Berhutang untuk Berkurban, Bolehkah?


Berhutang untuk Berkurban, Bolehkah?

Oleh: Ustadzah Hafidhotul Mani’ah

Al-Jaziri mengatakan bahwa salah satu dari syarat berkurban itu adalah kemampuan untuk berkurban. [1] Dalam memahami makna kemampuan dalam menunaikan tersebut, sebagian ulama berpendapat bahwa makna kemampuan itu adalah memiliki kemudahan secara fitrah, yaitu memiliki harta sebesar nisab zakat (dua ratus dirham), dan ada pula yang mengatakan bahwa makna kemampuan itu adalah mampu membeli binatang kurban meskipun dengan berutang. [2]

Pendapat Ulama

Pertama, Mubah

Ulama yang berpendapat bahwa berutang untuk berkurban itu mubah adalah Ibnu Habib (w. 238 H) [3] dan Abu Hazim [4]

Ibnu Habib tidak menyertakan dalil atas pendapat beliau. [5]

Catatan:

(1). Utang merupakan suatu muamalah [6]. Berkaitan dengan muamalah terdapat kaidah ushul fiqh yang menunjukkan bahwa´”Asal Mu’amalah itu Mubah” [7] Dengan demikian berutang itu mubah.

(2). Berkurban tidak dibebankan bagi orang yang tidak mampu dan berutang itu mubah, sehingga berutang untuk berkurban itu diperbolehkan. Dengan demikian, berutang untuk berkurban itu mubah.

(3). kebolehan seseorang berutang untuk berkurban itu dibatasi dengan syarat adanya kemampuan untuk melunasi. Hal itu  sesuai dengan hadits ’Aisyah tentang bolehnya berutang untuk berkurban dengan syarat mampu melunasi (lihat analisa hadis ini di bawah). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berutang untuk berkurban itu mubah jika mampu melunasi, sehingga pendapat Ibnu Habib yang tidak mensyaratkan kemampuan untuk melunasi ini tidak dapat diterima.

Abu Hazim berpendapat bahwa berutang untuk berkurban itu mubah dengan dalil surat Al-Hajj (22) ayat 36.

Catatan:

(1). Pengambilan surat Al-Hajj (22) ayat 36 sebagai dalil mubahnya berutang untuk berkurban dapat diterima karena manusia lebih pantas untuk mengharapkan pahala dari Allah (lihat analisa ayat ini di bawah).

(2). Dalam Ushul Fiqh disebutkan bahwa suatu nash itu dipahami mutlak [8] kecuali bila ada dalil maqbul yang menjadikannya muqayyad [9]. [10] Karena adanya hadits Aisyah dari Rifa’ah bin Hurair yang membolehkan  seseorang berutang untuk berkurban itu dibatasi dengan syarat berupa kemampuan dalam melunasi, maka maksud ayat 36 dari surat Al-Hajj itu dibatasi dengan syarat mampu melunasi.

(3). Seseorang yang berutang itu dikatakan mampu melunasi apabila memiliki jaminan untuk melunasi utangnya. Jaminan untuk melunasi itu baik berupa gaji bulanan sebagaimana pernyataan Al-‘Utsaimin [11], ataupun barang semisal tanah sebagaimana yang dialami oleh Az-Zubair bin Al-‘Awwam [12]. Oleh karena itu, kemampuan dalam melunasi ini harus dimiliki oleh orang yang berutang dan tidak hanya sebatas angan atau niat.

Kesimpulan pendapat ini: Berutang untuk berkurban mubah tanpa mensyaratkan kemampuan untuk melunasi itu tidak dapat diterima.

Kedua, Mubah dengan syarat menulasi

Ulama yang berpendapat bahwa berutang untuk berkurban itu mubah dengan syarat mampu melunasi adalah Ibnu Taimiyyah (w. 1328 M) [13],  Ibnu Muflih (w. 1362 M) [14], Ibnu Baz (w. 1999 M) [15], Al-Hanabilah [16], Al-Albani (w. 1999 M) [17], dan Al-’Utsaimin (w. 2000 M) [18] dan Muhammad Basyir Asy-Syafaqah [19]

Catatan: Para Ulama di atas tidak menyertakan dalil atas pendapat mereka ini kecuali Al-Albani.

