Daftar Isi:
- 1 Pengertan Cadar
- 2 Pendapat Para Ulama tentang Cadar bagi Wanita
- 3 Dalil-dalil yang berkaitan tentang Cadar bagi Wanita dan analisanya.
- 3.1 Pertama, An-Nur (24): 31
- 3.2 Kedua, Al-Ahzab (33): 53
- 3.3 Ketiga, Al-Ahzab (33): 59
- 3.4 Keempat, Hadis Ibnu Abbas tentang Fadel memandang wanita
- 3.5 Kelima, Hadis Ibnu Umar tentang larangan bercadar bagi wanita yang sedang ihram.
- 3.6 Keenam, Hadis Aisyah tentang larangan menampakkan angggota tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan.
- 3.7 Ketujuh, Hadis Sahl bin Sa’ad tentang wanita yang menghibahkan diri kepada Nabi.
- 3.8 Kedelapan, Hadis Jabir tentang wanita yang pipinya merah kehitam-hitaman.
- 3.9 Kesembilan, hadis tentang para wanita yang membuka wajah ketika haji.
- 3.10 Kesepuluh, tentang perintah untuk memalingkan wajah.
- 3.11 Kesebelas, Hadis Ibnu Buraidah dari bapaknya tentang larangan mengikuti pandangan.
- 3.12 Kedua belas, Hadis Abu Humaid tentang bolehnya memandang wanita yang akan dipinang.
- 4 Penutup dan kesimpulan:
HUKUM MEMAKAI CADAR BAGI WANITA
Oleh: Ustadzah Siti Saudah
Dewasa ini fenomena cadar di kalangan muslimah semakin marak. Sebagian menganggap cadar merupakan model pakaian yang musti dipakai oleh muslimah sebagai ikhtiyar menutup aurat dan sebagian yang lain menganggap bahwa cadar tidaklah menjadi standard wajib yang musti dipakai oleh muslimah sebagai upaya menutup aurat.
Ustadzah Siti Saudah berupaya meneliti status cadar bagi seorang muslimah dalam pandangan syari’at dan menulis sebuah makalah sebagai syarat lulus dari Mahad Al-Islam dengan judul; “HUKUM CADAR BAGI WANITA”
Tulisan ini merupakan upaya untuk mengikhtishar risalah ilmiyyah tersebut, dan berikut ini yang bisa kami sajikan, semoga bermanfaat.
Pengertan Cadar
Cadar Cadar menurut bahasa adalah kain penutup kepala atau muka (bagi perempuan).
Abdullah Nashih Ulwan menyebutkan pengertian di dalam catatan kaki kitab ‘Tarbiyatul Awlad fil Islam’, lafal An-Niqabu: artinya tutup wajah).
Pendapat Para Ulama tentang Cadar bagi Wanita
Pendapat ulama tentang wajib atau tidaknya cadar secara langsung belum didapatkan, akan tetapi, pada pembahasan kali ini akan tetap menggunakan istilah wajib dan tidaknya cadar, karena mereka yang berpendapat bahwa wajah wanita adalah aurat, mewajibkan wanita mengenakan cadar atau tutup wajah, sehingga dalam bab ini banyak dicantumkan pendapat mereka tentang wajah wanita.
Pertama, Cadar wajib bagi Wanita
- Jumhur Ulama [1]
- Asy-Syafiyyah [2]
- Abu Bakar Ar-Razi, As-Suyuthi[3] dan Abus Su’ud [4]
- Ibnul Arabie[5]
- Ash-Shabuni [6]
- Ibnu Khuwaiz Mandad [7]
Kedua, Cadar tidak wajib bagi Wanita
- Imam Malik [8]
- Abu Hanifah [9]
- Asy-Syafi’I [10]
- Al-Auza’I dan Abu Tsaur [11]
- Ibnu Rusyd [12]
- An-Nawawi [13]
- Pengikut Madzhab Maliki dan Hanafi [14]
- Pengikut Madzhab Hanbali [15]
- Al-Alusi [16]
- Asy-Syirazi [17]
- Ibnu Abdil Barr [18]
- Ibnu Bathal [19]
- Qadli Iyadl [20]
- Sayyid Quthb [21]
Dalil-dalil yang berkaitan tentang Cadar bagi Wanita dan analisanya.
Note: tidak ditemukan ayat atau hadis yang menyebutkan hukum cadar secara jelas, akan tetapi Sebagian ulama menjadikan beberapa ayat dan hadis sebagai dalil wajib tidaknya Wanita memakai cadar.
Pertama, An-Nur (24): 31
وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ … وَلَا يَضۡرِبۡنَ بِأَرۡجُلِهِنَّ لِيُعۡلَمَ مَا يُخۡفِينَ مِن زِينَتِهِنَّۚ
Artinya:
Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa-apa yang tampak darinya. Dan hendaklah mereka menjulurkan khimar-khimar ke dada-dada mereka… Dan janganlah mereka menghentakkan kaki mereka supaya diketahui apa yang mereka sembunyikan dari perhiasan mereka.
Terdapat 3 pembahasan pada ayat ini yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama tentang hukum cadar bagi wanita:
- Lafal إلا من ظهر منها
Ayat tersebut menjelaskan bahwa wanita dilarang menampakkan perhiasan mereka kecuali perhiasan yang tampak atau perhiasan dhahir. Dengan kata lain, wanita hanya boleh menampakkan perhiasan dhahir yang termasuk dalam perkecualian ayat tersebut.
Ulama berbeda pendapat dalam penafsiran lafadh tersebut. Sebagian mereka menyatakan bahwa perhiasan yang diperkecualikan dalam ayat tersebut adalah pakaian, karena pakaian adalah perhiasan luar yang biasa tampak. Sebagian yang lain menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah wajah dan dua telapak tangan.
