Daftar Isi:
- 1 Hukum Memakan Daging Anjing
- 1.1 Pendapat Ulama tentang Hukum Memakan Daging Anjing
- 1.2 Kesimpulan
- 1.3 Dalil-Dalil yang Berkaitan dengan Hukum Memakan Daging Anjing dan Analisa Ringkasnya
- 1.3.1 Surah Al-`An’am (6) ayat 145 tentang Makanan yang Diharamkan
- 1.3.2 Hadits Abu Hurairah tentang Haramnya Memakan Binatang Buas yang Bertaring
- 1.3.3 Hadits Abu Tsa’labah radliyallahu ‘anhu tentang Larangan Memakan Daging Binatang Buas yang Bertaring
- 1.3.4 Hadits Ibnu Abbas bahwa jika Allah Mengharamkan Sesuatu maka Allah Mengharamkan untuk Menjualnya dan Hadits Abu Mas’ud bahwa Nabi Melarang Menjual Anjing
- 1.4 FOOTNOTE:
kali ini, kita akan membahas tentang Hukum Memakan Daging Anjing dengan menampilkan pemahaman para Ulama terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan hukum memakan anjing.
Hukum Memakan Daging Anjing
Oleh: Abdurrahman Sahab
Pendapat Ulama tentang Hukum Memakan Daging Anjing
Mubah
Ulama yang berpendapat bolehnya memakan daging anjing adalah Ibnu Khuwaizi Mandad (termasuk Ulama Maliki) [1] dan Fakhruddin Ar-Razi. [2]
Ibnu Khuwaiz Mandad berdalil dengan surat Al-An’am (6) : 145. Menurut beliau ayat tersebut menunjukkan bahwa semua daging itu mubah, kecuali daging manusia dan babi. [3]
Catatan: pembatasan pengharaman makanan hanya pada bangkai, darah yang mengalir, daging babi dan sembelihan yang disembelih atas nama selain Allah dalam ayat ini, hanyalah pembatasan majazi (Idlafi). Artinya ayat ini tidak hanya membatasi pengharaman makanan pada empat macam tersebut [lihat analisis surat Al-An’am (6)]
Sedangkan Fakhruddin Ar-Razi berdalil dengan surat Al-An’am (6) : 145. Beliau mengatakan bahwa surat Al-An’am (6) : 145 ini dikuatkan dengan dua ayat lain, yaitu: Surat An-Nahl (16) : 115 dan Surat Al-Baqarah (2) : 173.
Surat Al-An’am (6) : 145 dan Surat An-Nahl (16) : 115 adalah Makiyah, sedangkan surat Al-Baqarah (2) : 173 Madaniyah. Ketiga ayat ini mempunyai makna hashr. Oleh karena ketiga ayat semakna yang sebagian turun di Makah dan sebagian turun Madinah ini, maka beliau mengatakan bahwa dari awal diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang dan seterusnya, pengharaman makanan hanya terbatas pada bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan sembelihan yang disembelih atas nama selain Allah saja. [4]
Sedangkan hadits tentang larangan memakan binatang buas itu menurut beliau dla’if karena hadits itu adalah hadits ahad yang menyelisihi Al-Qur’an. [5]
Catatan: surat Al-An’am (6) : 145, Surat An-Nahl (16) : 115 dan surat Al-Baqarah (2) : 173 tidak membatasi pengharaman makanan secara mutlak, akan tetapi pembatasannya hanya sebagai bantahan untuk orang-orang musyrik jahiliah yang mengharamkan dan menghalalkan beberapa jenis makanan. Surat An-Nahl (16) : 115, turun sebagai penolakan atas orang-orang musyrik yang mengharamkan as-sawaib, al-bahair dan selainnya untuk diri-diri mereka [6] dan surat Al-Baqarah (2) : 173 juga turun sebagai penolakan untuk orang-orang musyrik yang menghalalkan bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan sembelihan yang disembelih atas nama selain Allah [7] . Oleh karena ayat tersebut tidak membatasi pengharaman makanan hanya pada empat macam saja, maka fungsi hadits tentang pengharaman memakan binatang buas adalah sebagai penjelas adanya makanan yang haram dikonsumsi selain empat macam tersebut, (lihat analisis surat Al An’am ayat 145)
Dengan demikian, Surat Al-An’am (6) ayat 145, Surat An-Nahl (16) ayat 115 dan surat Al-Baqarah (2) ayat 173 serta surat An-Nahl (16) ayat 115 tidak bertentangan dengan hadits tentang pengharaman memakan binatang buas. Bahkan, keduanya saling melengkapi dan menjelaskan.