Al-Albani menyatakan bahwa hadits ’Aisyah dari jalur Rifa’ah tentang bolehnya berutang untuk berkurban dengan syarat mampu melunasi itu dla’if dari arah periwayatannya, namun shahih dari arah dirayah (sah atau tidaknya hadits yang diceritakan). [20] Keshahihan dari arah dirayah itu disebabkan adanya hadits shahih yang menguatkannya yakni hadits ’Aisyah dari jalur Abu Salamah dan hadits Abu Hurairah yang membolehkan berutang dengan syarat mampu melunasi (lihat analisa hadis Aisyah yang akan datang).

Catatan:

(1). Pengambilan dalil beliau dapat diterima (lihat analisa hadis Aisyah di bawah).

(2). Utang merupakan amanat yang wajib dilunasi [21], dan Allah memerintahkan kita untuk menunaikan amanat (Surat An-Nisa ayat 58).

Kesimpulan pendapati ini: berutang untuk berkurban hukumnya mubah dengan syarat mampu melunasi.

Ketiga, Makruh jika Tidak Ada Harapan Dapat Melunasi Dalam Waktu Dekat

Ulama yang berpendapat bahwa utang untuk berkurban itu makruh jika tidak ada harapan untuk dapat melunasi dalam waktu dekat adalah Al-‘Utsaimin. [22]

Catatan:

(1). Beliau tidak menyertakan dalil atas pendapat beliau ini, namun beliau beralasan bahwa berutang itu akan mengakibatkan dia menanggung utang dan menyebabkan orang lain mengungkit-ungkitnya sedangkan dia tidak mengetahui apakah dirinya mampu melunasinya atau tidak. [23]

(2). Utang itu membuat seseorang cenderung berbohong dan menyelisihi janji ketika dia diminta untuk melunasi [24]. Seseorang yang tidak punya harapan untuk segera melunasi itu bisa terjatuh pada keburukan-keburukan tersebut, sedangkan berlindung dari keburukan-keburukan yang disebabkan oleh utang [25]

(3). Ibnu Baththal menjelaskan bahwa Rasulullah berlindung dari utang untuk sesuatu yang tidak dibenci Allah, sedangkan tidak ada jaminan untuk melunasinya. [26] Orang berutang untuk berkurban sedangkan keadaannya menjadikan dia tidak memiliki harapan untuk melunasi utangnya dalam waktu dekat itu serupa dengan keadaan orang berutang yang tidak mempunyai jaminan untuk melunasi, karena utang itu memberikan kepayahan bagi keduanya. Berlindungnya Rasulullah dari utang yang tidak ada jaminan untuk melunasinya itu disebabkan adanya kepayahan padanya. Sesuatu yang dijauhi syari’at dan perangai karena adanya kepayahan padanya itu dihukumi makruh. [27] Dengan demikian dipahami bahwa berutang untuk berkurban itu makruh jika tidak ada harapan untuk mendapatkan biaya pelunasan dalam waktu dekat.

Kesimpulan pendapat ini: pendapat yang menyatakan bahwa hukum berutang untuk berkurban jika tidak ada harapan dapat melunasi dalam waktu dekat itu makruh dapat diterima.

Kesimpulan:

Hukum berutang untuk berkurban adalah :

Mubah dengan syarat mampu melunasi.

Makruh jika tidak ada harapan untuk melunasi dalam waktu dekat

Dalil-Dalil yang Berkaitan dan Analisa Ringkasnya

Pertama, Surat Al-Hajj (22): Ayat 36

وَ الْبُدْنَ جَعَلْنٰهَا لَكُمْ مِنْ شَعٰئِرِ اللهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌ

Artinya :

Dan binatang-binatang ternak yang besar dan gempal badannya itu, Kami menjadikannya bagi kalian sebagai syi’ar-syi’ar Allah yang padanya (binatang-binatang ternak) itu ada kebaikan bagi kalian… (Surat Al-Hajj [22]: 36)

Abu Hazim mengambil istinbat dari ayat لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌ ini bolehnya berutang untuk berkurban agar mendapat pahala di akhirat sebagaimana yang Allah janjikan. [28]

As-Sudiy (w. 127 H) [29] menafsirkan bahwa yang dimaksud kebaikan itu adalah kebaikan di akhirat berupa pahala. Ibrahim An-Nakha’i (w. 96 H) [30] dan Az-Zamakhsyari [31] berpendapat bahwa kebaikan itu berupa manfaat yakni dapat dijadikan sebagai kendaraan dan diambil susunya. Adapun Ibnu ‘Abbas (w. 68 H), [32] Mujahid (w. 104 H) [33], Ibnul Jauzi (w. 597 H) [34], dan Ibnu ‘Asyur (w.1393 H) [35] berpendapat bahwa itu adalah manfaat di dunia dan ganjaran di akhirat.

