tanpa mahram pada jarak safar hanya sehari semalam (hadis setelah ini).
Keenam, Hadits Abu Hurairah tentang Larangan bagi Wanita Bersafar Selama Sehari Semalam Tanpa Mahram
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيْرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ. [24] أَخْرَجَهُ اْلبُخاَرِيُّ
Artinya:
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bersafar pada perjalanan sehari semalam tanpa disertai mahramnya. Al-Bukhari telah mengeluarkannya.
Menurut Ibnu Hajar, Al-Bukhari menjadikan hadits ini sebagai dalil bahwa batas minimal jarak safar yang diperbolehkan untuk qasar adalah sejauh sehari semalam [25].
Menurut Asy-Syaukani, penggunaan hadits ini sebagai dalil bahwa batas minimal jarak safar yang diperbolehkan untuk qasar adalah sejauh sehari semalam itu tidak benar, karena hal tersebut menafikan pembolehan qasar pada jarak safar kurang darinya [26].
Catatan: terdapat hadis Anas bin Malik (yang telah lewat) yang menunjukkan boleh mengqashar shalat pada jarak yang bisa ditempuh dengan waktu kurang dari sehari semalan, yaitu tiga mil/ tiga farsakh.
Ketujuh, Atsar Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas tentang Qasar pada Jarak Safar Empat Barid
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهِيَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا.[27] أَخْرَجَهُ اْلبُخاَرِيُّ
Artinya:
Dan adalah Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhum melakukan qasar dan berbuka puasa pada (perjalanan) empat barid dan dia itu adalah enam belas farsakh. HR Al-Bukhori
Atsar ini berderajat shahih. Atsar ini dijadikan oleh ulama Asy-Syafi’iyyah, Al-Malikiyyah, dan Al-Hanabilah sebagai salah satu dalil bahwa jarak minimal safar yang diperbolehkan untuk qasar adalah empat barid. [28]
Catatan: (a). Atsar ini tidak menunjukkan batas minimal jarak safar yang diperbolehkan untuk qasar. (b). Ada hadits yang menjelaskan tentang diperbolehkannya melakukan qasar pada jarak safar tiga mil / tiga farsakh.
Kedelapan, Atsar Ibnu ‘Abbas tentang Tidak Boleh Mengqasar Shalat pada Jarak Safar Kurang dari Jarak antara Makkah dengan ‘Usfan, Jeddah, atau Ath-Tha`if
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّهُ سُئِلَ: أَتُقْصَرُ الصَّلَاةُ إِلَى عَرَفَةَ؟ فَقَالَ: لاَ، وَلَكِنْ إِلَى عُسْفَانَ، وَإِلَى جُدَّةَ، وَإِلَى الطَّائِفِ. [29]
أَخْرَجَهُ الشَّافِعِيُّ بِسَنَدٍ صَحِيْحٍ
Artinya:
Dari Ibnu ‘Abbas: Bahwasanya dia ditanya, “Apakah shalat itu boleh diqasar ketika sampai ‘Arafah? Maka dia berkata, “Tidak, akan tetapi sampai ‘Usfan, Jeddah, dan Ath-Tha`if. Asy-Syafi’i telah mengeluarkannya dengan sanad yang shahih
Atsar ini berderajat shahih. Atsar ini menjelaskan tentang tidak boleh mengqasar shalat pada jarak safar kurang dari jarak antara Makkah dengan ‘Usfan, Jeddah, atau Ath-Tha`if. Ibnu Abdil Barr menyebutkan bahwa Jarak menuju ketiga tempat itu adalah 48 mil [30]
Catatan: (a). Atsar ini tidak menunjukkan batas minimal jarak safar yang diperbolehkan untuk qasar. (b). Ada hadits yang menjelaskan tentang diperbolehkannya melakukan qasar pada jarak safar tiga mil / tiga farsakh. (Muhammad Iqbal/ed)
FOOTNOTE
[1] Lihat Subulus Salam susunan Ash-Shan’ani, jld.2, jz.2, hlm. 55.
[2] Lihat Majmuatul Fatawa susunan Ibnu Taimiyah, jld. 24, jz. 24, hlm. 11.
[3] Lihat Aisarut Tafasir susunan Al-Jaza`iri, jld. 1, hlm. 438.
[4] Lihat Mafatihul Ghaib susunan Fakhruddin Ar-Razi, jld. 6, jz. 11, hlm. 16-17.
[5] Lihat Asy-Syarhul Mumti’ susunan Al-‘Utsaimin, jld. 3, hlm. 351-352.
[6] Lihat Mausu’atul Qawa’idil Fiqhiyyah susunan Abul Harits Al-Ghazzi, jz. 10, hlm. 699, Kaidah ke 432.
[7] Muslim, Shahihu Muslim, jld. 2, hlm. 140-141, k. h. 691.
[8] Lihat ‘Umdatul Qari, susunan Al-‘Aini, jld. 4, jz. 7, hlm. 119.
[9] Lihat Al-Badrut Tamam susunan Al-Maghribi, jld. 2, hlm. 103.
[10] Lihat Al-Bayan susunan’Abdul Hamid Hakim, hlm. 132.
[11] Lihat Fathul Bari susunan Ibnu Hajar, jld. 3, jz. 3, hlm. 276.
[12] Lihat Tamamul Minnah susunan Al-‘Azzazi, jld. 1, hlm. 444.
[13] Lihat Al-Bayan susunan Abdul Hamid Hakim, hlm. 5.
[14] Lihat Al-Muhalla susunan Ibnu Hazm, jld. 3, hlm. 214.
[15] Al-Baihaqi, Sunanul Kubra lil Baihaqi, jld. 3, hlm. 197, h. 5404.
[16] Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jld. 4, hlm. 294, no. 4990.
