Daftar Isi:
Hukum Asuransi Kesehatan
Oleh: Maryam Shofwatunnisa`
Dewasa ini, asuransi kesehatan banyak bermunculan di kalangan masyarakat Indonesia, misalnya JAMKESMAS, ASKESKIN, dan BPJS. Asuransi kesehatan tersebut merupakan perkara yang hukumnya belum banyak diketahui oleh masyarakat, sehingga sebagian masyarakat ada yang mau mengasuransikan kesehatannya, sedangkan yang lain tidak mau mengasuransikannya.
Berikut Uraian Pembahasan tentang Hukum Asuransi Kesehatan dalam tinjauan Syariat:
Maksud Asuransi
Asuransi adalah kesepakatan antara dua pihak, yaitu pihak yang berkewajiban membayar iuran dan pihak yang berkewajiban memberikan jaminan, sesuai dengan kesepakatan [1]
Maksud Asuransi Kesehatan
Asuransi kesehatan adalah kesepakatan antara dua pihak, yaitu pihak yang berkewajiban membayar iuran (pihak tertanggung) dan pihak yang berkewajiban memberikan jaminan pengobatan sesuai dengan kesepakatan (pihak penanggung). [2]
Adapun asuransi kesehatan yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah asuransi kesehatan yang pihak tertanggung membayar iuran, sedangkan pihak penanggung memberi jaminan pengobatan dengan kesepakatan bahwa jika iuran tertanggung tidak digunakan, maka dapat digunakan untuk tertanggung lain, begitu pula jika iuran tertanggung tidak mencukupi, maka dicukupi dari iuran tertanggung lain. [3]
Pendapat Ulama Tentang Hukum Asuransi Kesehatan
Mubah
Ulama yang berpendapat bahwa hukum asuransi kesehatan itu mubah adalah Markazud Dirasatil Fiqhiyyati wal Iqtishadiyyah, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Mausu’atu Fatawal Mu’amalatil Maliyyah, [4] Wahbah Az-Zuhaili [5], dan Muhammad Sa’id ‘Abdul Lathif [6]
Markazud Dirasatil Fiqhiyyati wal Iqtishadiyyah [7] menyatakan bahwa hukum asuransi kesehatan itu mubah, karena asuransi kesehatan termasuk aqad ja’alah [8]
Catatan: Alasan Markazud Dirasatil Fiqhiyyati wal Iqtishadiyyah bahwa asuransi kesehatan termasuk aqad ja’alah tersebut tidak dapat diterima, sebab dalam asuransi kesehatan hanya terdapat iuran dari tertanggung untuk mendapatkan pengobatan dari penanggung, bukan merupakan imbalan untuk penanggung, sedangkan pengobatan untuk tertanggung merupakan penggunaan hasil iuran, bukan sebagai imbalan untuk tertanggung.
Wahbah Az-Zuhaili berpendapat bahwa asuransi kesehatan itu mubah, karena iuran yang dibayarkan oleh tertanggung merupakan kerelaannya untuk tolong-menolong antartertanggung, sehingga biaya pengobatan yang diterima tertanggung tidak termasuk riba. [9]
Catatan: Dalam asuransi kesehatan, tujuan dari iuran yang dibayarkan oleh tertanggung adalah untuk pengobatan antartertanggung yang sakit. Adapun kelebihan pengobatan yang diterima tertanggung tidak termasuk riba, karena riba itu kelebihan yang didapat dari aqad jual beli atau pinjam-meminjam [10], sedangkan asuransi kesehatan bukanlah aqad jual beli atau pinjam-meminjam, akan tetapi merupakan iuran untuk tolong-menolong dalam pengobatan.