Imam Ar-Razi (w. 606 H) menerangkan bahwa لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌ itu semakna dengan lafal ayat لَكُمْ فِيْهَا مَنَافِعُ [36] yang menerangkan tentang manfaat dari syi’ar ini, sebelum binatang itu disembelih ia dapat dijadikan sebagai kendaraan, dan diminum susunya. [37] Namun, bila maksud lafal لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌ ini adalah untuk memberi harapan, maka itu lebih pantas untuk dimaknai pahala di akhirat. Bahkan manusia itu lebih pantas untuk menginginkan sesuatu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala itu memberikan kesaksian atas adanya manfaat dan pahala padanya [38].

Catatan:

(1). perbedaan maksud lafal خَيْرٌ pada ayat ini, yaitu manfaat di dunia dan ganjaran di akhirat itu shahih dan tidak saling bertentangan, sehingga perbedaan tersebut termasuk ikhtilafut tanawwu’ [39]. Al-‘Utsaimin menjelaskan bahwa jika ada perbedaan lafal dan makna pada penafsiran ayat yang mempunyai dua makna yang tidak saling bertentangan maka semuanya diterima. [40]

(2). Abu Hazim termasuk tabi’in. Penafsiran yang berasal dari  salah satu tabi’in dan tidak ada yang menyelisihinya itu dapat diterima. [41] Penafsiran ini berasal dari tabi’in dan tidak ada yang menyelisihinya, sehingga dapat diterima.

Kesimpulan: ayat ini dapat menjadi dalil mubahnya berutang untuk berkurban

Kedua, Hadits ‘Aisyah yang Berkaitan dengan Bolehnya Berutang untuk Berkurban

نَا رِفَاعَةُ بْنُ هُرَيْرٍ نَا أَبِيْ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ؛ أَسْتَدِيْنُ وَ أُضَحِّيْ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، فَإِنَّهُ دَيْنٌ مَقْضِيٌّ . هٰذَا إِسْنَادٌ ضَعِيْفٌ . وَ هُرَيْرٌ هُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجٍ وَ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ عَائِشَةَ وَ لَمْ يُدْرِكْهَا . [42]

أَخْرَجَهُ الدَّارُقُطْنِيُّ فِي السُّنَنِ وَ مِنْ طَرِيْقَةِ الْبَيْهَقِيِّ [43] عَنْ يَعْقُوْبَ بْنِ مُحَمَّدٍ الَزُّهْرِيِّ .[44]

Artinya :

Rifa’ah bin Hurair telah menceritakan kepada kami, bapakku (Hurair bin ‘Abdurrahman) telah menceritakan kepada kami, dari ‘Aisyah (dia) berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah apakah saya boleh berutang dan berkurban’?” Beliau menjawab, “Ya, maka sesungguhnya ia itu utang yang tertunaikan’.” Ini sanad yang dla’if. Dan Hurair adalah putra ‘Abdurrahman bin Rafi’ bin Khadij, dia tidak mendengar dari ‘Aisyah dan tidak bertemu dengannya.

Ad-Daruquthni telah mengeluarkannya (hadits) dalam kitab Sunannya, dan Al-Baihaqi telah mengeluarkannya dari jalur Ya’qub bin Muhammad Az-Zuhri.

Pembahasan derajat Hadis ini

Hadits ini berderajat dla’if. Hadits dla’if  tidak dapat dijadikan sebagai hujah. [45]

Perawi yang meriwayatkan hadis ini merupakan rawi-rawi yang tsiqat (‘adl dan dlabith) dan maqbul kecuali Ya’qub bin Muhammad Az-Zuhri dan Rifa’ah bin Hurair.

