JUMLAH RAKAAT BAGI YANG BERHALANGAN MENGHADIRI SHALAT JUM’AT [1]
Oleh: Ustadzah Zuliati M.S.
Sebagian Muslimin berhalangan menghadiri Shalat Jumat, karena beberapa udzur. Mungkin akan muncul sebuah pertanyaan, berapa rakaat yang harus dia tunaikan untuk menggugurkan kewajiban shalat jumat atas dirinya.
Ustadzah Zuliati M.S. berupaya membahas permasalahan ini dan menghadirkan sebuah makalah yang berjudul “BERAPAKAH JUMLAH RAKAAT BAGI YANG BERHALANGAN MENGHADIRI SHALAT JUM’AT ??”
Artikel ini merupakan upaya meringkas risalah ilmiyyah tersebut dan berikut uraian singkatnya:
PENGERTIAN SHALAT JUMAT
Menurut bahasa, الصلاة berarti doa dan permintaan ampun. [2] Menurut istilah, الصلاة berarti Ibadah yang mengandung beberapa ucapan dan perbuatan khusus yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. [3]
Menurut bahasa, الجمعة berarti المجموعة (yang terkumpul). [4] Syihabuddin mendefiniskan shalat Jumat adalah shalat dua rakaat yang imam mengeraskan bacaan pada keduanya, imam berkhutbah dua khutbah sebelumnya shalat dalam keadaan berdiri dan bertekanan, dia memisahkan antara keduanya (dua khutbah) dengan duduk sebentar…[5]
Dengan memperhatikan keterangan-keterangan di atas, maka definisi shalat Jum’at adalah shalat dua rakaat secara berjamaah pada hari Jum’at dan didahului dengan dua kali khutbah.
DALIL-DALIL YANG BERKAITAN DAN ANALISA SINGKATNYA
Pertama, Hadis Abdullah bin Mas’ud tentang para wanita yang shalat di rumah pada hari Jumat
قَالَ لَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ: إِذَا صَلَّيْتُنَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مَعَ الْإِمَامِ فَصَلِّينَ بِصَلَاتِهِ، وَاذَا صَلَّيْتُنَّ فِي بُيُوتِكُنَّ فَصَلِّينَ أَرْبَعًا
Artinya:
Berkata kepada kami ‘Abdullah bin Mas’ud: ”Apabila kalian shalat di hari Jum’at bersama imam maka shalatlah kalian dengan shalatnya, dan apabila kalian shalat di rumah-rumah kalian maka shalatlah empat (rakaat)”. HR. Ibnu Abi Syaibah [6], Al-Baihaqi [7], dan ‘Abdurrazaq [8]
Hadits ini menerangkan bahwa apabila para wanita shalat Jum’at bersama imam, maka mereka mengerjakannya dua rakaat, akan tetapi jika mereka tidak menghadiri shalat Jum’at, maka mereka mengerjakan shalat empat rakaat.
Catatan: Dari 3 jalur periwayatan ini yaitu : Ibnu Syaibah, Al-Baihaqi dan Abdurrozaq terdapat rawi yang Mubham. Rawi mubham dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah adalah nenek ’Abdullah bin Ma’dan, dalam riwayat Al-Baihaqi adalah seorang wanita dari Bani Fazarah, sedangkan dalam riwayat ’Abdurrazaq adalah seorang laki-laki dan seorang wanita dari Bani Fazarah. Hadits yang di dalamnya terdapat rawi mubham termasuk hadits dla’if [9] sehingga tidak dapat dijadikan hujah.
Kedua, Hadits Abu Hurairah r.a. tentang Makmum Masbuk yang Tidak Mendapati Dua Rakaat Shalat Jum’at.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْجُمُعَةِ فَلْيُصَلِّ إِلَيْهَا أُخْرَى ، وَمَنْ فَاتَتْهُ الرَّكْعَتَانِ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا ، أَوْ قَالَ: الظُّهْرَ ، أَوْ قَالَ: الْأُولَى
Artinya:
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat Jum’at, maka hendaklah dia menambahkan (satu rakaat) yang lain, dan barang siapa yang tidak mendapatkan dua rakaat (Jum’at), maka hendaklah dia shalat empat (rakaat),” atau beliau bersabda: “(Hendaklah dia shalat) Dhuhur,” atau beliau bersabda: “(Hendaklah dia mengerjakan shalat) yang pertama”. HR. Ad- Daruquthni [10] dan Al-Baihaqi [11]
Hadits ini menunjukkan bahwa makmum yang mendapatkan satu rakaat shalat Jum’at bersama imam, hendaknya dia menambah satu rakaat, akan tetapi jika dia tidak mendapatkan dua rakaat, maka hendaknya mengerjakan shalat empat rakaat, yaitu shalat Dhuhur.