Adapun Muhammad Sa’id ‘Abdul Lathif berpendapat bahwa asuransi yang dikelola oleh negara itu mubah, jika sistemnya tidak mengandung riba ataupun hal lain yang diharamkan syari’at. [11]
Catatan: Asuransi kesehatan itu merupakan bentuk tolong-menolong dalam pengobatan, yaitu iuran tertanggung yang tidak digunakan dapat digunakan untuk pengobatan tertanggung lain, begitu pula iuran tertanggung yang tidak mencukupi untuk pengobatan, akan dicukupi dari iuran tertanggung lain, sedangkan setiap tertanggung tidak mengharapkan pengembalian dari kelebihan iurannya, dan setiap tertanggung mengetahui kesepakatan tersebut saat terjadinya aqad, sehingga tidak mengandung riba dan tidak melanggar syariat.
Mubah, Apabila Darurat
Ulama yang berpendapat bahwa hukum asuransi kesehatan itu mubah, apabila darurat adalah Su’ud bin ‘Abdullah Al-Fanisan [12] dan Yusuf Qardlawi [13]
Su’ud bin ‘Abdullah Al-Fanisan menyatakan bahwa bermuamalah dengan asuransi kesehatan itu mubah, apabila darurat dengan alasan asuransi kesehatan itu termasuk aqad irtifaq [14] dan termasuk aqad ja’alah (kesepakatan untuk memberi imbalan atas pekerjaan yang diselesaikan). [15]
Catatan:
(1). Asuransi kesehatan termasuk aqad irtifaq (pemanfaatan suatu barang) tidak dapat diterima, karena dalam asuransi kesehatan setiap tertanggung membayar iuran untuk biaya pengobatan (lihat definisi asuransi kesehatan), bukan pemanfaatan barang yang ada.
(2). asuransi kesehatan termasuk aqad ja’alah tidak dapat diterima, karena dalam asuransi kesehatan, iuran dari tertanggung merupakan usaha untuk tolong-menolong dalam pengobatan (lihat definisi asuransi kesehatan), bukan merupakan imbalan untuk tertanggung maupun penanggung, sedangkan dalam aqad ja’alah upah yang didapat merupakan imbalan atas pekerjaan yang diselesaikan.
(3). Adapun pernyataan beliau bahwa asuransi kesehatan itu mubah, dengan syarat darurat tidak dapat diterima, karena asuransi kesehatan merupakan tolong-menolong dalam pengobatan dan merupakan perkara muamalah yang tidak ada larangan dalam syariat (lihat analisis surat An-Nisa` ayat 29), sehingga hukumnya mubah, sedangkan hukum mubah itu berlakunya tanpa syarat darurat.
Yusuf Al-Qardlawi menyatakan bahwa asuransi kesehatan itu hukum asalnya haram, sedangkan sesuatu yang hukumnya haram hanya boleh dilanggar apabila dalam keadaan darurat. Beliau berpendapat bahwa asuransi kesehatan merupakan kebutuhan yang mendesak, sehingga ia menduduki kedudukan darurat, yaitu membolehkan sesuatu yang hukumnya haram. [16]
Catatan: asuransi kesehatan merupakan perkara muamalah dan tidak terdapat dalil yang mengharamkannya, sedangkan perkara muamalah itu jika tidak ada dalil yang mengharamkannya, maka dihukumi mubah (lihat perkara muamalah pada analisis surat An-Nisa`ayat 29). Adapun pendapat beliau bahwa asuransi kesehatan merupakan kebutuhan yang mendesak itu tidak dapat diterima, karena pengobatan tidak harus melalui asuransi kesehatan.