Perihal Ya’qub bin Muhammad Az-Zuhri, Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa dia itu لَيْسَ بِشَيْئٍ  (bukan apa-apa), لَيْسَ يُسَاوِي شَيْئاً (tidak menyamai sesuatu, yakni bukan apa-apa). Adapun Abu Zur’ah mengatakan bahwa dia itu وَاهِي الْحَدِيْثِ (rawi yang haditsnya lemah). Abu Hatim mengatakan bahwa dia itu ٍ عَلَى يَدَيْ عَدْلٍ (dekat dengan kebinasaan). [46] Menurut Abu Zakariya -yakni Ibnu Ma’in- ia adalah rawi shaduq tetapi tidak memperhatikan dari mana dia meriwayatkan, hadits-haditsnya menyerupai hadits-hadits Al-Waqidi (rawi dla’if). As-Saji mengatakan bahwa dia itu مُنْكَرُ الْحَدِيْثِ (rawi yang diingkari haditsnya). [47] Al-‘Uqaili mengatakan bahwa dia itu  فِيْ حَدِيْثِهِ وَهْمٌ كَثِيْرٌ (pada haditsnya ada banyak kebingungan). Al-Hakim mengatakan dia itu ثِقَةٌ مَأْمُوْنٌ (tsiqat, dipercaya). [48] Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa dia itu shaduq, namun sering bingung dan banyak meriwayatkan dari rawi-rawi dla’if. [49]

Catatan:

(1). Perkataan Al-Hakim bahwa Ya’qub itu tsiqat tidak diterima karena celaan-celaan ulama terhadapnya merupakan celaan yang jelas alasannya. Dalam ‘Ilmu Ushulul Hadits ada kaidah yang menyatakan bahwa apabila berkumpul pada seorang rawi itu pujian  dan celaan yang diterangkan alasannya, maka jumhur bersepakat untuk mendahulukan celaan daripada pujian. [50]

(2). Penilaian Ibnu Hajar terhadap seorang rawi dengan lafal shaduq itu menunjukkan bahwa dia itu rawi yang ‘adl namun riwayatnya tidak diterima jika bersendiri dalam meriwayatkannya. [51] Oleh karena itu, jika Ibnu Hajar menilai seorang rawi dengan lafal shaduq yang digandengkan dengan celaan yang mendla’ifkan maka itu menunjukkan bahwa dia itu ‘adl dan tidak berdusta [52]. Dengan demikian, seorang rawi yang dinilai shaduq namun sering bingung itu riwayatnya diterima jika tidak bersendiri dalam periwayatan. Dalam hadits ini Ya’qub bersendiri dalam periwayatan, maka hadits ini tidak dapat diterima.

Adapun tentang Rifa’ah bin Hurair, Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa dia itu فِيْهِ نَظَرٌ jika yang meriwayatkan darinya Ibnu Abi Fudaik. [53] Ibnu Hibban mengatakan bahwa Rifa’ah bin Hurair itu مِمِّنْ يُخْطِئُ وَ يَنْفَرِدُ عَنْ جَدِّهِ بِشَيْئٍ لَيْسَ بِمَحْفُوْظَةٍ مِنْ حَدِيْثِ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجٍ (termasuk orang yang salah dan bersendiri dalam meriwayatkan hadits-hadits yang tidak terjaga dari kakeknya yaitu Rafi’ bin Khadij), namun tidak meniadakan kehujahan riwayat-riwayatnya yang memiliki mutaba’ah dan mencocoki riwayat-riwayat tsiqat. [54]

An-Nabil Habiburrahman mengatakan bahwa Imam Al-Bukhari sering kali menilai seorang rawi dengan lafal فِيْهِ نَظَرٌ (tentang dirinya ada pandangan) itu bermaksud menilai sanad atau hadits tertentu dan bukan rawi hadits. [55] Adapun Rifa’ah dikatakan فِيْهِ نَظَرٌ jika yang meriwayatkan darinya itu Ibnu Abi Fudaik, sedangkan hadits ini yang meriwayatkan darinya adalah Ya’qub.

(3). Namun, Ad-Daraquthni mengatakan bahwa Hurair bin ‘Abdurrahman meriwayatkan dari ‘Aisyah tetapi tidak mendengar darinya. [56] Dengan demikian, hadits ini munqathi’ [57]. Hadits munqathi’ merupakan hadits yang tidak dapat dijadikan sebagai hujah [58]

Kaitan Hadis ini dengan Pembahasan Ini

Pertama, Al-Albani memahami hadits ’Aisyah ini menunjukkan bolehnya berutang untuk berkurban dengan syarat mampu melunasi. [59] Beliau menyatakan bahwa hadits ’Aisyah tersebut meskipun dla’if dari arah sanadnya, namun maknanya shahih karena adanya hadits Aisyah juga dari jalur Abi Salamah [60] tentang bolehnya berutang dengan syarat melunasi. [61]