Pendapat kedua lebih tepat, karena:
- Terdapat hadis Aisyah tentang sabda Nabi kepada Asma` binti Abu Bakar bahwa Wanita yang sudah baligh, tidak boleh terlihat anggota tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Hadis tersebut berderajat hasan li ghoirihi, sehingga dapat dijadikan hujjah (lihat analisis hadis tersebut pada pembahasan mendatang).
- Hadis Ibnu Umar tentang larangan bercadar bagi Wanita yang sedang ihram. Hal ini menunjukkan wajah dan telapak tangan bukan termasuk aurat, kalau keduanya aurat, niscaya Wanita diperintahkan untuk menutupinya kapanpun.
- Pendapat ini merupakan pendapat (Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Aisyah) [22] (Atha`, Sa’id bin Jubair, Al-Auza’I, Adl-Dlahhak) [23] , dan Al-Makhul [24].
- Maksud وليضربن بخمرهن على جيوبهن
Sebagian ulama memahami bahwa perintah untuk menutup wajah.
Definisi Khimar antara lain;
- Tutup kepala wanita yang menjurai ke dada (Ath-Thaba`thaba`i)[25]
- Kain yang digunakan untuk menutup kepala wanita (Asy-Syaukani) [26]
- Kain yang menutup kepala, dada bagian atas dan leher (Nashih Ulwan) [27]
Perintah menjulurkan khumur di sini bukan ke wajah, tapi ke juyub. Juyub jamak dari jayb, artinya adalah potongan (lubang) kain untuk tempat masuk kepala, terletak di bagian atas gamis, sebagaimana disebutkan oleh Al-Burusawi.[28] Selain itu terdapat hadis yang menunjukkan bahwa wajah bukan aurat membawa pengertian bahwa perintah pada lafal ayat di atas adalah wanita hanya dituntut untuk menjulurkan khimar mereka sampai menutupi leher dan dada, tanpa harus menutup wajah mereka, sebagaimana difahami oleh Ibnu Hazm.[29]
- Maksud ولا يضربن بأرجلهن ليعلم ما يخفين من زينتهن
Ibnu Utsaimin memahami bahwa tatkala menghentakkan kaki dilarang karena ditakutkan akan terjadi fitnah, maka membuka wajah lebih ditakutkan fitnah, maka menutupnya lebih utama. [30] Pendapat bahwa wajah lebih utama untuk ditutup daripada kaki, tidak bisa dibenarkan karena tidak didasarkan kepada dalil.
Kedua, Al-Ahzab (33): 53
وَإِذَا سَأَلۡتُمُوهُنَّ مَتَٰعٗا فَسۡـَٔلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٖۚ ذَٰلِكُمۡ أَطۡهَرُ لِقُلُوبِكُمۡ وَقُلُوبِهِنَّۚ
Artinya:
Dan apabila kalian meminta suatu keperluan kepada mereka (isteri-isteri Nabi sas.) maka mintalah kepada mereka dari balik hijab. Yang demikian itu lebih bersih (suci) untuk hati- hati kalian dan (juga) hati-hati mereka.
Sebagian ulama memberlakukan hijab dalam ayat ini umum untuk semua wanita, meskipun asal panggilan hanya ditujukan kepada isteri- isteri Nabi, sehingga semua wanita wajib berhijab dari laki-laki, termasuk menutup wajah mereka.
Obyek pembicaraan dalam ayat ini ditujukan kepada isteri-isteri Nabi sas. Allah menyebut dengan kata هن pembicaraan ayat ini berkaitan dengan isteri-isteri Nabi. Hal tersebut ditunjukkan oleh sebutan di awal ayat tentang (larangan memasuki) rumah-rumah Nabi sas. karena isteri-isteri beliau berada di dalamnya, maka dlamir هن kembali kepada mereka. [31]
Adapun tentang hijab, mufassirin menyatakan bahwa maksud hijab dalam ayat ini adalah sitr (penghalang). [32] الحجاب berasal dari fiil حجب يحجب yang berarti menghalangi. Sedangkan الحجاب adalah sebutan untuk segala sesuatu yang menghalangi dua benda. [33] Sedangkan kalau dikaitkan dengan ayat ini maka pengertian hijab adalah sesuatu yang menghalangi (aurat) wanita dari (pandangan) laki-laki. Artinya, wanita harus berhijab dari laki-laki.
Al-qadli Iyadl [34] dan Al-Aini [35] menyebutkan bahwa kewajiban hijab pada ayat ini khusus untuk isteri-isteri Nabi, tanpa pengecualian dalam soal wajah dan dua telapak tangan. Mereka tidak boleh menampakkan diri mereka meskipun dalam keadaan tertutup kecuali karena faktor darurat seperti buang air besar.
Adapun Asy-Syinqithi, berdalil dengan ayat ini atas wajibnya wanita menutup wajah dengan alasan keumuman kewajiban hijab atas semua wanita. Landasan pendapat beliau adalah adanya sifat yang sekaligus menjadi illat/sebab adanya hukum hijab tersebut, yakni pada kalimat sesudahnya ذلكم أطهر لقلوبكم و قلوبهن keumuman illat itu menjadikan tersebut juga umum. [36]
Ayat ini ditujukan kepada isteri-isteri Nabi sas. Apabila kewajiban hijab diberlakukan untuk seluruh wanita itu kurang tepat karena, tidak ada nash yang menunjukkan bahwa wanita diwajibkan berhijab dengan menutup wajah mereka. Adapun tentang Thaharatul Qalbi (kesucian hati), diakui bahwa semua mukminat memerlukannya, akan tetapi, dalam hal ini, isteri-isteri Nabi sas. dilebihkan daripada yang lain. Dengan adanya keagungan dan keistimewaan mereka, [37] maka penjagaan Allah terhadap mereka juga lebih daripada yang lain. Kebersihan (kesucian) hati yang Allah janjikan sebagaimana yang Dia firmankan dalam ayat 33 Al-Ahzab adalah merupakan salah satu dari sekian banyak kekhususan yang Allah berikan kepada mereka.