Kesimpulan: pendapat Ibnu Khuwaiz Mandad dan Fakhruddin Ar-Razi tentang mubahnya memakan binatang buas termasuk anjing tidak dapat diterima.
Makruh
Ulama yang berpendapat makruhnya memakan daging anjing adalah Muhammad Rasyid Ridla. [8]
Muhammad Rasyid Ridla berdalil dengan surat Al-An’am (6) : 145. Beliau mengatakan bahwa hashr dalam ayat ini adalah hashr qath’i, sehingga ayat ini menjadi nash qath’i yang menghalalkan semua makanan selain yang disebutkan di dalamnya. [9]
Dengan pendapat beliau ini, maka beliau mengatakan bahwa larangan pada hadits tentang memakan binatang buas itu adalah larangan untuk kebencian (karahah) [10] .
Alasan lain yang beliau gunakan untuk menguatkan pendapat beliau adalah; [11]
(1). Hadits tentang larangan memakan binatang buas itu tidak diketahui para ulama Hijaz.
(2). Andai saja binatang buas itu benar-benar diharamkan pada perang yang masyhur, pasti pengharaman tersebut diriwayatkan secara mutawatir.
(3). Imam Malik berpendapat bahwa memakan binatang buas itu hukumnya makruh.
Catatan:
Pertama, karena surat Al-An’am ayat 145 meskipun membatasi pengharaman makanan, akan tetapi pembatasan tersebut tidak mutlak tapi nisbi (lihat analisis surat Al-an’am ayat 145)
Kedua, ketidaktahuan ulama hijaz tentang suatu larangan tidak menunjukkan ketiadaan larangan tersebut. Larangan tentang memakan binatang buas ini ternyata ada dan salah satunya diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya (lihat hadits Abu Hurairah)
Ketiga, ada riwayat tentang pengharaman memakan binatang buas yang terjadi pada perang yang masyhur, yaitu perang Khaibar [12] bahkan riwayat tentang pengharaman memakan binatang buas tersebut diriwayatkan dari jalur yang mutawatir, sebagaimana yang dituturkan oleh Abu ‘Umar [13] dan Ath-Thahawi [14].
Keempat, memang benar Imam Malik berpendapat bahwa memakan binatang buas itu hukumnya makruh, namun pendapat Imam Malik yang masyhur tentang memakan anjing adalah haram, sebagaimana yang dituturkan oleh Al-Jazairi [15].
Kesimpulan: pendapat Muhammad Rasyid Ridla tentang makruhnya memakan binatang buas termasuk anjing tidak dapat diterima
Haram
Jumhur ulama berpendapat bahwa memakan daging anjing itu haram, sebagaimana disebutkan oleh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim dalam kitab Shahihu Fiqhis Sunnah. [16]
Hujjah:
(1). Hadits Abu Hurairah tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring
(2). Hadits Ibnu ‘Abbas:
Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari (memakan) semua binatang buas yang bertaring dan semua burung yang bercakar.” [17]
(3). Hadits Jabir:
Dari Abuz Zubair, dia berkata, “Aku bertanya kepada Jabir tentang harga anjing dan kucing, dia (Jabir) menjawab, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal itu’.” [18]
(4). Hadis Ibnu Abbas tentang jika Allah Mengharamkan Sesuatu maka Allah Mengharamkan untuk Menjualnya
Catatan:
Hadits Ibnu ‘Abbas di atas semakna dengan Hadits Abu Tsa’labah. Maksud hadits tersebut adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk memakan daging binatang buas yang bertaring.