Catatan: Pada riwayat Ad-Daruquthni dari jalan Badr bin Haitsam terdapat rawi bernama Yasin Az-Zayyat (Al-Bukhori = hadisnya diingkari, An-Nasa`i dan Ibnu Junaid = hadisnya ditinggalkan, Ibnu Hibban = meriwayatkan hadis-hadis Maudlu’) [12]
Pada riwayat Ad-Daraquthni dari jalan Ali bin AL-Hasan terdapat rawi yang bernama Sulaiman bin Dawud (Abu Hatim mendalaifkanya, Bukhori = hadisnya diingkari, Ibnu Hibban = tidak dapat dijadikan Hujjah) [13]
Pada riwayat Imam Al-Baihaqi terdapat rawi bernama Shalih bin Abil Akhdlar (Abu Zur’ah, Al- Bukhari, An-Nasa`i dan At-Tirmidzi = rawi dla’if, Ibnu Hibban = dia merwiayatkan hadis-hadis yang Maqlub dari Az-Zuhri) [14]
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa hadits Abu Hurairah ini berderajat dla’if, sehingga tidak dapat dijadikan hujah.
Ketiga, Hadits ‘Umar bin Khaththab r.a. tentang Orang yang Tidak Mendapatkan Khutbah Jum’at
عن عمر بن الخطاب أنه قال: إنما جعلت الخطبة مكان الركعتين فإن لم يدرك الخطبة فليصل أربعًا
Artinya:
dari ‘Umar bin Khaththab, dia berkata: “Shalat Jum’at itu (berjumlah) empat (rakaat) maka dijadikan dua (rakaat) dari sebab (adanya) khutbah maka barang siapa yang tidak mendapatkan khutbah maka hendaklah dia shalat empat (rakaat). HR. Ibnu Abi Syaibah [15] dan ‘Abdurrazzaq [16]
Hadits ini menerangkan bahwa jumlah rakaat shalat Jum’at adalah empat rakaat, lalu menjadi dua rakaat karena adanya khutbah, maka barang siapa yang tidak mendapatkan khutbah maka dia shalat empat rakaat.
Al-Albani berkomentar bahwa hadits ini munqathi’, yaitu terputus antara ‘Amr bin Syu’aib dengan ‘Umar dan antara Yahya bin Abi Katsir dengan ‘Umar. [17]
Catatan: ‘Amr bin Syu’aib tergolong dalam thabaqah khamisah. [18] Ibnu Hajar menerangkan bahwa thabaqah khamisah adalah thabaqah sughra dari tabi’in, yaitu mereka yang hanya mendapati satu atau dua sahabat dan belum tentu mendengar dari mereka. [19] ’Umar bukan termasuk sahabat yang wafatnya akhir karena beliau wafat pada tahun 23 hijriah. [20] Jadi, tidak mungkin ’Amr bin Syu’aib mendengar dari ’Umar.
Yahya bin Abi Katsir juga tergolong dalam thabaqah khamisah. [21] Abu Hatim mengatakan bahwa Yahya bin Abi Katsir tidak bertemu dengan seorang pun dari kalangan sahabat kecuali dengan sahabat yang bernama Anas. [22] Jadi, Yahya bin Abi Katsir tidak bertemu dengan ‘Umar, apalagi meriwayatkan darinya. Dia hanya bertemu dengan Anas.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa hadits ini munqathi’. Hadits munqathi’ tergolong hadits dla’if. [23]
Selain itu, apa yang disebutkan dalam riwayat tersebut menyelisihi hadits ‘Umar (hadis di bawah), yaitu bahwa sejak awal disyariatkan, jumlah raka’at shalat Jumat itu dua raka’at, bukan empat raka’at.
Keempat, Hadits ‘Umar bin Khaththab r.a. tentang Jumlah Rakaat Shalat Jum’at.
عَنْ عُمَرَ، قَالَ : صَلَاةُ السَّفَرِ رَكْعَتَانِ، وَالْجُمُعَةُ رَكْعَتَانِ، وَالْعِيدُ رَكْعَتَانِ، تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ» عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya:
Dari ‘Umar, dia berkata: Shalat safar itu dua rakaat, shalat Jum’at itu dua rakaat, shalat Idul Fithri dan Idul Adha itu dua rakaat, sempurna, bukan qasar, atas lisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. HR. Ibnu Majah [24], Al- Baihaqi [25] dan Ibnu Khuzaimah [26]
Hadits ini menerangkan bahwa jumlah rakaat shalat Jum’at adalah dua rakaat sejak awal pensyariatan. Jumlah dua rakaat ini sudah sempurna, bukan karena shalat tersebut diqasar.
