Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
HUKUM MENJURAIKAN PAKAIAN (ISBAL) BAGI LAKI-LAKI
Sumber : Makalah “HUKUM MENURAIKAN PAKAIAN BAGI LAKI-LAKI” Karya Ustadzah Istiqomah
Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapati fenomena beragam di antara Muslimin perihal menjuraikan pakaian bagi laki-laki, atau bisa juga disebut dengan isbal.
Ustadzah Istiqamah (051) berupaya membahas masalah ini dengan membuat sebuah risalah ilmiyyah yaitu makalah dengan judul “Hukum Menjuraikan pakaian bagi laki-laki”.
Artikel ini merupakan ikhtiyar untuk mengkhtishar risalah ilmiyyah tersebut. Semoga bermanfaat dan berikut uraiannya:
Abuth-Thoyyib Abadi menjelaskan bahwa maksud dari مسبلا إزاره adalah membiarkan kain sarungnya di bawah mata kaki. [1] Ibnu Atsir [2] dan Ibn Mandhur [3] menerangkan maksud menjuraikan pakaian adalah Orang yang memanjangkan dan membiarkan pakaiannya sampai (menyentuh) tanah apabila dia berjalan… . An-Nawawi menerangkan bahwa maksud menjuraikan pakaian adalah membiarkan pakaian sampai tanah. [4]
Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud menjuraikan pakaian adalah mengenakan pakaian sampai melebihi mata kaki, baik pakaian itu menyentuh tanah maupun tidak.
عن أبي هريرة : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى من جر إزاره بطراً
Artinya:
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Allah tidak memandang (dengan belas kasih) pada hari Kiamat kepada orang yang menyeret kain sarungnya dalam keadaan sombong.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad [5], Al-Bukhari [6] dan lafadh ini miliknya, Muslim [7], Ibnu Majah, Malik.
Hadits ini memberi pengertian adanya ancaman yang keras bagi orang yang menyeret pakaian dalam keadaan sombong. Ancaman yang keras itu menunjukkan bahwa penjuraian pakaian dalam keadaan sombong hukumnya haram. [8]
Perlu ditambahkan bahwa ulama sepakat penjuraian pakaian disertai kesombongan hukumnya haram. [9]
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ، لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إليه يوم القيامة
Artinya:
“Dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Allah tidak akan memandang (dengan belas kasih) kepada orang yang menyeret pakaiannya dalam keadaan sombong.” Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad [10], Al-Bukhari [11], dan lafadh ini miliknya, Muslim [12], Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah.
عَنْ أَبِي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وَسَلَّمَ قَالَ: مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإزار ففي النار
Artinya:
“Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu‘alahi wa sallam bersabda, “Apa-apa yang lebih rendah dari dua mata kaki dari kain sarung, maka (tempatnya) di dalam neraka.” HR. Ahmad [13], Al-Bukhari [14] sedang lafadh ini miliknya, dan An-Nasa’i, dengan sanad yang shahih.
Dalam hadits ini tidak ada keterangan tentang “kesombongan.” Maka ancaman neraka bagi orang yang menjuraikan pakaian dalam hadits ini tetap pada kemutlakannya. Artinya, ancaman tersebut berlaku bagi setiap orang yang menjuraikan pakaian, baik dalam keadaan sombong ataupun tidak dalam keadaan sombong.
Ibnu Hajar menukil keterangan Al-Khaththabi bahwa penyebutan pakaian (kain sarung) dalam hadits ini sebagai kinayah dari tubuh bagi si pemakai, karena letak pakaian sangat dekat dengan tubuh pemakainya. Hal ini termasuk dalam bab penamaan suatu benda dengan nama bagi benda lain yang dekat dengannya. Maksudnya adalah diri si pemakai itu sendiri (dimasukkan) dalam neraka. [15]
عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النبي صلى الله عليه وسلم قال: (من جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ). قَالَ أَبُو بَكْرٍ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أَحَدَ شقَّي إِزَارِي يَسْتَرْخِي، إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
“Dari Salim bin Abdullah, dari bapaknya (Abdullah bin Umar radliyallahu ‘anhuma), dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau bersabda, “Barang siapa menyeret pakaiannya dalam keadaan sombong, (maka) Allah tidak akan memandangnya (dengan belas kasih) pada hari Kiamat.” Kemudian Abu Bakar bertanya, “Wahai Rasulullah!” Sesungguhnya salah satu dari dua sisi kain sarungku turun sendiri, kecuali jika aku selalu menjaganya dari penjuraian itu. Lalu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Tidaklah engkau termasuk orang yang melakukannya dalam keadaan sombong.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad [16], Al-Bukhari [17], sedang lafadh ini miliknya dan Abu Dawud [18]
Ucapan Abu Bakar, “Wahai Rasulullah!” Sesungguhnya salah satu dari dua sisi kain sarungku turun sendiri kecuali jika aku selalu menjaganya dari penjuraian itu, menunjukkan bahwa Abu Bakar tidak sengaja untuk menjuraikannya, akan tetapi pakaian itu terjurai (turun sendiri). Ibnu Hajar menyebutkan bahwa penyebabnya adalah kekurusan badan beliau [19]
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلًا،
Artinya:
“Dari Abu Bakrah radliyallahu ‘anhu dia berkata, “Telah terjadi gerhana matahari, dan ketika itu kami di hadapan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Maka beliau bangkit sedang pakaian beliau terseret dalam keadaan tergesa-gesa…,.” Hadits riwayat Al-Bukhari [20], sedang lafadh ini miliknya dan An-Nasa`i [21].