Adapun hadits Jabir semakna dengan hadits Abu Mas’ud. Maksud hadits tersebut adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk menjual anjing.
Sedangkan maksud hadits Ibnu ‘Abbas adalah bahwa sesuatu yang Allah haramkan untuk dimakan maka haram untuk dijual.
Pembahasan hadits-hadits ini telah penulis bicarakan dalam analisis hadits no. 1.2, 1.3, 1.4 yang menunjukkan bahwa memakan daging anjing itu haram (lihat bab dalil-dalil yang berkaitan dan analisa ringkasnya).
Kesimpulan: pendapat tentang haramnya memakan daging anjing ini dapat diterima
Kesimpulan
Hukum memakan daging anjing adalah haram. Muslimin hendaknya tidak memakan daging anjing.
Dalil-Dalil yang Berkaitan dengan Hukum Memakan Daging Anjing dan Analisa Ringkasnya
Surah Al-`An’am (6) ayat 145 tentang Makanan yang Diharamkan
قُلْ لاَ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إلاَّ أَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوْحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ …
Artinya:
Katakanlah: ” Aku tidak mendapatkan -dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku- sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi –karena sesungguhnya daging babi itu kotor–, atau kefasikan (sembelihan) yang disembelih atas nama selain Allah….”
Ulama berselisih tentang kata إلاَّ dalam ayat ini. Makki mengatakan bahwa kata إلاَّ merupakan istitsna` munqathi’ (terputus). Adapun Abul Baqa` mengatakan bahwa kata إلاَّ merupakan istitsna` muttashil (bersambung). [19]
Jika kata إلاَّ dalam ayat ini dipahami dengan istitsna` munqathi’, maka makna ayat ini ialah Allah mengharamkan bangkai, darah yang mengalir, daging babi dan sembelihan yang disembelih atas nama selain Allah, sedangkan makanan yang diharamkan oleh orang-orang jahiliah itu tidak diharamkan oleh Allah. [20]
Adapun jika istitsna` dalam ayat ini dipahami dengan istitsna` muttashil, maka maksud ayat ini adalah Allah hanya mengharamkan bangkai, darah yang mengalir, daging babi dan sembelihan yang disembelih atas nama selain Allah.
Catatan:
Istitsna` pada ayat ini merupakan istitsna` muttashil. Alasannya adalah karena ayat ini semakna dengan ayat-ayat lain, yaitu surat An-Nahl (16) : 115 إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ … فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ dan surat Al-Baqarah (2) : 173 إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ … إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ sebagaimana dikatakan oleh Fakhruddin Ar-Razi [21].
Huruf nafi yang diikuti oleh kata istitsna` (إلاَّ), memiliki makna qashr (pembatasan) sebagaimana lafal ((إِنَّمَا. [22] Dalam Mu’jamul Wasith disebutkan bahwa qashr juga dikenal oleh ulama dengan sebutan hashr. [23] Pada surat Al-An’am (6) ayat 145 terdapat huruf nafi (لاَ) yang diikuti oleh kata istitsna` (إلاَّ), sedangkan dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 173 dan An-Nahl (16) ayat 115 terdapat kata hashr ((إِنَّمَا sehingga ketiga ayat ini masing–masing mempunyai makna hashr (pembatasan). Makna hashr dimiliki oleh istitsna` muttashil dan tidak dimiliki oleh istitsna` munqathi’. [24] Maka dapat disimpulkan bahwa istitsna` dalam ayat ini adalah istitsna` muttashil.