Ketiga, Al-Ahzab (33): 59
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ قُل لِّأَزۡوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّ
Artinya:
Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan perempuan-perempuan orang-orang beriman (supaya) mereka menjuraikan jilbab-jilbab mereka atas diri-diri mereka.
Ayat ini menunjukkan perintah mengenakan jilbab bagi wanita. Secara dhahir, ayat ini memberikan pengertian bahwa wanita diperintah untuk mengenakan jilbab untuk menutup seluruh tubuhnya.
Ibnu Arabi menyebutkan bahwa tentang definisi jilbab, para ulama berbeda pendapat yang pokoknya adalah pakaian yang dipakai untuk menutup tubuh wanita. [38]
(Abu Bakar Ar-Razi, Abu Hayyan, dan Ibnul Jauzi)[39], Abus-Su’ud [40], As-Suyuthi [41] memahami bahwa idna’ dalam ayat ini berarti bahwa wanita menutup seluruh tubuh termasuk wajah kecuali satu mata saja. Mereka berhujjah dengan 2 riwayat berikut:
- Riwayat Ibnu Abbas
عن ابن عباس، قوله (يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ) أمر الله نساء المؤمنين إذا خرجن من بيوتهن في حاجة أن يغطين وجوههن من فوق رءوسهن بالجلابيب ويبدين عينا واحدة
dari Ibnu ‘Abbas, firman-Nya “Ya ayyuhan Nabiyyu qul liazwajika wa banatika wa nisa’il mukminina yudniina alaihinna min jalabiibihinna” (yakni) Allah memerintahkan wanita-wanita beriman untuk menutup wajah- wajah mereka dari ujung kepala dengan jilbab dan (hanya) menampakkan satu mata apabila mereka keluar dari rumah- rumah mereka untuk satu keperluan. [42]
Di dalam sanad Riwayat ini terdapat rawi yang Bernama Abdullah bin Shalih dan Ali bin Abi Thalhah yang keduanya merupakakan rawi yang dlaif. Selain itu, sanad antara Ali bin Abi Thalhah dengan Ibnu Abbas terputus, sehingga Riwayat ini adalah Riwayat yang dlaif.
- Riwayat Abidah As-Salmani
عن ابن سيرين قال: سألت عبيدة عن قوله (قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ) قال: فقال بثوبه، فغطى رأسه ووجهه، وأبرز ثوبه عن إحدى عينيه
dari Ibnu Sirin, dia berkata: Aku bertanya kepada Abidah tentang firman-Nya “Qul Liazwajika wa banatika wa nisa’il mukminina yudniina alaihinna min jalabiibihinna” dia berkata: Kemudian dia (Abidah) berisyarat dengan kainnya, lalu menutup kepala serta wajahnya dan membuka kainnya dari salah satu dari dua matanya. [43]
Di dalam sanad Riwayat ini ada seorang rawi yang Bernama Husyaim bin Basyir, Dia seorang mudallis sedangkan dia meriwayatkan atsar ini dengan ‘an’anah. Riwayat dia dapat diterima tatkala dia meriwayatkan dengan lafal “Anba`ana”.
Keempat, Hadis Ibnu Abbas tentang Fadel memandang wanita
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ … فَجَعَلَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَجَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْرِفُ وَجْهَ الْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ الْآخَرِ
Artinya:
Dari ‘Abdullah bin Abbas ra. dia berkata: … kemudian Fadlel melihat kepada wanita itu dan wanita tersebut melihat kepadanya. Maka Nabi sas. memalingkan wajah Fadlel ke sisi lain.
Imam Ahmad [44], Al-Bukhari [45] dan lafadh ini miliknya, Muslim [46], Abu Dawud [47], At-Turmudzi [48], An-Nasa’i [49], Ibnu Majah [50], Ad-Darimi [51], dan Malik [52].
Dalam hadits ini disebutkan bahwa Rasulullah sas. memalingkan wajah Fadlel tatkala dia memandang wanita Khats’amiyyah yang datang meminta fatwa kepada beliau.
Dalam salah satu lafadh yang dikeluarkan oleh An-Nasa’i disebutkan bahwa Ibnu ‘Abbas mensifatkan kecantikan wanita tersebut. [53] Demikian juga dalam salah satu lafadh Al-Bukhari disebutkan bahwa bahwa Fadlel terpesona dengan kecantikan wanita tersebut.
Kalau saja wanita tersebut menutup wajahnya, niscaya Ibnu ‘Abbas tidak dapat menceritakan kecantikannya, dan kalau saja wajah wanita merupakan aurat, niscaya wanita diwajibkan menutupnya di waktu ihram dan itu tidak terjadi.
Walhasil, hadits ini menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak menutup wajahnya.
Perstiwa ini terjadi pada Hajji Wada’ (hajji perpisahan) tepatnya di tahun ke-10 H dan ini merupakan hajji terakhir yang Rasulullah sas. tunaikan sebelum beliau wafat.