Ibnu Hajar menyebutkan bahwa terseretnya baju nabi karena tergesa-gesa tersebut dapat dipahami bahwa pakaian yang terjurai karena tergesa-gesa tidak termasuk dalam larangan. [22]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، قَالَ: « مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللهِ، ارْفَعْ إِزَارَكَ. فَرَفَعْتُهُ ثُمَّ قَالَ: زِدْ. فَزِدْتُ، فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ، فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ: إِلَى أَيْنَ؟ فَقَالَ: أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ
Artinya:
“Dari Ibnu Umar, dia berkata, “Aku lewat di depan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam sedang kain sarungku terjurai, lalu beliau bersabda, “Wahai Abdullah! Naikkanlah kain sarungmu!” Kemudian aku menaikkannya. Lalu beliau bersabda, “Tambah lagi!” Maka aku menambah lagi. Semenjak itu, aku selalu (berusaha) menjaganya, lalu sebagian kaum bertanya, “Sampai di mana (batas ketinggiannya)?” Maka Ibnu Umar menjawab, “Sampai tengah-tengah betis.” HR. Muslim [23] dan lafadh ini miliknya dan Al- Baihaqi [24]
Hadits ini memberi pemahaman bahwa:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ،عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : “ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ، وَلَا يُزَكِّيهِمْ، وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ” قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ مرار. قَالَ أَبُو ذَرٍّ: خَابُوا وَخَسِرُوا. مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ” الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سلعته بالحلف الكاذب”
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Ali bin Mudrik dari Abu Zur’ah bin ‘Amr bin Jarir, dari Kharasyah bin Al-Hur, dari Abu Dzar, dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam beliau bersabda,”Terdapat tiga golongan manusia yang Allah tidak akan berbicara dengan mereka pada hari Kiamat, tidak pula memandang mereka (dengan belas kasih), dan tidak pula Dia menyucikan mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih.” (Rawi berkata) : Lalu beliau membaca sabdanya sampai tiga kali. Abu Dzar bertanya, “Siapakah mereka wahai Rasulullah, ”Sungguh Mereka celaka dan merugi? Beliau bersabda, “Orang yang menjuraikan pakaian, orang yang mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah bohong.” Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim [25] dan lafadh ini miliknya, Abu Dawud [26], At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Abu Dawud Ath-Thayalisi, Ibnu Abi Syaibah
Berdasarkan sabda Nabi, “Bagi mereka adzab yang pedih” dapat dipahami bahwa menjuraikan pakaian itu hukumnya haram.
عَنْ جَابِرِ بْنِ سُلَيْمٍ، قَالَ: … وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ، فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ، وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ، فَإِنَّهَا مِنَ المَخِيلَةِ، وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ
Artinya:
Dari Jabir bin Sulaim … dan naikkanlah kain sarungmu sampai tengah-tengah betis, jika kamu enggan, maka sampai dua mata kaki, dan jauhilah perbuatan menjuraikan kain sarung, sebab hal itu termasuk kesombongan, dan sesungguhnya Allah tidak menyukai sikap sombong. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad [27], Abu Dawud [28], dan lafadh ini miliknya, Abdurrazaq, Ibnu Abi Syaibah.
Hadits ini menjelaskan bahwa Nabi berpesan kepada Jabir bin Sulaim untuk menjauhi perbuatan menjuraikan kain sarung, dengan alasan perbuatan itu adalah kesombongan yang dibenci oleh Allah.
Adapun huruf من pada kalimat من المخيلة ini berfaedah lil bayan (untuk menjelaskan) atau bisa juga li tab’idl (untuk makna sebagian). Apabila huruf من lil bayan makna lafal tersebut adalah perbuatan menjuraikan pakaian itu adalah kesombongan. Namun apabila huruf من li tab’idl, maka makna lafal tersebut adalah perbuatan menjuraikan pakaian itu termasuk sebagian dari kesombongan, artinya bentuk kesombongan bukan hanya berupa perbuatan menjuraikan pakaian.