Hashr terbagi menjadi dua, yaitu hashr haqiqi (qath’i) dan hashr majazi (Idlafi). Hashr haqiqi adalah pengkhususan yang menurut kenyataan tidak sekedar disandarkan kepada sesuatu yang lain. Contoh: لاَ كَاتِبَ فِي الْمَدِيْنَةِ اِلاَّ عَلِيٌّ (tidak ada penulis di kota itu kecuali ‘Ali) maksudnya, hanya ‘Ali yang menjadi penulis di kota itu dan tidak ada selainnya. Sedangkan hashr idlafi [25] adalah pengkhususan yang sekedar disandarkan kepada sesuatu yang tertentu. Contoh مَا عَلِيٌّ اِلاَّ قَائِمٌ (Ali hanya berdiri) maksudnya Ali mempunyai sifat berdiri dan bukan sifat duduk, akan tetapi ini tidak berarti meniadakan sifat-sifat selain berdiri. [26]
Ayat ini hanya sebagai bantahan untuk orang-orang jahiliah yang mengada-ada dalam mengharamkan dan menghalalkan beberapa jenis makanan dengan pendapat-pendapat mereka yang keliru saat itu [27], maka hashr dalam ayat ini adalah hashr majazi.
Ayat ini Makkiyyah dan hadits tentang pengharaman makanan itu datang setelah hijrah, sedangkan ayat ini hanya mengharamkan empat macam makanan ketika itu dan tidak meniadakan (pengharaman) makanan setelahnya. [28]
Adapun ayat-ayat dan hadits-hadits yang menunjukkan pengharaman makanan yang datang sesudah ayat ini adalah berfungsi sebagai penambahan hukum. [29]
Pembahasan tentang pendapat Ibnu Abbas, Aisyah dan Ibnu Umar yang membatasi pengharaman makanan hanya pada 4 makanan yang disebutkan di dalam ayat di atas
Muhammad Rasyid Ridla mengatakan bahwa Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar berhujah dengan ayat ini untuk membatasi pengharaman makanan hanya pada bangkai, darah yang mengalir, daging babi dan sembelihan yang disembelih atas nama selain Allah. [30] Beliau beranggapan bahwa mereka memahami istitsna` dan hashr dalam ayat ini adalah istitsna` muttashil dan hashr haqiqi, sehingga beliau menyimpulkan bahwa mereka menafsirkan ayat ini untuk membatasi pengharaman makanan hanya pada empat macam saja.
Hujjah beliau:
– Riwayat ‘Amr yang menyebutkan bahwa Ibnu Abbas membaca ayat ini saat disampaikan kepada beliau bahwa Nabi mengharamkan keledai piaraan. [31]
– Riwayat Al-Qasim bin Muhammad yang menyebutkan bahwa tatkala Aisyah ditanya tentang memakan binatang buas, beliau membaca ayat ini. [32]
– Riwayat Numailah yang menyebutkan bahwa tatkala Ibnu Umar ditanya tentang memakan landak, beliau membaca ayat ini. [33]
Catatan:
(1). Hadits Ibnu ‘Abbas dan atsar ‘Aisyah di atas berderajat shahih. Sedangkan Hadits Ibnu ‘Umar berderajat dlaif.