Ini menunjukkan bahwa menutup wajah memang bukan sesuatu yang diwajibkan karena sampai akhir hayat beliau, diketahui bahwa para wanita membuka wajah mereka dan keluar untuk menunaikan keperluan mereka, sedang ayat hijab turun pada tahun 5 H.[54]
Kelima, Hadis Ibnu Umar tentang larangan bercadar bagi wanita yang sedang ihram.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ الله عنهما قَالَ قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَاذَا تَأْمُرُنَا أَنْ نَلْبَسَ مِنَ الثِّيَابِ فِي الْإِحْرَامِ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ … وَلَا تَنْتَقِبْ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ …
Artinya:
Dari ‘Abdullah bin Umar ra. dia berkata: Seorang laki-laki berdiri kemudian berkata: Wahai Rasulullah, pakaian apa yang Engkau perintahkan untuk kami kenakan pada waktu ihram? … Dan janganlah wanita yang sedang ihram mengenakan cadar (tutup wajah) dan janganlah dia mengenakan sarung tangan.
- Imam Ahmad [55], Al-Bukhari [56] dan lafadh ini miliknya, Muslim [57], Abu Dawud [58], At-Turmudzi [59], An- Nasa’i [60], Ibnu Majah [61], Ad-Darimi [62], Malik [63], Al-Baihaqi [64], dan Ibnu Khuzaimah [65].
Dalam hadits ini disebutkan bahwa wanita yang sedang ihram dilarang mengenakan cadar (tutup wajah). Adanya larangan menutup wajah di waktu ihram bukan merupakan perintah untuk menutup wajah di luar ihram sebagaimana yang dida’wakan oleh sebagian ulama. Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa wanita harus menutup wajah di luar ihram. Kalau saja wajah termasuk aurat, niscaya mereka tetap diwajibkan menutupnya di waktu hajji dan waktu-waktu lain.
Sebagian ulama mendakwakan adanya idraj dalam matan hadits Ibnu Umar ini, yakni pada akhir lafadh matan hadits ini dan itulah yang berkaitan dengan pembahasan wajib tidaknya cadar bagi wanita, yaitu sabda Nabi: وَلَا تَنْتَقِبْ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ
Ibnu Daqiqil ‘Id dan Taqiyyuddin tidak menyetujui adanya dakwaan tersebut. Beliau menyatakan bahwa dakwaan idraj dalam hadits ini tertolak dengan adanya hadits yang menyatakan bahwa Nabi sas. melarang wanita yang sedang ihram untuk mengenakan cadar dan dua sarung tangan – dan itu terletak di awal matan -. Ini menunjukkan bahwa ada larangan dari Nabi sas. untuk mengenakan cadar di waktu ihram. Hadits tersebut sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud [66] dari Ibnu Ishaq dari Nafi’ dari Ibnu Umar, sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «نَهَى النِّسَاءَ فِي إِحْرَامِهِنَّ عَنِ الْقُفَّازَيْنِ وَالنِّقَابِ
Artinya:
dari ‘Abdullah bin Umar bahwasanya dia (‘Abdullah bin Umar) mendengar Rasulullah sas. melarang para wanita mengenakan sarung tangan dan cadar pada waktu ihram..
Keenam, Hadis Aisyah tentang larangan menampakkan angggota tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan.
عَنْ عَائِشَةَ : «أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ، فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ: يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ يَصْلُحْ لَهَا أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
Artinya:
Aisyah bahwasanya Asma’ binti Abu Bakar datang kepada Rasulullah sas. sedangkan dia mengenakan pakaian tipis. Maka Rasulullah sas. berpaling darinya dan beliau bersabda: Wahai Asma’ sesungguhnya wanita itu apabila sudah sampai masa baligh tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini. Dan beliau berisyarat kepada wajah dan dua telapak tangan beliau.
Imam Abu Dawud [67] dan lafadh ini miliknya dengan sanad yang dla’if, dan Al-Baihaqi dalam dua kitab sunannya [68]
Hadits ini menjelaskan bahwa wanita yang sudah baligh, tidak boleh terlihat anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangan. Dengan kata lain, wajah dan dua telapak tangan termasuk anggota tubuh yang boleh ditampakkan dan tidak termasuk aurat.
Hadits ini adalah hadits dla’if, banyak dicela oleh ulama dengan sebab banyaknya cacat di dalamnya.
Al-Baihaqi, mencantumkan hadits ini dalam Babu auratil mar’atil hurrati (bab aurat wanita merdeka). Ini menunjukkan bahwa hadits ini dijadikan dalil oleh Al-Baihaqi bahwa wajah dan telapak tangan tidak termasuk aurat.
Meskipun hadits ‘Aisyah di atas dla’if, akan tetapi, ada hadits- hadits yang menunjukkan bahwa wajah tidak termasuk aurat dan hadits- hadits yang menunjukkan bahwa para wanita di zaman Nabi sas. membuka wajah mereka sebagaimana hadits Ibnu Abbas yang telah lewat hadits Ibnu Umar serta hadits Jabir bin Abdillah tentang wanita yang kedua pipinya hitam kemerah-merahan. Hadits-hadits tersebut menjadi syahid bagi matan hadits Aisyah yang mengandung pengertian bahwa wajah tidak termasuk aurat, sehingga hadis Aisyah ini berderajat hasan li ghairihi dan dapat dijadikan hujjah.
Ketujuh, Hadis Sahl bin Sa’ad tentang wanita yang menghibahkan diri kepada Nabi.
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، جِئْتُ لِأَهَبَ لَكَ نَفْسِي، فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَصَعَّدَ النَّظَرَ إِلَيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ رَأْسَهُ
Artinya:
Dari Sahl bin Sa’ad bahwasanya seorang wanita datang kepada Rasulullah sas. lalu dia berkata: Wahai Rasulullah, aku datang untuk menghadiahkan diriku kepadamu. Maka Rasulullah sas. memandangnya, lalu beliau mengangkat pandangan kepadanya dan beliau menurunkan pandangan beliau. Kemudian beliau menundukkan kepala.