Haram
Ulama yang berpendapat bahwa asuransi kesehatan itu haram adalah Ulama Al-Lajnatud Da`imah [17] dan Asy-Syanqithi [18]
Ulama Al-Lajnatud Da`imah berfatwa bahwa asuransi kesehatan itu haram, karena kadang-kadang tertanggung sering sakit dan membutuhkan pengobatan lebih banyak daripada iuran yang dia bayarkan, namun tidak diharuskan menambah iuran tersebut, begitu pula tertanggung yang jarang-jarang sakit, kelebihan iuran yang digunakan untuk pengobatan tidak dikembalikan kepadanya, sehingga asuransi kesehatan merupakan perjudian. [19] Selain itu asuransi kesehatan mengandung tipuan dan termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil. [20]
Catatan:
(1). Perjudian itu pihak yang menang mengambil harta dari yang kalah dan tiap orang ingin menang sehingga dapat mengambil harta dari pihak lainnya, sedangkan dalam asuransi kesehatan tidak ada anggota yang ingin sakit agar dapat menggunakan iuran dari sesama anggota yang lain (lihat analisis surat Al-Ma`idah ayat 90).
(2). kedua pihak sudah sepakat menggunakan iuran untuk tolong-menolong dalam pengobatan dan saling rela dengan tidak dikembalikannya iuran jika iuran tersebut tidak digunakan oleh yang bersangkutan (lihat analisis hadits Abu Hurairah), sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dan tidak termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
Asy-Syanqithi berpendapat bahwa semua asuransi hukumnya haram, karena di dalamnya terdapat unsur tipuan. Beliau mengatakan bahwa tidak ada dalil yang menunjukkan bolehnya asuransi, bahkan dalil-dalil shahih menunjukkan sebaliknya. [21]
Catatan: asuransi kesehatan adalah kesepakatan untuk menggunakan iuran yang terkumpul atas dasar kerelaan untuk tolong-menolong dalam pengobatan (lihat analisis hadits Abu Hurairah), sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Adapun dalil yang menunjukkan bolehnya asuransi kesehatan secara langsung memang tidak ada dan dalil yang menunjukkan keharamannya juga tidak ada, namun asuransi kesehatan merupakan perkara muamalah dan perkara muamalah itu hukumnya mubah, jika tidak terdapat dalil yang mengharamkannya (lihat analisis Surat An-Nisa` ayat 29).
Kesimpulan
Hukum Asuransi kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam pembahasan adalah mubah.
Muslimin hendaklah menggunakan asuransi kesehatan sebagai salah satu ikhtiar untuk mendapat kesembuhan.
Dalil-Dalil Yang Berkaitan tentang Hukum Asuransi Kesehatan dan Analisa ringkasnya
Surat Al-Ma`idah (5) Ayat 2
… وَ تَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَ التَّقْوَى وَ لاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَ الْعُدْوَانِ …
Artinya:
… Dan kalian tolong-menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan jangan kalian tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan….
Al-Qurthubi menerangkan bahwa maksud ayat “dan kalian tolong-menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan” dalam ayat ini adalah Allah memerintahkan kepada semua manusia untuk tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan. [22] Adapun Wahbah Az-Zuhaili memahami bahwa lafal “dan kalian tolong-menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan” dalam ayat ini menunjukkan wajibnya tolong-menolong antara manusia dalam kebaikan dan ketaqwaan. [23]
Catatan: Berkaitan dengan pembahasan ini, dalam asuransi terdapat tolong-menolong antartertanggung berupa saling menanggung biaya pengobatan dengan iuran yang dibayar setiap bulan, sedangkan pihak penanggung mengurusi teknis pelaksanaan kesepakatan ini.
Surat An-Nisa` (4) Ayat 29
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ .
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta-harta kalian di antara kalian secara batil, kecuali bahwasanya adalah ia (harta-harta) itu perdagangan atas dasar saling ridla dari kalian…
Ath-Thabari menerangkan bahwa maksud ayat ini adalah janganlah sebagian dari kalian memakan harta-harta sebagian yang lain dengan cara yang diharamkan oleh Allah, misalnya dengan cara riba, judi, dan dengan cara lain yang dilarang oleh Allah. [24]
Ulama Al-Lajnatud Da`imah memahami bahwa asuransi kesehatan itu haram, karena termasuk dalam keumuman ayat ini. [25]
Catatan:
(1). Sistem pengobatan dengan cara membayar sejumlah uang tertentu untuk pengobatan sesama anggota itu tidak termasuk memakan harta orang lain dengan batil, dengan sebab tidak mengandung unsur riba, judi, atau cara yang dilarang oleh syariat, sehingga tidak termasuk dalam keumuman ayat ini.