Pembahasan tentang Pendapat Ibnu Abbas
– Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, “ Aku tidak tahu apakah Rasulullah melarang memakan daging keledai peliharaan karena keledai peliharaan itu untuk tunggangan manusia dan beliau tidak suka kalau habis tunggangan mereka atau Rasulullah memang mengharamkannya di hari Khaibar. [34]
– ‘Ali berkata kepada Ibnu ‘Abbas, “Sesungguhnya Rasulullah melarang dari Mut’ah dan daging keledai peliharaan.” [35]
– Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, “Rasulullah melarang dari menjual ghanimah sampai dibagi, mengumpuli tawanan wanita yang sedang hamil sampai melahirkan, -dan Rasulullah bersabda, “ Apakah kamu akan menyirami kebun yang bukan milikmu?”- dan memakan daging keledai peliharaan dan semua binatang buas yang bertaring. [36]
Catatan:
Hadits Ibnu ‘Abbas dan ‘Ali di atas berderajat shahih, sedangkan hadits Ibnu ‘Abbas tentang larangan memakan daging keledai peliharaan dan semua binatang buas yang bertaring berderajat hasan sehingga dapat dijadikan hujah. Dari ketiga riwayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Ibnu ‘Abbas pernah berpendapat bahwa Allah mengharamkan empat macam makanan saja, kemudian beliau mendengar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengharamkan keledai peliharaan, sehingga beliau tidak berani untuk memutuskan, karena merasa ragu dengan pengharaman Rasulullah tersebut, sebab ada kemungkinan bahwa dilarangnya keledai peliharaan untuk dikonsumsi karena khawatir kalau habis dimakan, sedangkan keledai merupakan tunggangan para shahabat beliau. Walau demikian, setelah mendengar kabar dari ‘Ali, maka Ibnu ‘Abbas pun mengharamkannya. [37]
Pembahasan tentang pendapat Aisyah
‘Aisyah juga mengharamkan makanan selain empat itu sebagaimana dikeluarkan oleh Al-Baihaqi berikut ini:
Dari ‘Aisyah bahwasanya dia berkata, “Sesungguhnya aku heran dari orang yang memakan gagak, sedangkan Rasulullah sungguh telah mengizinkan bagi orang yang berihram untuk membunuhnya, dan beliau menamakannya fasiq, dan demi Allah tidaklah dia (gagak) termasuk dari (makanan-makanan) yang baik. ” [38]
Catatan:
Hadits ini berderajat hasan sehingga dapat dijadikan hujah. Dari atsar ini dapat diambil kesimpulan bahwa ‘Aisyah tidak hanya mengharamkan empat yang disebutkan dalam ayat di atas, akan tetapi beliau juga mengharamkan burung gagak. Berdasarkan atsar ini, maka mengatakan bahwa ‘Aisyah berhujah dengan ayat ini untuk membatasi pangharaman makanan hanya pada bangkai, darah yang mengalir, daging babi dan sembelihan yang disembelih atas nama selain Allah itu tidak bisa diterima.
Kesimpulan: ayat ini tidak membatasi pengharaman makanan hanya pada empat macam tersebut, sehingga ayat ini tidak bisa dijadikan hujah untuk membolehkan memakan daging anjing
Hadits Abu Hurairah tentang Haramnya Memakan Binatang Buas yang Bertaring
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ[39] . أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Artinya:
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Semua binatang buas yang bertaring maka haram memakannya”. HR Muslim.
Abu Hanifah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan binatang buas yang bertaring adalah semua binatang yang memakan daging. Adapun menurut Al-Baghawi yang dimaksud dengan binatang buas yang bertaring adalah binatang yang mengganggu manusia dan harta mereka dengan taringnya, seperti srigala, singa, anjing dan semisalnya. [40] Imam Malik menafsirkan binatang buas yang bertaring adalah binatang yang menerkam dan memakan daging, semisal anjing. [41] Ibnu Hazm mengatakan bahwa anjing termasuk binatang yang bertaring. [42]
Catatan: Berdasarkan perkataan para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa anjing termasuk binatang buas yang bertaring.
Muhammad Rasyid Ridla mengatakan bahwa Abu Hurairah meriwayatkan hadits ini secara makna. Maksudnya Abu Hurairah memahami larangan Rasulullah memakan binatang buas sebagai larangan untuk pengharaman, lalu dia meriwayatkan hadits pengharaman makanan dengan lafal tahrim [43]. Menurut beliau, hadits tentang larangan memakan binatang buas yang bertaring tidak menunjukkan pengharaman akan tetapi menunjukkan kebencian. [44]
Catatan: ada hadits lain dari Abu Tsa’labah yang menggunakan lafal larangan dan pengharaman memakan binatang buas sehingga menunjukkan bahwa Abu Hurairah tidak meriwayatkan secara makna.