Telah mengeluarkannya Imam Ahmad [69], Al-Bukhari [70], Muslim [71], Abu Dawud [72], At-Turmudzi [73], An-Nasa’i [74], Ibnu Majah [75], Ad-Darimi [76] dan Malik [77].
Hadits ini adalah hadits shahih sehingga dapat dijadikan hujjah. Hadits ini digunakan oleh Nashiruddin Al-Albani sebagai dalil bahwa wanita tidak menutup wajah dan dua telapak tangannya.[78]
Sebagian ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya wanita menutup wajah.[79] Mereka beralasan bahwa kebolehan memandang wanita hanya pada saat akan meminang sehingga di luar itu laki-laki haram memandang wanita, sehingga wanita harus menutup wajah mereka.
Rasulullah sas. tidak sedang meminang wanita tersebut. Disamping itu, dalam riwayat Isma`ili, disebutkan bahwa pada saat itu beliau sedang berada di masjid[80], artinya ada kemungkinan bahwa para sahabat yang bersama beliau juga memandang wanita tersebut.
Kedelapan, Hadis Jabir tentang wanita yang pipinya merah kehitam-hitaman.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ . قَالَ: … فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ. فَقَالَتْ: لِمَ؟ يَا رَسُولَ اللهِ! قَالَ: لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ. وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ
Artinya:
Dari Jabir bin Abdillah dia berkata:… Maka berdirilah seorang wanita yang berada di tengah- tengah para wanita yang kedua pipinya merah kehitam- hitaman lalu dia berkata: Kenapa wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Karena kalian membanyakkan keluhan dan kalian kufur terhadap suami.
Dalam hadits ini disebutkan bahwa Jabir mensifatkan keadaan kedua pipi wanita tersebut merah kehitam-hitaman. Pernyataan Jabir tersebut menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak menutup wajahnya. Kalau saja wanita tersebut menutup wajahnya, niscaya Jabir tidak bisa melihat wajahnya dan tidak bisa menceritakan keadaan kedua pipinya yang merah kehitam-hitaman.
Hadits ini menunjukkan bahwa sebagian wanita di zaman Rasulullah sas. tidak menutup wajah dan tidak menunjukkan wajibnya wanita menutup wajah.
Kesembilan, hadis tentang para wanita yang membuka wajah ketika haji.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: «كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا، فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ
Artinya:
dari Aisyah dia berkata: Adalah para pengendara (rombongan) itu melewati kami, sedangkan kami bersama Rasulullah sas. dalam keadaan ihram. Maka apabila mereka sudah dekat dengan kami, masing-masing dari kami menjulurkan jilbabnya dari kepala ke wajahnya, maka apabila mereka sudah lewat (berlalu), kami membukanya (jilbab).
Dalam hadits ini disebutkan bahwa para wanita menutup wajah mereka tatkala berpapasan dengan para laki-laki di waktu ihram. Hadits tersebut tidak bisa dijadikan dalil wajibnya cadar bagi wanita, karena:
- Hadits ini adalah hadits dla’if.
Hadits ‘Aisyah tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud dari jalan Mujahid dari ‘Aisyah dengan menggunakan shighat ‘an’anah.
Sa’ad bin Yahya bin Sa’id Al-Qaththan dan Ibnu Ma’in menyatakan bahwa Mujahid tidak mendengar dari ‘Aisyah. Abu Hatim juga menjelaskan bahwa (riwayat) Mujahid dari ‘Aisyah itu mursal[90]
Selain itu, dalam hadits ini terdapat seorang rawi yang bernama Yazid bin Abi Ziyad. Dia adalah rawi yang dla’if, berubah di masa tuanya, dia menerima talqin.[91]
(2) Adanya hadits shahih yang menjelaskan bahwa wanita dilarang memakai cadar di waktu ihram.[92]
Kesepuluh, tentang perintah untuk memalingkan wajah.
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: « سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ، فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي
Artinya:
Dari Jarir bin Abdillah dia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah sas. tentang pandangan mendadak (tidak sengaja), maka beliau memerintahkan aku untuk memalingkan pandanganku.
- Imam Ahmad [93], Muslim [94] dan lafadh ini miliknya, Abu Dawud [95], At-Turmudzi [96], Ad-Darimi [97], Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan At-Thabarani
Hadits ini dijadikan sebagai dalil wajibnya cadar dengan alasan bahwa Jarir diperintah untuk memalingkan pandangan apabila tanpa sengaja melihat wanita.[98] Dengan kata lain, memandang wanita itu dilarang dan itu menunjukkan wanita itu adalah aurat karena haram untuk dipandang, oleh karena itu, wanita harus menutup seluruh tubuhnya, termasuk wajah.
Perintah memalingkan pandangan dalam hadits ini hanya menunjukkan larangan mengiringi pandangan dengan pandangan berikutnya dan tidak menunjukkan bahwa wajah wanita merupakan aurat.
Kesebelas, Hadis Ibnu Buraidah dari bapaknya tentang larangan mengikuti pandangan.
عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَلِيٍّ: يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى، وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ
Artinya:
Dari Ibnu Buraidah dari bapaknya dia berkata: Rasulullah sas. bersabda kepada Ali: Wahai Ali, janganlah kau mengiringi satu pandangan dengan pandangan yang lain (berikutnya). Karena sesungguhnya bagimu (pandangan) yang pertama dan bukan untukmu yang terakhir.