(2). Asuransi kesehatan merupakan perkara muamalah [26]. Adapun perkara muamalah itu mubah, kecuali jika terdapat nash yang menunjukkan keharamannya, sebagaimana disebutkan dalam kaidah ilmu Ushul Fiqh bahwa hukum asal segala sesuatu dalam perkara muamalah itu mubah, kecuali jika terdapat nash yang menunjukkan keharamannya [27], sedangkan asuransi kesehatan itu tidak ada dalil yang mengharamkannya, sehingga kembali kepada hukum asal bahwa sistem ini diperbolehkan.
Surat Al-Ma`idah (5) Ayat 90
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَ الْمَيْسِرُ وَ اْلأَنْصَابُ وَ اْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ .
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya tiada lain khamar, judi, berhala-berhala, dan undian-undian nasib itu kekejian dari perbuatan syaithan. Maka kalian jauhilah ia agar kalian beruntung.
Ibnu Katsir memahami bahwa ayat ini merupakan larangan untuk melakukan perjudian, [28] sedangkan Wahbah Az-Zuhaili memahami bahwa perjudian itu hukumnya haram. [29] Dengan demikian, ayat ini menunjukkan haramnya perjudian.
Ulama Al-Lajnatud Da`imah menyatakan bahwa berdasarkan ayat ini, asuransi kesehatan itu haram, karena termasuk perjudian, yaitu tertanggung yang sakit, membutuhkan biaya pengobatan lebih banyak daripada iuran yang dibayarkan, tanpa harus menambah kekurangan biaya pengobatannya; dan ketika tidak sakit, dia tidak mendapatkan pengembalian uang dari iuran yang telah dia bayarkan. [30]
Catatan: perjudian itu semua permainan yang mengandung persyaratan bahwa yang menang mengambil harta dari yang kalah [31], sehingga tiap orang ingin menang, sedangkan dalam asuransi kesehatan tidak ada peserta yang ingin menang, yaitu ingin sakit agar dapat pengembalian iurannya. Selain itu, asuransi kesehatan merupakan bentuk tolong-menolong, yaitu saling menggunakan iuran, sehingga apabila terjadi kelebihan biaya pengobatan atas iuran yang dibayarkan atau tidak dikembalikannya iuran yang tidak terpakai bukan merupakan perjudian. Kesepakatan untuk saling menggunakan iuran ini telah diketahui semua tertanggung, sehingga mereka rela bahwa iuran yang tidak mereka gunakan tidak akan dikembalikan
Hadits Abu Hurairah tentang Larangan Jual-Beli dengan Tipuan
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ . [32] رَوَاهُ مُسْلِمٌ .
Artinya:
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli hashah [33] dan jual-beli dengan tipuan. Muslim telah meriwayatkannya
Ash-Shan’ani mengatakan bahwa maksud “al-ghoror” dalam hadits ini adalah tipuan yang diyakini akan adanya ketidakrelaan pembeli ketika mendapatinya, misalnya menjual sesuatu yang tidak jelas keadaannya atau menjual sesuatu yang tidak jelas kepemilikannya. [34] Dari penjelasan Ash-Shan’ani tersebut, gharar adalah tipuan yang menyebabkan ketidakrelaan pembeli dengan sebab ketidakjelasan keadaan barang yang dijual atau ketidakjelasan kepemilikannya.
NB : Berkenaan dengan hadits Abu Hurairah tentang larangan jual beli dengan tipuan ini tidak terdapat qarinah yang memalingkan larangan jual beli yang mengandung tipuan dari keharamannya, sehingga larangan dalam hadits ini menunjukkan haramnya jual beli sesuatu yang menyebabkan ketidakrelaan pembeli dengan sebab ketidakjelasan keadaan barang yang dijual atau ketidakjelasan kepemilikannya.