Dari Abu Tsa’labah Al-Khusyaniyyi, dia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, kabarilah aku dengan apa yang halal untukku dari apa yang haram atasku.’ Dia berkata, “ Maka beliau memandangku dari atas sampai bawah, dan memerhatikanku” kemudian beliau bersabda, “Yang tumbuh.” Dia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, yang tumbuh baik atau buruk?” Beliau menjawab, “Bahkan yang tumbuh baik, janganlah kamu memakan daging keledai peliharaan dan semua binatang buas yang bertaring.” [45]
Kesimpulan: berhujah dengan hadits Abu Hurairah ini untuk mengharamkan daging anjing dapat diterima,
Hadits Abu Tsa’labah radliyallahu ‘anhu tentang Larangan Memakan Daging Binatang Buas yang Bertaring
عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ [46] . أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ
Artinya :
Dari Abu Tsa’labah radliyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari memakan semua binatang buas yang bertaring. HR Al-Bukhari.
Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin dan Nashiruddin Al-Albani mengatakan bahwa larangan dalam hadits tersebut untuk pengharaman.
Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin berdalil karena asal dari larangan itu untuk pengharaman. [47] Sedangkan Nashiruddin Al-Albani berdalil karena dalam hadits Abu Hurairah jelas disebutkan bahwa memakan daging binatang buas itu haram maka larangan dalam hadits ini juga untuk pengharaman. [48]
Catatan: Dalam Ilmu Ushul Fiqh disebutkan bahwa larangan itu untuk pengharaman [49], sehingga larangan dalam hadits Abu Tsa’labah ini tetap menunjukkan pengharaman.
Bukti lain yang menunjukkan bahwa larangan pada hadits ini untuk pengharaman adalah hadits Abu Tsa’labah – yang telah disebutkan sebelumnya – yang menggunakan lafal tahrim (lihat analisis hadits Abu Hurairah)
Kesimpulan: Anjing termasuk binatang buas yang bertaring sebagaimana telah dijelaskan pada analisis hadits Abu Hurairah yang lalu. Dengan demikian hadits ini dapat dijadikan hujah tentang pengharaman memakan daging anjing,
Hadits Ibnu Abbas bahwa jika Allah Mengharamkan Sesuatu maka Allah Mengharamkan untuk Menjualnya dan Hadits Abu Mas’ud bahwa Nabi Melarang Menjual Anjing
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا عِنْدَ الرُّكْنِ ، قَالَ : فَرَفَعَ بَصَرَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَضَحِكَ ، فَقَالَ : لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ ثَلاَثًا ، إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْهِمُ الشُّحُوْمَ فَبَاعُوْهَا وَأَكَلُوْا أَثْمَانَهَا ، وَإِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ . [50] أَخْرَجَهُ أَبُوْ دَاوُدَ بِسَنَدٍ صَحِيْحٍ
Artinya :
Dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di samping Rukun Yamani.“ Dia berkata, “Maka beliau melihat ke langit kemudian tersenyum.” Maka beliau bersabda, “Allah melaknat orang-orang Yahudi – beliau mengulanginya tiga kali -, sesungguhnya Allah mengharamkan lemak atas mereka kemudian mereka menjualnya dan memakan harganya, dan sesungguhnya jika Allah mengharamkan memakan sesuatu atas satu kaum maka Allah mengharamkan harganya atas mereka.” HR Abu Dawud dengan sanad yang shahih.
عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ الأَنْصَارِيِّ ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ .[51] مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ، وَ اللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ .
Artinya:
Dari Abu Mas’ud radliyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari harga anjing, upah pelacur, dan upah dukun. Muttafaqun ‘alaih, dan lafal ini milik Al-Bukhari.
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim [52] mengatakan bahwa jumhur ulama menjadikan hadits Ibnu ‘Abbas di atas sebagai dalil pengharaman memakan daging anjing karena ada hadits Ibnu Mas’ud yang isinya larangan menjual anjing.