- Imam Ahmad [99], Abu Dawud [100] dan lafadh ini miliknya, At-Turmudzi [101], Al-Hakim, dan Al-Baihaqi
Hadits ini adalah hadits dla’if, karena di dalam sanadnya terdapat Syarik bin Abdillah. Ibnul Qaththan menyatakan bahwa beliau terkenal sebagai rawi mudallis (hlm.337)[102], sedangkan beliau meriwayatkan hadits ini dengan ‘an’anah, padahal beliau adalah seorang mudallis, sehingga riwayatnya dla’if, tidak dapat diterima.
Hadits ini tidak menunjukkan wajibnya wanita mengenakan cadar, dhahir hadits hanya menunjukkan bahwa laki-laki diperintah untuk menundukkan pandangan.
Kedua belas, Hadis Abu Humaid tentang bolehnya memandang wanita yang akan dipinang.
عَنْ مُوسَى ابْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِى حُمَيْدٍ، أَوْ حُمَيْدَةَ، الشَّكُّ مِنْ زُهَيْرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: “إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا، إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ لَا تَعْلَمُ
Artinya:
Dari ‘Abdullah bin Isa dari Musa bin ‘Abdullah dari Abu Humaid atau Humaidah (keraguan itu datang dari Zuhair) dia berkata: Rasulullah sas. bersabda: Apabila salah seorang dari kalian meminang wanita maka dia boleh memandang kepadanya apabila dia hanya memandangnya untuk meminang, meskipun tanpa sepengetahuan wanita tersebut.
HR Imam Ahmad [103] dengan sanad yang shahih.
Hadits ini diriwayatkan juga oleh beberapa shahabat lain di antaranya: Abu Hurairah, Jabir bin Abdillah, Anas, dan Mughirah bin Syu’bah, sebagaimana yang dikeluarkan oleh oleh Imam Muslim [104], An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ad-Darimi.
Hadits ini adalah hadits shahih sehingga dapat dijadikan hujjah. Sebagian ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya cadar bagi wanita. Tidak ada lafadh pada matan hadits ini yang menunjukkan wajibnya wanita menutup wajah. Adanya rukhshah atau bahkan hasungan memandang wanita yang akan dipinang menunjukkan bahwa wanita pada waktu itu tidak menutup wajahnya. Kebolehan bagi laki-laki untuk memandang wanita tatkala ia ingin menikahinya tidak menjadi dalil bagi wajibnya wanita menutup wajah di luar waktu tersebut
Penutup dan kesimpulan:
Dari analisa data-data di atas, dapat diketahui bahwa: Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Artinya, wanita tidak wajib menutup wajah atau mengenakan cadar dan tidak wajib menutup dua telapak tangan.
Setelah kita mengetahui bahwa menutup wajah bukan merupakan kewajiban, kiranya masih tersisa satu pertanyaan di benak pembaca tentang sunnah atau mubahkah hukum cadar bagi wanita, karena kalimat tidak wajib- dalam hal ini-mempunyai dua kemungkinan, yaitu sunnah atau mubah.
Dari dua kemungkinan di atas, pendapat yang benar menurut penulis adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum cadar bagi wanita adalah mubah (dibolehkan).
Amalan mubah adalah amalan yang boleh dijalankan atau ditinggalkan, tidak menyebabkan pelakunya dicela atau dipuji. [105]
Penulis lebih cenderung kepada mubah karena:
- Adanya dalil yang menunjukkan bahwa wajah wanita bukan merupakan aurat, lihat analisa surat An-Nur (24):31 dan Hadits ‘Aisyah tentang bolehnya wanita menampakkan wajah dan dua telapak tangannya.
- Adanya larangan menutup wajah di waktu shalat dan hajji. Ini menunjukkan bahwa wajah bukan merupakan aurat. Karena wajah bukan merupakan aurat maka wanita diperbolehkan memilih membuka atau menutupnya di luar waktu shalat dan hajji.
- Tidak ada dalil jelas yang menunjukkan bahwa menutup wajah adalah sunnah atau pelakunya (akan) mendapat pahala.
- Laki-laki diperintah untuk menundukkan pandangan. Ini menunjukkan bahwa pada diri wanita ada sesuatu yang dapat dilihat, yang tidak termasuk aurat, dalam hal ini wajah. Karena wajah bukan merupakan aurat maka wanita boleh menampakkan wajahnya
Walhasil, hukum cadar bagi wanita adalah mubah sehingga wanita mendapat kebebasan dalam mengenakannya
Diringkas oleh Muhamad Iqbal dari makalah karya Ustadzah Siti Saudah yang berjudul HUKUM CADAR BAGI WANITA
Referensi
[1] ‘Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam, jz.1, hlm.191
[2] Al-Jazairi, Kitab Al-Fiqhu Alal Madzahibil ‘Arba’ah, jld. 1, jz.1, hlm.192, kitab As-Shalah, bab
‘Auratil Mar’ati Kharijash-Shalati
[3] Abuth Thayyib Abadi, ‘Aunul Ma’bud, jz.11,hlm.158
[4] Ash-Shabuni, Rawai’ul Bayan, jz.2, hlm.311
[5] Ibnul ‘Araby, Ahkamul Qur’an, jz.3, hlm.488
[6] Ash-Shabuni, Rawai’ul Bayan, jz.2, hlm.310
[7] Al-Qurtubi, Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an, jld.12, hlm.229
[8] Ash-Shabuni, Rawai’ul Bayan, jz.2, hlm.123
[9] Ash-Shabuni, Rawai’ul Bayan, jz.2, hlm.123
[10] Asy-Syafi’I, Al-Umm, jz.1, hlm.109, kitabus Shalat, bab Kaifa Lubsuts-Tsiyab fis Shalat
[11] An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, jz.3, hlm.169.