Catatan:

(1). Hadits ’Aisyah dari Abu Salamah berderajat shahih. Hadits yang semakna dengan hadits ’Aisyah dari Abu Salamah ini juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah. [62] Ibnu Baththal menerangkan bahwa penanggungan pelunasan utang yang dilakukan Nabi bagi orang yang sudah mati dan masih menanggung utang itu juga berlaku atas pemimpin. [63] Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa penanggungan pelunasan utang itu tidak dikhususkan untuk Nabi dan tidak wajib dilakukan. [64]

(2). hadits ’Aisyah dari Abu Salamah semakna dengan hadits ini dalam hal pelunasan dan dapat menjadi mutabi’ [65] baginya.

Kedua, Al-Albani juga menyatakan jika pelunasan dari waliyyul amri (pemimpin atau pemegang urusan) itu tidak terjadi sebagaimana sekarang ini, maka Allah akan melunasinya di akhirat sebagaimana hadits Abu Hurairah [66] tentang bantuan Allah terhadap orang yang berutang dan bermaksud untuk melunasi . [67]

(1). Hadits Abu Hurairah di atas berderajat shahih. Ibnu Hajar menerangkan hadits ini menunjukkan bahwa Allah akan melunasi utang orang yang berutang dan berniat untuk melunasinya, adakalanya di dunia dengan membukakan jalan rezekinya atau adakalanya Allah menanggung utangnya di akhirat. [68] Dengan demikian,  hadits Abu Hurairah yang maqbul ini dapat menjadi syahid [69] bagi hadits ini (hadits ‘Aisyah dari Rifa’ah bin Hurair yang sedang dianalisis ini) karena semakna dalam hal pelunasan utang.

Catatan Tambahan: Dalam ilmu mushthalah hadits disebutkan bahwa hadits dla’if bila memiliki banyak jalan periwayatan atau mencocoki hadits-hadits yang shahih dapat terangkat menjadi hasan lighairihi. [70] Hadits ini berderajat dla’if dan mencocoki hadits ‘Aisyah dari Abu Salamah dan Abu Hurairah yang berderajat shahih dalam hal pelunasan utang, sehingga hadis ini terangkat derajatnya menjadi hasan lighairihi dan dapat diterima.

Kesimpulan hadis: hadits ini dapat dijadikan sebagai hujah bahwa berutang untuk berkurban itu boleh dengan syarat mampu melunasi. (Muhammad Iqbal/ed)

 

FOOTNOTE:

[1]     Lihat Kitabul Fiqhi ‘alal Madzahibil Arba’ah susunan Al-Jaziri, jld. 1, hlm. 644.

[2]     Lihat Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu susunan Wahbah Az-Zuhaili, jld. 3, hlm. 601.

[3] Ibnu Juzai, Al-Qawaninul Fiqhiyyah, hlm. 139, k (10) Fidl Dlahaya wal ‘Aqiqah wal Khitan, b. Fil Udlhiyyah.

[4] Ibnu Katsir, Tafsirul Qur`anil ‘Adhim, jld. 3, hlm. 271.

[5]     Lihat Al-Qawaninul Fiqhiyyah susunan Ibnu Juzai, hlm. 139.

[6]     Lihat Al-Madkhalu li Dirasatil Fiqhil Islami susunan Muhammad Yusuf Musa, hlm. 115-116.

[7] Lihat Mu’jamu Mushthalahati Ushulil Fiqh susunan Quthb Mushthafa Sanu, hlm. 23.

[8]              Lafal mutlak adalah lafal yang menunjukkan individu tanpa adanya lafal lain yang membatasi. (Lihat ‘Ilmu Ushulil Fiqhi susunan ‘Abdul Wahhab Khallaf, hlm. 222).

[9]               Lafal muqayyad adalah lafal yang menunjukkan individu dengan adanya lafal lain yang membatasi. (Lihat ‘Ilmu Ushulil Fiqhi susunan ‘Abdul Wahhab Khallaf, hlm. 222).

[10]                Lihat Ushulul Fiqhil Islami susunan Wahbah Az-Zuhaili,  jz. 1, hlm. 209.

[11]    Lihat Majmu’u Fatawa wa Rasa`ila lil ‘Utsaimin susunan Al-‘Utsaimin , jld. 25, hlm. 110.