Ibnu Hajar mengatakan bahwa jumhur ulama berpendapat bahwa menjual anjing itu haram baik anjing untuk berburu maupun anjing lain yang tidak untuk berburu yang boleh dipelihara maupun yang tidak boleh dipelihara. [53]
Catatan: Berdasarkan kedua hadits di atas dapat disimpulkan bahwa anjing haram dimakan karena Rasulullah melarang untuk menjualnya.
Kesimpulan: hadits ini dapat dijadikan hujah tentang larangan memakan daging anjing.
Editor: Muhammad Iqbal (16/01/1445)
FOOTNOTE:
[1] Asy-Syanqithi, Adlwaul Bayan, jld. 2,hlm. 185.
[2] Lihat Mafatihul Ghaib susunan Fakhruddin Ar-Razi, jld 7, jz. 13, hlm. 179-183.
[3] Lihat Adlwaul Bayan susunan Asy-Syanqithi, jld. 2, hlm. 185.
[4] Lihat Mafatihul Ghaib susunan Fakhruddin Ar-Razi, jld. 7, jz. 13, hlm. 181.
[5] Lihat Mafatihul Ghaib susunan Fakhruddin Ar-Razi, jld. 7, jz. 13, hlm. 183.
[6] Lihat Ruhul Ma’ani susunan Al-Alusi, jld. 7, hlm. 480.
[7] Lihat Ruhul Ma’ani susunan Al-Alusi, jld. 1, hlm. 440.
[8] Muhammad Rasyid Ridla, Tafsirul Manar, jld. 8, hlm.163.
[9] Lihat Tafsirul Manar susunan Muhammad Rasyid Ridla, jld.8, hlm.149.
[10] Lihat Tafsirul Manar susunan Muhammad Rasyid Ridla, jld.8, hlm. 157
[11] Lihat Tafsirul Manar susunan Muhammad Rasyid Ridla, jld.8, hlm. 157
[12] Lihat Musnad Ahmad susunan Imam Ahmad, jld. 22, hlm. 354-355.
[13] Lihat At-Tamhid susunan Ibnu ‘Abdil Barr, jld. 1, hlm. 125.
[14] Lihat Tuhfatul Ahwadzi susunan Al-Mubarakfuri, jld. 5, hlm. 503.
[15] Lihat Kitabul Fiqhi ‘alal Madzahibil Arba’ah susunan Al-Jaziri, jld. 2, hlm. 5.
[16] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahihu Fiqhis Sunnah, jld. 2, hlm. 311.
[17] Muslim, Al-Jami’ush shahih, jld.1, hlm.554, no.1934.
[18] Muslim, Al-Jami’ush shahih, jld.1, hlm.437, no.1569.
[19] Lihat Ad-Durrul Mashun susunan As-Samin Al-Halabi, jld. 03, hlm. 204.
[20] Lihat Mahasinut Takwil susunan Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi, jld. 3, hlm. 447.
[21] Lihat Mafatihul Ghaib susunan Fakhruddin Ar-Razi, jld. 7, hlm. 180.
[22] Lihat Qawa’idul Lughatil ‘Arabiyyah susunan Hifni bik Nashif et al., hlm. 114.
[23] Lihat Mu’jamul Wasith susunan Ibrahim Unais et al., hlm. 184.
[24] Lihat Mahasinut Takwil susunan Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi, jld. 3, hlm. 447.
[25] Hashr (Qashr) Idlafi terbagi menjadi tiga, yaitu;
- Jika digunakan untuk membantah atau menolak orang yang berkeyakinan persekutuan, maka dinamakan hashr Ifrad, contoh: إنَّمَا اللهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ (Allah hanya satu-satunya sesembahan), sebagai bantahan untuk orang yang berkeyakinan bahwa Allah adalah sesembahan yang ketiga.