[17] Al-Qasimi, Qawa`idut Tahdits, hlm. 109.
[18] Lihat Shahihul Bukhari susunan Al-Bukhari, jld. 1, hlm. 470, h. 1089. Lihat Shahihu Muslim susunan Muslim, jld. 2, hlm. 140, h. 690.
[19] Lihat Shahihu Muslim bi Syarhin Nawawi susunan An-Nawawi, jld. 3, hlm. 199.
[20] Lihat Fathul Bari susunan Ibnu Hajar Al-Asqalani, jld. 3, jz. 3, hlm. 279.
[21] Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld. 1, hlm. 469, h. 1086.
[22] Lihat Syarhuz Zarqani susunan Az-Zarqani, jld. 1, jz. 1, hlm. 299.
[23] Lihat Al-Hawil Kabir susunan Al-Mawardi, jld. 2, hlm. 361.
[24] Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld. 1, hlm. 470, h. 1088.
[25] Lihat Fathul Bari susunan Ibnu Hajar Al-Asqalani, jld. 3, jz. 3, hlm. 275.
[26] Lihat Nailul Authar susunan Asy-Syaukani, jz. 3, hlm. 175.
[27] Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld. 1, hlm. 469, h. 1089
[28] Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah susunan Wuzaratul Auqaf wasy Syu’unil Islamiyyah, jld. 25, hlm. 28.
[29] Asy-Syafi’i, Musnadul Imamisy Syafi’i, jz. 1, hlm. 327, h. 347.
[30] Ibnu Abdil Bar, Al-Istidzkar, jld. 2, hlm. 235.
[31] Lihat Al-Hawil Kabir, susunan Al-Mawardi, jld. 2, hlm. 358.
[32] Lihat Al-Hawil Kabir, susunan Al-Mawardi, jld. 2, hlm. 358.
[33] Lihat Al-Hawil Kabir susunan Al-Mawardi, jld. 2, hlm. 358.
[34] An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, jld. 5, jz. 5, hlm. 311.
[35] Al-‘Aini, ‘Umdatul Qari, jld. 4, jz. 7, hlm. 119.
[36] Lihat Al-Kafi susunan Ibnu Qudamah, jld. 1, jz. 1, hlm. 227.
[37] Lihat Irsyadus Sari susunan Al-Qashthalani, jld. 3, jz. 3, hlm. 133.
[38] Lihat Al-Mausu’atul Fiqhiyyah susunan Wuzaratul Auqaf wasy-Syu`unil Islamiyyah jz. 25, hlm. 28.
[39] Lihat Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab susunan An-Nawawi, jld. 5, jz. 5, hlm. 317. Lihat juga Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah susunan Wuzaratul Auqaf wasy-Syu`unil Islamiyyah jz. 25, hlm. 28.lihat juga Lihat Al-Kafi fi Fiqhi Ahmad bin Hambal susunan Ibnu Qudamah, jld. 1, jz. 1, hlm. 227. Lihat juga Lihat Irsyadus Sari susunan Al-Qashthalani, jz. 3, hlm. 133.
[40] Ibnu Hajar,Fathul Bari, jld. 3, jz. 3, hlm. 275.
[41] Lihat Fathul Bari susunan Ibnu Hajar Al-Asqalani, jld. 3, jz. 3, hlm. 275.
[42] Al-Mawardi, Al-Hawil Kabir fi Fiqhi Madzhabil Imamisy Syafi’i, jld. 2, hlm. 360.
[43] Lihat Al-Hawil Kabir fi Fiqhi Madzhabil Imamisy Syafi’i, susunan Al-Mawardi, jld. 2, hlm. 360.
[44] Lihat Al-Jami’u li Ahkamil Qur’an, Al-Qurthubi, jld. 5, jz. 5, hlm. 355.
[45] Lihat Al-Hawil Kabir fi Fiqhi Madzhabil Imamisy Syafi’i, susunan Al-Mawardi, jld. 2, hlm. 360. Lihat juga Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an susunan Al-Qurthubi, jld. 5, jz. 5, hlm. 355.
[46] Majmu’atul Fatawa, Ibnu Taimiyyah, jld. 12, jz. 24, hlm. 11.
[47] Lihat Zadul Ma’ad, susunan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, jld. 1, jz. 1, hlm. 481.
[48] Lihat Asy-Syarhul Mumti’ ‘alaz Zadil Mustaqni’, susunan Utsaimin, jld. 4, hlm. 351-352.
[49] Lihat Majmu’atul Fatawa susunan Ibnu Taimiyyah, jld. 12, jz. 24, hlm. 11.
[50] Lihat Asy-Syarhul Mumti’ ‘alaz Zadil Mustaqni’ susunan Al-‘Utsaimin, jld. 4, hlm. 351-352.
[51] Lihat Zadul Ma’ad susunan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, jld. 1, jz. 1, hlm. 481.
[52] Lihat Shahihu Muslim susunan Muslim, jld. 2, hlm. 138, k. Shalatul Musafirin wa Qashruha, b. Shalatul Musafirin wa Qashruha, h. 687.
[53] Lihat Mausu’atul Qawa’idil Fiqhiyyah susunan Al-Ghazzi, jz. 10, hlm. 699, no. 432.
[54] Lihat Majmu’atul Fatawa susunan Ibnu Taimiyyah, jld. 12, jz. 24, hlm. 28, Asy-Syarhul Mumti’ ‘alaz Zadil Mustaqni’ susunan Al-‘Utsaimin, jld. 4, hlm. 352.
[55] lihat Al-Wajizu fi Ushulil Fiqh susunan Abdul Karim Zaidan, hlm. 252
[56] Lihat Mausu’atul Qawa’idil Fiqhiyyah susunan Al-Ghazzi, jld. 9, hlm. 306,