[12] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, jz.1, hlm.115
[13] An-Nawawi, Muslim Bi Syarhin-Nawawi, jz.9, hlm.210
[14] Ash-Shabuni, Rawai’ul Bayan, jz.2, hlm.123-124
[15] Al-Jazairi, Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah, jz.1, hlm.189
[16] Al-Alusi, Ruhul Ma’ani, jld.11, jz.22. hlm.264
[17] Al-Qasthalani, Irsyadus-Sari, jz.2, hlm.30
[18] Ibnu ‘Abdil Barri, At-Tamhid, jz.3, hlm.160
[19] Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bari, jz.11, hlm.10
[20] Abuth-Thayyib Abadi, Aunul Ma’bud, jz.6, hlm.186
[21] Sayyid Qutb, Fi Dhilalil Qur’an, jld.6, jz.18, hlm.95
[22] Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, jz.2, hlm.225-226
[23] Ath-Thabari, Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an, jz.18, hlm.93-94.
[24] Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, jz.3, hlm.541
[25] Ath-Thaba’thaba’i, Tafsirul Mizan, jld. 15, jz.18, hlm.110
[26] Nailul Authar, Asy-Syaukani, jld.2, hlm.57
[27] Abdullah Nashih ‘Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam, jz.1, hlm. 18
[28] Al-Burusawi, Ruhul Bayan, jz.6, hlm.142
[29] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, jz.3, hlm.216
[30] Al-Utsaimin, Risalatul Hijab, hlm. 9.
[31] An-Nasafi, Tafsirun Nasafi, jz.2, hlm.353.
[32] Al-Maraghi, Tafsirul Maraghi, jz.22, hlm. 28
[33] Az-Zubaidi, Tajul ‘Arus, jz.1, hlm.203.
[34] Al-Qasimi, Tafsirul Qasimi, jld. 5, jz.13, hlm.534.
[35] Al-‘Aini, ‘Umdatul Qari, jld. 1, jz.2, hlm.283.
[36] Asy-Syinqithi, Adlwa’ul Bayan, jz. 6, hlm. 383.
[37] Ibnu Abdil Barr, At-Tamhid, jz.7, hlm.556
[38] Ibnul Arabi, Ahkamul Qur’an, jld.3, jz.3, hlm.496
[39] Ash-Shabuni, Rawa’i’ul Bayan, jz.2, hlm.310-311.
[40] Abus-Su’ud, Tafsir Abus-Su’ud, jz.4, hlm 333
[41] Abuth Thayyib ‘Abadi, Aunul Ma’bud, jz.11, hlm.158.
[42] Ath-Thabari, Al-Jami’ Lil Bayan, jz.22, hlm.33.
[43] Ath-Thabari, Al-Jami’ Lil Bayan, jz.22, hlm.33.
[44] Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, jz.1, hlm.346, 359
[45] Al-Bukhari, As-Shahih, jld. 1, hlm.318, kitab Al-Hajj, bab 24 Hajjil Mar’ati anir Rajuli, h.1854
[46] Muslim, Al-Jami’us-Shahih, jz.4, hlm.101, Kitab Al-Hajj, h. 407-408
[47] Abu Dawud, As-Sunan, jz.2, hlm.406-407, Kitab Al-Hajj, bab 26, h.1809
[48] At-Turmudzi, As-Sunan, jz.3, hlm.258, kitab 7 Al-Hajj, bab 85 Ma Ja a Fil Hajji Anisy Syaikhil Kabiri Wal Mayyiti, h.928
[49] An-Nasa’i, As-Sunan, jz.5, hlm.118-119, Kitab Al-Hajj, bab 12.
[50] Ibnu Majah, As-Sunan, jz.2, hlm.971, kitab 25 Al-Manasik, bab 10 Al-Hajji ‘Alal Hayyi Idza Lam Yastatik, h.2909
[51] Ad-Darimi, As-Sunan, jz.2, hlm.39-40, kitab 5 Al-Manasik, bab 23 Fil Hajji ‘Alal Hayyi
[52] Malik, Al-Muwaththa’, jz.1, hlm.187, Kitab Al-Hajj, h. 801
[53] An-Nasa’I, As-Sunan, jld.3, jz.5, hlm.119, Kitab Manasik Hajji, bab 12, Hajjil Mar’atil ‘Alar Rajuli.
[54] Al-Bukhari, As-Shahih, jld.4, hlm.86 Kitab 79 Isti’dzan, bab 2 Qaulillahi Ta’ala Yaa- ayyuhalladziina Amanu…, h. 6228.
[55] Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, jz.2, hlm.119.
[56] Al-Bukhari, As-Shahih, jld. 1, hlm.316, Kitab Al-Hajj, bab 13 Ma Yunha Minat Thibi Lil Muhrimi
Wal Muhrimati, h. 1838
[57] Muslim, Al-Jami’us-Shahih, jz.4, hlm.2-3, Kitab Al-Hajj, h. 1-3
[58] Abu Dawud, As-Sunan, jz.2, hlm.410, Kitab Al-Manasik, bab. 32, h. 1825
[59] At-Turmudzi, As-Sunan, jz.2, hlm.185-186, Kitab Al-Hajj, bab. 18, h. 833
[60] An-Nasa’i, As-Sunan, jz.5, hlm.133 dan 135-136, Kitab al-Manasik, bab 33 dan39
[61] Ibnu Majah, As-Sunan, jz.2, hlm.977 dan 978, kitab 25 Al-Manasik. Bab 19 Ma Yalbasul Muhrimu
Minats-Tsiyabi, h.2929 dan 2932
[62] Ad-Darimi, As-Sunan, jz.2, hlm.31-32, kitab 5 Al-Manasik, bab 9 Ma Yalbasul Muhrimu Minats- Tsiyabi
[63] Malik, Al-Muwaththa’, jz.1, hlm.167-168, Kitab Al-Hajj, bab 3, h. 714
[64] Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, jz.4, hlm.46
[65] Ibnu Khuzaimah, As-Shahih, jz.4, hlm.163, kitab Al-Manasik, bab Az-Zajri an Intiqabil, h. 2599
[66] Abu Dawud, As-Sunan, jld.1, jz.2, hlm.410, kitab Manasik, bab 32 Ma Yalbasul Muhrimu, h. 1827
[67] Abu Dawud, As-Sunan, jz.2, hlm.275-276, Kitab Al-Libas, bab 33, h. 4104
[68] Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, jz.2, hlm.226, kitab As-Shalat, bab Auratil Mar’atil Hurrati.