Ulama Al-Lajnatud Da`imah memahami bahwa berdasarkan hadits ini, asuransi kesehatan itu haram, karena ketika aqad tertanggung dan penanggung tidak dapat mengetahui jumlah iuran yang akan diserahkan dan jumlah biaya yang akan digunakan untuk pengobatan. [35]
Catatan: pernyataan Ulama Al-Lajnatud Da`imah bahwa ketika aqad tertanggung dan penanggung tidak dapat mengetahui jumlah iuran yang akan diserahkan dan jumlah biaya yang akan digunakan untuk pengobatan tersebut benar, akan tetapi ketidakjelasan jumlah iuran dan biaya yang akan digunakan untuk pengobatan tersebut tidak menyebabkan ketidakrelaan tertanggung maupun penanggung, karena kedua pihak sudah sepakat dan saling rela menggunakan iuran untuk tolong-menolong dalam pengobatan, sehingga tidak termasuk tipuan. Dengan demikian, pernyataan Ulama Al-Lajnatud Da`imah tersebut tidak dapat diterima.
Berdasarkan analisis dalil-dalil yang berkaitan dengan hukum asuransi kesehatan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Surat Al-Ma`idah ayat 5 dapat dijadikan sebagai dalil mubahnya asuransi kesehatan.
- Surat An-Nisa` ayat 29 tidak dapat dijadikan sebagai dalil haramnya asuransi kesehatan.
- Surat Al-Ma`idah ayat 90 tidak dapat dijadikan sebagai dalil haramnya asuransi kesehatan.
- Hadits Abu Hurairah tentang larangan jual beli dengan tipuan tidak dapat dijadikan sebagai dalil haramnya asuransi kesehatan (Muhammad iqbal/ed)
Artikel ini diringkas dan diedit oleh Muhammad Iqbal dari tulisan ilmiyyah karya Maryam Shofwatun Nisa yang berjudul “Hukum Asuransi Kesehatan”
[1] Lihat Syauqi Dlaif, Al-Mu’jamul Wasith, hlm. 28, Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia susunan Depertemen Pendidikan Nasional, hlm. 96.
[2] Lihat Mausu’atul Fiqhil Islamiyyi wal Qadlayal Mu’ashirah susunan Wahbah Az-Zuhaili, jld. 9, hlm. 742.
[3] Lihat Selami Asuransi Demi Proteksi Diri susunan Joice TS dan Nurul Qomariyah, hlm. 57.
[4] Lihat Mausu’atu Fatawal Mu’amalatil Maliyyah susunan Markazud Dirasatil Fiqhiyyati wal Iqtishadiyyah, jld. 10, hlm.223.
[5] Lihat Mausu’atul Fiqhil Islamiyyi wal Qadlayal Mu’ashirah susunan Wahbah Az-Zuhaili, jld. 9, hlm. 743.
[6] Lihat Nudhumut Ta’mini wa Hukmuha fisy Syari’atil Islamiyyah susunan Muhammad Sa’id ‘Abdul Lathif, hlm. 52-53.
[7] Lihat Mausu’atul Fatawa wal Mu’amalatil Maliyyah susunan Markazud Dirasatil Fiqhiyyah wal Iqtishadiyyah, jld. 10, hlm. 223.
[8] Aqad ja’alah adalah aqad bahwa seseorang akan memberikan imbalan kepada orang yang telah menyelesaikan suatu pekerjaan untuknya (lihat Al-Muhadzdzabu fi Fiqhi Madzhabil Imamisy Syafi’i susunan Asy-Syirazi, jld. 1, hlm. 574).
[9] Lihat Al-Fiqhul Islamiyyu wa Adillatuh susunan Wahbah Az-Zuhaili, jz. 4, hlm. 216.