[12]    Lihat Fathul Bari susunan Ibnu Hajar, jld. 6, hlm. 358-359.

[13]             Lihat Majmu’atul Fatawa susunan Ibnu Taimiyyah, jld.13, jz. 26, hlm. 161.

[14]             Lihat Al-Furu’ susunan Ibnu Muflih, jld. 3, hlm. 564.

[15]             Lihat Majmu’u Fatawa wa Maqalaatun Mutanawwi’ah susunan Ibnu Baz, jz. 18, hlm. 37-38.

[16]             Lihat Al-Majmu’u Syarhul Muhadzdzab susunan An-Nawawi, jld. 9, hlm. 290, k. Al-Hajj, b. Al-Udlhiyyah.

[17]    Al-Albani, Silsilatul Ahaditsidl Dla’ifati wal Maudlu’ah, jld.9, hal. 168-171, h. 4145.

[18]    Lihat Majmu’u Fatawa wa Rasa`ila lil ‘Utsaimin susunan Al-‘Utsaimin, jld. 25, hlm. 109-110, soal 88 & 89.

[19] Muh. Basyir Asy-Syafaqah, Al-Fiqhul Maliki fi Tsaubihil Jadid, jz. 5, hlm. 318, b. Al-Udlhiyyah

[20] Lihat Silsilatul Ahaditsidl Dla’ifati wal Maudlu’ah susunan Al-Albani, jld. 9, hlm. 170.

[21] Lihat At-Tahriru wat Tanwir susunan Ibnu ‘Asyur, jld. 2, jz. 5, hlm. 92.

[22] Al-‘Utsaimin, Majmu’u Fatawa wa Rasa`iIa lil ‘Utsaimin, jld.25, hlm. 110 k. Al-Hadyu wal Udlhiyyah.

[23]    Lihat Majmu’u Fatawa wa Rasa`ili lil ‘Utsaimin susunan Al-‘Utsaimin, jld. 25, hlm. 109-110.

[24]    Lihat Fathul Bari susunan Ibnu Hajar, jld. 5, hlm. 341.

[25]    Lihat Fathul Bari susunan Ibnu Hajar, jld. 5, hlm. 341.

[26]    Lihat Syarhubnu Baththal susunan Ibnu Baththal, jld. 6, hlm. 427.

[27]   Lihat Al-Muhadzdzabu fi ‘Ilmi Ushulil Fiqhil Muqaran susunan ‘Abdul Karim An-Namlah, jld. 1, hlm. 283.

[28] Lihat Tafsirul Qur`anil Adhim susunan Ibnu Katsir, jld. 3, hlm. 271.

[29] Lihat An-Nukatu wal ‘Uyun susunan AlMawardi, jld. 4, hlm. 26.

[30] Lihat An-Nukatu wal ‘Uyun susunan Al-Mawardi, jld. 4, hlm.26

[31] Lihat Al-Kasysyaf susunan Az-Zamakhsyari, jld. 3, hlm. 14.

[32] Lihat Ruhul Ma’ani susunan Al-Alusi, jld. 9, hlm.149.

[33] Lihat Ad-Durrul Mantsur susunan As-Suyuthi, jld. 4, hlm. 650.

[34] Lihat Zadul Masiri fi ‘Ilmit Tafsir susunan Ibnul Jauzi, jld. 3, jz. 5, hlm. 315.

[35] Lihat At-Tahriru wat Tanwir susunan Ibnu ‘Asyur, jld. 7, hlm. 263.

[36] Lihat At-Tafsirul Kabir susunan Fakhruddin Ar-Razi, jld. 12, hlm. 32.

[37] Lihat At-Tafsirul Kabir susunan Fakhruddin Ar-Razi, jld. 12, hlm. 30.

[38] Lihat Tafsirul Kabir susunan Fakhruddin Ar-Razi, jld. 12, hlm. 32.

[39] Ikhtilaf tanawwu’ adalah berbilangnya penafsiran pada suatu ayat yang semuanya shahih dan tidak saling bertentangan. (Lihat Fushulun fi Ushulit Tafsir susunan Ath-Thayyar, hlm. 59).

[40] Lihat Ushulun fit Tafsir susunan Al-‘Utsaimin, hlm. 44.

[41] Lihat Fushulun fi Ushulit Tafsir susunan Ath-Thayyar, hlm. 40.

[42]    Ad-Daruquthni, Sunan Ad-Daruquthni, jld. 2, jz. 4, hlm. 283, h. 46.