Catatan: Hadits ini berderajat hasan. Hadits hasan dapat dijadikan hujah. [27] Sanad hadits ini bersambung, tidak ada syadz maupun ‘illat, serta rawi-rawinya adalah rawi-rawi tsiqat, kecuali Yazid bin Ziyad bin Abil Ja’d (Abu Hatim = hadistnya tidak megapa, haditsnya baik) [28] Rawi yang bermartabat “hadistnya tidak megapa, haditsnya baik” menunjukkan bahwa rawi tersebut adalah rawi hasan. [29]
Kesimpulan analisa dalil-dalil yang berkaitan
1) Dalil yang menunjukkan bahwa orang yang berhalangan menghadiri shalat Jum’at dan orang yang tidak mendapatkan dua rakaat Jum’at serta orang yang tidak mendapatkan khubah Jum’at harus shalat Dhuhur berderajat dla’if, sehingga tidak dapat dijadikan hujah.
2) Hadits ‘Umar menunjukkan bahwa shalat Jum’at berjumlah dua rakaat.
3) Tidak ada nas shahih yang menunjukkan adanya perubahan jumlah rakaat shalat Jum’at bagi orang yang berhalangan menghadirinya.
PENDAPAT ULAMA
Pertama, dua raka’at
Ulama yang berpendapat bahwa orang yang berhalangan menghadiri shalat Jum’at tetap shalat dua rakaat adalah Ibnu Hazm [30] dan Ahmad Muhammad Syakir [31]
Menurut Ibnu Hazm, seorang laki-laki berudzur yang tidak menghadiri shalat Jum’at, apabila mengerjakannya dengan berjamaah, maka dia shalat dua rakaat. [32] Menurut beliau, shalat tersebut sudah dinamakan shalat Jum’at, karena dilakukan dengan berjamaah, berdasarkan hadits ‘Umar [33] yang telah lewat pada halaman delapan.
Catatan : Shalat tersebut bukan shalat Jum’at, karena shalat Jum’at mempunyai beberapa syarat. Orang berudzur yang tidak menghadiri shalat Jum’at, tetap melakukan shalat dua rakaat yaitu sama dengan jumlah rakaat bagi orang yang menghadirinya, karena tidak ada dalil yang menunjukkan jumlah rakaat bagi orang yang berhalangan menghadiri shalat Jum’at.
Ahmad Muhammad Syakir berpendapat bahwa jumlah rakaat shalat Jum’at adalah dua rakaat, baik dilakukan secara berjamaah ataupun sendirian, dengan dalil kemutlakan hadits ‘Umar. Beliau juga mengungkapkan bahwa dinamakan shalat Jumat karena shalat tersebut jatuh pada hari Jumat, bukan karena shalat tersebut tidak sah kecuali jika dilakukan dengan berjamaah. [34]
Kedua, empat raka’at
Asy-Syafi’i [35], Asy-Syirazi [36], Ibnu Qudamah [37], An-Nawawi [38], As-Sayyid Sabiq [39], Abu Malik [40] berpendapat bahwa orang yang berhalangan menghadiri shalat Jumat, maka dia mengerjakan shalat empat rakaat Dzuhur.
Catatan: Semua ulama di atas tidak menyertakan dalil untuk pendapat mereka kecuali Asy-Syafi’i. Asy-Syafi’i [41] mengatakan bahwa apabila seseorang tidak mendapatkan satu rakaat Jum’at, dia tidak mendapatkan Jum’at tersebut, dan barangsiapa yang tidak mendapatkan shalat Jum’at, menurut ijmak dia mengerjakan shalat empat rakaat.
Asy-Syafi’i menyandarkan pendapatnya pada hadits tentang makmum yang terlambat shalat Jum’at, sebagaimana difahami dari perkataan As-Saharanfuri. [42]
Catatan: Hadits-hadits tersebut berderajat dla’if (sebagaimana analisa hadis-hadis tersebut di atas) dan tidak dapat naik ke derajat hasan karena kelemahannya disebabkan adanya celaan pada ‘adalah rawi. Disebutkan dalam kitab Ushulul Hadits bahwa hadits dla’if yang kelemahannya disebabkan adanya celaan pada ‘adalah rawi, seperti tuduhan berdusta, rawi-rawi tidak dikenal, atau terlibat bid’ah yang menyebabkan kekufuran, meskipun banyak jalan periwayatannya tidak dapat naik ke derajat hasan. [43] Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hadits-hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujah, sehingga pendapat Asy-Syafi’i tidak dapat diterima.