[10] Lihat Al-Mu’amalatul Maliyyatul Mu’ashirah susunan Wahbah Az-Zuhaili, hlm. 46-47.
[11] Lihat Nudhumut Ta’mini wa Hukmuha fisy Syari’atil Islamiyyah susunan Muhammad Sa’id ‘Abdul Lathif, hlm. 52-53.
[12] Lihat Durusun wa Taujihatun fid Da’wati wad Du’ah susunan Su’ud bin ‘Abdullah Al-Fanisan, hlm. 397-399).
[13] Lihat Fatawa Mu’ashirah susunan Yusuf Al-Qardlawi, jz. 4, hlm. 618.
[14] Irtifaq adalah pemanfaatan suatu barang (lihat Al-Mausu’atul Fiqhiyyah susunan Wizaratul Auqafi wasy Syu`unil Islamiyyah, jz. 3, hlm. 10).
[15] Lihat Durusun wa Taujihatun fid Da’wati wad Du’ah susunan Su’d bin ‘Abdullah Al-Fanisan, hlm. 397-399).
[16] Lihat Fatawa Mu’ashirah susunan Yusuf Al-Qardlawi, jz. 4, hlm. 618.
[17] Lihat Fatawal Lajnatid Da`imah susunan Ad-Duwaisy, jld. 15, hlm. 298.
[18] Lihat Adlwa`ul Bayan susunan Asy-Syanqithi, jz. 6, hlm. 239.
[19] Lihat Fatawa Lajnatid Da`imah susunan Ad-Duwaisy jld. 15, hlm. 295-296.
[20] Lihat Fatawa Lajnatid Da`imah susunan Ad-Duwaisy jld. 15, hlm. 311.
[21] Lihat Adlwa’ul Bayan susunan Asy-Syanqithi, jz. 6, hlm. 239.
[22] Lihat Al-Jami’u li Ahkamil Qur`an susunan Al-Qurthubi, jld. 3, jz. 6, hlm. 18.
[23] Lihat At-Tafsirul Munir susunan Wahbah Az-Zuhaili, jz. 6, hlm. 74.
[24] Lihat Jami’ul Bayani fi Tafsiril Qur`an susunan Ath-Thabari, jld. 4, jz. 5, hlm. 20.
[25] Lihat Fatawal Lajnatid Da`imah susunan Ad-Duwaisy, jld. 15, hlm. 311.
[26] Muamalah adalah aturan-aturan yang berkaitan dengan perkara duniawi (lihat Mu’jamul Lughatil ‘Arabiyyatil Mu’ashirah susunan Ahmad Mukhtar ‘Umar, jld. 2, hlm. 1556).
[27] Lihat Al-Wajizu fi Ushulil Fiqh susunan ‘Abdul Karim Zaidan, hlm. 267.
[28] Lihat Tafsirul Qur`anil ‘Adhim susunan Ibnu Katsir, jld. 2, hlm. 98.
[29] Lihat Tafsirul Munir susunan Wahbah Az-Zuhaili, jz. 7, hlm. 39.
[30] Lihat Fatawal Lajnatid Da`imah susunan Ad-Duwaisy, jld. 15, hlm. 295-296.
[31] Lihat Mu’jamul Lughatil ‘Arabiyyatil Mu’ashirah susunan Ahmad Mukhtar ‘Umar, jld. 3, hlm. 1857.
[32] Muslim, Al-Jami’ush Shahih, jld. 3, jz. 5, hlm. 3,
[33] Jual-beli hashah adalah jual beli dengan melemparkan batu (lihat Al-Mausu’atul Fiqhiyyah susunan Wizaratul Auqafi wasy Syu`unil Islamiyyah, jz. 9, hlm. 88).
[34] Lihat Subulus Salam susunan Ash-Shan’ani, jz. 3, hlm. 26.
[35] Lihat Fatawal Lajnatid Da`imah susunan Ad-Duwaisy, jld. 15, hlm. 278.