- Jika digunakan untuk membantah Hashr orang yang berkeyakinan kebalikan dari hukum yang ditetapkan, maka dinamakan hashr Qalb, contoh: مَا سَافَرَ إِلاَّ عَلِيٌّ (Hanya ‘Ali yang bersafar), sebagai bantahan untuk orang yang berkeyakinan bahwa yang bersafar adalah Khalil bukan ‘
- Jika digunakan untuk menetapkan hukum bagi orang yang syak, maka dinamakan Hashr Ta’yin, الأَرْضُ مُتَحَرِّكَةٌ لاَ ثَابِتَةٌ (Bumi berputar dan tidak hanya berhenti) sebagai bantahan untuk orang yang syak kepada hukum tersebut. (Lihat Jawahirul Balaghah susunan Ahmad bin Ibrahim, hlm.158.)
[26] Lihat Qawa’idul Lughatil ‘Arabiyyah susunan Hifni bik Nashif et al., hlm. 113.
[27] Lihat Tafsirul Munir susunan Dr. Wahbah Az-Zuhaili, jld. 4, jz. 8,hlm. 81.
[28] Lihat Fathul Bari susunan Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, jld. 2, hlm. 1200.
[29] Lihat At-Tamhid susunan Ibnu ‘Abdil Bar, jld. 1, hlm 118.
[30] Lihat Tafsirul Manar susunan Muhammad Rasyid Ridla, jld. 8, hlm. 153.
[31] Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld. 1, hlm. 1034, h. 5529.
[32] Al-Mushannaf , ‘Abdurrazaq, jld. 4, hlm. 520-521, h. 8708.
[33] Abu Dawud, Sunanu Abi Dawud, jld. 2, hlm. 212, k. Al-Ath`imah, b. Fi Akli Hasyaratil Ardl, h. 3799 .
[34] Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld. 1, hlm. 764, k.(64) Al-Maghazi, b. (40) Ghazwati Khaibar, h. 4227.
[35] Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld. 1, hlm. 964, h. 5115.
[36] Sunanud Daruquthni, Ad-Daruquthni, jld. 2, hlm. 51, k. Al-Buyu’, h. 3032.
[37] Lihat ‘Aunul Ma’bud susunan Abuth Thayyib Abadi, jld.10, hlm. 288, pada bagian catatan kaki yang ditulis oleh Ibnul Qayyim.
[38] Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, jld. 9, hlm. 532, h. 19369.
[39] Muslim, Shahihu Muslim, jld. 1, hlm. 554, h. 1933.
[40] Lihat ‘Aunul Ma’bud susunan Abuth Thayyib Abadi, jld. 10, hlm. 277.
[41] Lihat Mukammilu Ikmalil Ikmal susunan Muhammad As-Sanusi, jld. 7, hlm. 14.
[42] Lihat Al-Muhalla bil Atsar susunan Ibnu Hazm, jld. 6, hlm.68.
[43] Lihat Tafsirul Manar susunan Muhammad Rasyid Ridla, jld.8, hlm.157.
[44] Lihat Tafsirul Manar susunan Muhammad Rasyid Ridla, jld.8, hlm.163.
[45] Ahmad, Musnad Ahmad, jld. 29, hlm. 280-281, no. 17745.
[46] Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld. 1, hlm. 1034, h. 5530.
[47] Lihat Asy-Syarhul Mumti’ susunan Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, jld. 15, hlm.17.
[48] Lihat Silsilatu Ahaditsish Shahihah susunan Nashiruddin Al-Albani, jld. 1, hlm. 856.
[49] Lihat At-Tahshil minal Mahshul susunan Al-Armawi, jld. 1, hlm. 334.
[50] Abu Dawud, Sunanu Abi Dawud, jld. 2, hlm. 148, k. Al-Ijarah, b. Fi Tsamanil Khamri wal Maitati, h. 3488.
[51] Al-Bukhari, Shahihul bukhari, jld. 1, hlm. 398, k. (34) Al-Buyu’, b. (113) Tsamanil Kalbi, h. 2237.
[52] Lihat Shahihu Fiqhis Sunnah susunan Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, jld. 2, hlm. 311-312.
[53] Lihat Fathul Bari susunan Ibnu Hajar, jld. 1, hlm. 1140.