KESIMPULAN
Dari analisis dalil dan pendapat ulama yang telah penulis uraikan dapat disimpulkan bahwa jumlah rakaat shalat bagi orang yang berhalangan menghadiri shalat Jum’at adalah dua rakaat, karena tidak ada dalil yang membatasi kemutlakan hadits ‘Umar bin Khaththab. Adapun hadits tersebut menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu berjumlah dua rakaat, wallahu a’lam.
[1] Sumber Makalah karya Ustadzah Zuliati M.S. (2025) yang berjudul “JUMLAH RAKAAT SHALAT BAGI ORANG YANG MENGHADIRI SHALAT JUMAT” yang diringkas oleh Muhammad Iqbal.
[2] Lihat : Lisanul ‘Arab, karya Ibnu Mandhur, jld. 7, hlm. 397.
[3] Lihat : Fiqhus Sunnah, karya As-Sayyid Sabiq, jld. 1, hlm. 66, k. Ash-Shalah
[4] Lihat: Al-Mu’jamul Wasith, karya Ibrahim Unais, et al., jz. 1, hlm. 135.
[5] Lihat: Irsyadus Salik, karya Al-Baghdadi, hlm. 16, k. jumu’ah..
[6] Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, jz. 1, hlm. 446, h. 5154
[7] Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, jz. 3. hlm. 186.
[8] ‘Abdurrazaq, Al-Mushannaf, jz. 3, hlm. 191, h. 5273.
[9] Lihat: Taisir Mushthalahil Hadits, karya Mahmud Ath-Thahhan, hlm. 100.
[10] Ad-Daruquthni, As-Sunan, jld. 1, jz. 2, hlm. 8, h. 1585
[11] Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, jz. 3, hlm. 203.
[12] Lihat : Lisanul Mizan, karya Ibnu Hajar, jld. 6, hlm. 238.
[13] Adz-Dzahabi, Mizanul I’tidal, jld. 2, hlm. 206.
[14] Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, jld. 4, hlm. 381.
[15] Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, jz. 1, hlm. 461, h. 5331
[16] ‘Abdurrazzaq, Al-Mushannaf, jz. 3, hlm. 237, h. 5485.
[17] Al-Albani, Irwa`ul Ghalil, jz. 3, hlm. 72.
[18] Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, jld. 1, hlm. 441, no. 5217.
[19] Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, jld. 1, hlm. 9.
[20] Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, jld. 1, hlm. 427, no. 5040.
[21] Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, jld. 2, hlm. 665, no. 7911.
[22] Ibnu Hajar Tahdzibut Tahdzib, jz. 11, hlm. 270.
[23] Lihat: Taisir Mushthalah Hadits, karya Mahmud Ath-Thahhan, hlm. 65
[24] Ibnu Majah, As-Sunan, jld. 1, hlm. 338, h. 1064.
[25] Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, jz. 3, hlm. 199.
[26] Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibni Khuzaimah, jz. 2, hlm. 340, h. 1425.
[27] Shubhi Ash-Shalih, ‘Ulumul Hadits wa Mushthalahuhu, hlm. 156.
[28] Lihat: Tahdzibut Tahdzib, karya Ibnu Hajar, jz. 11, hlm. 328, no. 627.
[29] A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, hlm. 78 dan 79.
[30] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, jld. 3, jz. 5, hlm. 55.
[31] Pada catatan kaki kitab Al-Muhalla karya Ibnu Hazm, jld. 3, jz. 5, hlm. 46.
[32] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, jld. 3, jz. 5, hlm. 55.
[33] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, jld. 3, jz. 5, hlm. 45.
[34] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, jld. 3, jz. 5, hlm. 46.
[35] Asy-Syafi’i, Al-Umm, jld.1, hlm. 219.
[36] Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, jz. 1, hlm. 153.
[37] Ibnu Qudamah, Al-Kafi, jz. 1, hlm. 246.
[38] An-Nawawi, Al-Majmu’, jz. 4, hlm. 495.
[39] As-Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, jld. 1, hlm. 229, k. Al-Jumu’ah.
[40] Abu Malik, Shahihu Fiqhis Sunnah, jz. 1, hlm. 574.
[41] Al-Kirmani, Al-Bukhari bi Syarhil Kirmani, jz. 4, hlm. 221.
[42] Lihat: Badzlul Majhud, karya As-Saharanfuri, jld. 3, jz. 6, hlm. 144
[43] Al-Khathib, Ushulul Hadits, hlm. 349.