[43]    Al-Baihaqi, Sunanul Kubra lil Baihaqi, jld. 9, hlm. 262,

[44]    Al-Albani, Silsilatul Ahadits Adl-Dla’ifah, jld. 9, hlm. 168-171, h. 4145.

[45] Lihat Taujihul Qari, susunan Az-Zahidi, hlm. 167.

[46] Lihat Tahdzibut Tahdzibi fi Rijalil Hadits susunan Ibnu Hajar, jld. 7, hlm. 220, no. 9155.

[47] Lihat Tahdzibut Tahdzibi fi Rijalil Hadits susunan Ibnu Hajar, jld. 7, hlm. 220, no. 9155.

[48] Lihat Tahdzibut Tahdzibi fi Rijalil Hadits susunan Ibnu Hajar, jld. 7, hlm. 221, no. 9155.

[49] Lihat Taqribut Tahdzib, susunan Ibnu Hajar, jld. 2, hlm. 339, no. 7863.

[50] Lihat Qawa’idut Tahdits susunan Al-Qasimi, hlm. 188, b.(5) Fil Jarhi wat Ta’dili, masalah no. 3.

[51] Lihat Tadzhibu Taqribit Tahdzib susunan Abu Mu’adz, jld. 1, hlm. 23 pada catatan kaki.

[52] Lihat Tadzhibu Taqribit Tahdzib susunan Abu Mu’adz, jld. 1, hlm. 25 pada catatan kaki.

[53]    Lihat Al-Kamilu fi Dlu’afa`ir Rijal, susunan Ibnu ‘Adi, jld. 3, hlm. 161, no. 28 \ 678.

[54]    Lihat Kitabul Majruhin minal Muhadditsin susunan Ibnu Hibban, jld. 1, hlm. 380-381.

[55]    Lihat Qawa’idu fi ‘Ulumil Hadits susunan At-Tahanawi, hlm 257.

[56]    Lihat Tahdzibut Tahdzibi fi Rijalil Hadits susunan Ibnu Hajar, jld. 6, hlm. 630-631, no.8548.

[57]    Munqathi’ adalah hadits yang telah gugur rawi dari sanadnya itu pada satu tempat atau lebih (lihat Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu susunan ‘Ajjaj Al-Khathib, hlm. 362).

[58]    ‘Ajjaj Al-Khathib, Ushulul Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, hlm. 362.

[59] Lihat Silsilatul Ahaditsidl Dla’ifah, susunan Al-Albani, jld.9, hlm. 170, h. 4145.

[60] Lihat Al-Musnad, karya Ahmad bin Hanbal, jld. 17, hlm. 543, Musnadu ’Aisyah, h. 25089

[61] Lihat Silsilatul Ahaditsidl Dla’ifah, susunan Al-Albani, jld. 9, hlm. 170, h. 4145.

[62]    Lihat Al-Mausu’atul Haditsiyyah Musnadul Imami Ahmad susunan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin, jld. 40, hlm. 512.  Lihat juga Shahihul Bukhari susunan Al-Bukhari, jld. 4, hlm. 384, h. 6731.

[63]    Lihat Syarhubni Baththal susunan Ibnu Baththal, jld. 6, hlm. 354, h. 9 / 2420.

[64]    Lihat Fathul Bari susunan Ibnu Hajar, jz. 5, hlm. 242, h. 2296.

[65]    Hadits yang para rawinya berserikat dengan para rawi hadits gharib secara lafadz dan makna atau makna saja dan bersumber dari shahabat yang sama. (Lihat Taisirul Mushthalahil Hadits susunan Ath-Thahhan, hlm. 115)

[66] Lihat: Shahihul Bukhari,karya Al-Bukhari,  jld. 2, hlm. 241, h. 2387.

[67]              Al-Albani, Silsilatul Ahaditsidl Dla’ifah, jld. 9, hal. 170.

[68]    Lihat Fathul Bari susunan Ibnu Hajar, jz. 5, hlm. 332..

[69]    Hadits yang para rawinya berserikat dengan para rawi hadits gharib secara lafadz dan makna atau makna saja dan bersumber dari shahabat yang berbeda. (Lihat Taisirul Mushthalahil Hadits susunan Ath-Thahhan, hlm. 115)

[70] Lihat Qawa’idut Tahdits,susunan Al-Qasimi, hlm. 109.

Tinggalkan komentar