[69] Al-Bukhori, Ash-shahih, jld 36, hlm. 232, h. 5030.
[70] Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, jz 5 hlm.330
[71] Muslim, Al-Jami’us Shahih, jz.4, hlm.143, kitab 16 An-Nikah, bab 12 Shadaq Wa jawazu Kaunihi
Ta’limu Qur’an Wa…., h.76
[72] Abu Dawud, As-Sunan, jld. 1, jz.2, hlm.468-469, , kitab 12 An-Nikah, bab 31 Fit Tazwij ‘Alal
Amali yu’malu, h.2111
[73] At-Turmudzi, As-Sunan, jz.3,hlm.412-413, kitab 9 An-Nikah, bab 23, h. 1114.
[74] An-Nasa’i, As-Sunan, jld. 3, jz.6, hlm.113, kitab 26 An-Nikah, bab Tazwij ‘Ala Suwarin Minal
Qur’ani
[75] Ibnu Majah, As-Sunan, jz.1, hlm.608, kitab 9 An-Nikah, bab 17 Shadaqun Nisa’, h.1889
[76] Ad-Darimi, As-Sunan, jz.2, hlm.142, kitab 11, An-Nikah, bab 19 Ma Yajuzu An Yakuna Mahran
[77] Malik, Al-Muwaththa’, hlm.275-276, kitab 28 An-Nikah, bab Ma Ja-a fis Shadaqi Wal Hiba, h.1107.
[78] Abu Shafia, Arraddul Mufhim Hukum Cadar, hlm. 56
[79] Abu Shafia, Arraddul Mufhim Hukum Cadar, hlm.52
[80] Al-Kandahlawi, Aujazul Masalik, jz.9, hlm.285.
[81] Muslim., Al-Jami’us Shahih, jz.3, hlm.19, Kitab 8, Shalatul ‘Idain, h.4
[82] An-Nasa’i, As-Sunan, jld. 2, jz.3, hlm.182, kitab Shalatul ‘Idain , bab 7, Tarkil Adzan Lil ‘Idain. Jz.3, hlm.186-187, kitab 19 Shalatul ‘Idain, bab 19 Qiyamul Imam Fil Khutbah Mutawakkian ‘Alal Insan
[83] Ad-Darimi, As-Sunan, jz.1, hlm.375-376, kitab Shalah, bab 217 Shalatul ‘’Idain Bi la Adzanin Wa la Iqamatin Was Shalatu Qablal Khutbah
[84] Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, jz.3, hlm.300, kitab As-Shalatul ‘Idain, bab Amril Imamin Nas Fi
Khutbatihi
[85] Ibnu Khuzaimah, As-Shahih, jz.2, hlm.357, kitab Jima’u Abwabi Shalatil ‘Idain, bab 699 Dzikri
Idhatil Imamin Nisa’i Wa Tadzkirihi Iyyahunna…, h. 1460.
[86] Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, jz.6, hlm.30
[87] Abu Dawud, As-Sunan, jld. 1, jz.2, hlm.411-412, kitab Al-Hajj, bab 34, h.1833
[88] Ibnu Majah, As Sunan, jz.2, hlm.979, kitab Al-Manasik, bab 33, h. 2935
[89] Ibnu Khuzaimah, As-Shahih, jz.4, hlm.203-204, bab 605, h. 2691
[90] Abu Thayyib Abadi, Aunul Ma’bud, jz.5, hlm.287, Kitab Al-Manasik, bab 34, h.1833.
[92] Asy-Syarbini, Al-Iqna’, jz.1,hlm.222
[93] Muslim, Al-Jami’us-Shahih, jld. 3, jz.6, hlm.182, kitab 38 Al-Adab, bab Nadzrul Faj ah, h 46
[94] Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, jz.4, hlm 358
[95] Abu Dawud, As-Sunan, jld. 1, jz.2, hlm.476, kitab An-Nikah, bab44 Ma-yu’maru bihi min Ghaddil
Bashar, h. 2148
[96] At-Turmudzi, As-Sunan, jz.5, hlm.101, kitab 44 Al-Adab, bab28 Ma ja-a fi Nadzratil Mufa-ja-ah, h.
2776
[97] Ad-Darimi, As-Sunan, jz.2, hlm.278, kitab 19 Al-Isti’dzan, bab 15 bab fi Nadzratil Faj-ah
[98] Ash-Shabuni, Rawa’iul Bayan, jz.2, hlm. 124
[99] Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, jz.5, hlm.351, 353, 357
[100] Abu Dawud, As-Sunan, jz. 1, hlm. 476, h. 2149
[101] Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, jz.5, hlm.351, 353, 357
[102] Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Tahdzibut-Tahdzib, jz.4, hlm.333-337, no.577
[103] Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, jld.5, hlm.424
[104] Muslim, As-Shahih, jz.4, hlm.1040, kitab 16 An-Nikah, bab Nadbin Nadhri ila Wajhil Mar-ati wa
Kaffaiha liman Yuridu Zawajaha, h. 75/1424
[105] Wahbah Az-Zuhaili, Ushulul Fiqhil Islami, jz.1, hlm.87.