Berdasarkan dua kemungkinan tentang huruf من tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan menjuraikan pakaian merupakan kesombongan. Perbuatan menjuraikan pakaian dan kesombongan tidak dapat dipisahkan. Berdasarkan hadis ini, maka lafadz خيلاء atau lafal بطرا tidak dapat menjadi qaid, akan tetapi menjadi keterangan.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ القِيَامَةِ»، فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ؟ قَالَ: «يُرْخِينَ شِبْرًا»، فَقَالَتْ: إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ، قَالَ: فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا، لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ
Artinya:
Dari Ibnu Umar dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barang siapa menyeret pakaiannya dalam keadaan sombong, maka Allah tidak akan memandangnya (dengan belas kasih) pada hari Kiamat.” Kemudian Ummu Salamah bertanya, “Lalu bagaimana kaum perempuan akan berbuat terhadap dzuyul mereka?” Beliau menjawab, “Hendaklah mereka menurunkan sepanjang satu jengkal.” Kemudian Ummu Salamah bertanya (lagi), “Kalau demikian, (maka) akan tampak kaki-kaki mereka.” Beliau bersabda (lagi), “Maka hendaklah mereka menurunkan (pakaian) sepanjang satu hasta, janganlah mereka menambahi (lagi) darinya.” At-Tirmidzi [29] mengeluarkannya dengan sanad yang shahih.
عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: «سَأَلْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ عَنِ الْإِزَارِ فَقَالَ: عَلَى الْخَبِيرِ سَقَطْتَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ، وَلَا حَرَجَ أَوْ لَا جُنَاحَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ، مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ، مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ
Artinya:
Dari Al-‘Ala` bin Abdurrahman, dari bapaknya dia berkata, Aku bertanya kepada Abu Sa’id Al-Khudri tentang kain sarung, lalu dia berkata, kepada orang yang pandai engkau bertanya.” Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Keadaan kain sarung seorang muslim hendaknya sampai tengah- tengah betis, dan tidak mengapa atau tidak dosa panjang pakaian antara pertengahan betis dan mata kaki, pakaian yang lebih rendah dari mata kaki, maka (tempatnya) di dalam neraka, barang siapa menyeret kain sarungnya dalam keadaan sombong, (maka) Allah tidak akan memandangnya (dengan belas kasih).” Dikeluarkan oleh Ahmad [30], Abu Dawud [31] dan lafadh ini miliknya, Ibnu Majah, Malik, Al-Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah, dan Abu Dawud Ath-Thayalisi, dengan sanad yang hasan.
Hadits ini menerangkan bahwa panjang pakaian laki-laki yang utama ialah sampai pertengahan betis. Adapun panjang pakaian yang diperbolehkan adalah pertengahan betis sampai mata kaki. Orang yang memakai pakaian melebihi mata kaki, tempatnya di dalam neraka. Jadi, perbuatan menjuraikan pakaian hukumnya haram.
An-Nawawi membagi hadits-hadits pada pembahasa ini menjadi dua macam periwayatan, yaitu secara mutlak (tanpa lafadh خيلاء atau lafadh بطرا) dan secara muqayyad (dengan lafadh خيلاء atau lafadh بطرا).[32] Kemudian beliau menerapkan kaidah “membawa yang mutlak kepada yang muqayyad” pada hadits-hadits tersebut.
Berdasarkan penerapan kaidah itu, beliau menyimpulkan bahwa menjuraikan pakaian untuk maksud kesombongan hukumnya haram. Sedangkan menjuraikan pakaian tanpa disertai kesombongan hukumnya makruh bukan haram.
Menurut ilmu ushul fikih, ada tiga cara untuk menyelesaikan permasalahan ini, yaitu:
Apabila masing-masing nash berdiri sendiri-sendiri, maka ada dua hukum yang berbeda dari dua nash tersebut. Hukum dari nash mutlak ialah “semua penjuraian pakaian bagi laki-laki hukumnya haram.” Sedangkan hukum dari nash muqayyad ialah “menjuraikan pakaian hukumnya haram apabila disertai kesombongan.” Kemudian hukum manakah yang akan diputuskan bagi seorang laki- laki yang menjuraikan pakaian tanpa kesombongan? Jika hukum atas orang itu didasarkan pada nash muqayyad, maka ia tidak berdosa, sedangkan jika hukum atas orang itu didasarkan pada nash mutlak, maka ia berdosa.
Padahal keputusan hukum bagi satu perbuatan harus didasarkan pada satu hukum. Adanya dua hukum yang berbeda bagi satu perbuatan adalah mustahil terjadi dalam perkara syariat. Oleh karena itu, cara pertama ini tidak dapat dipergunakan.
Adapun cara kedua adalah nash yang mutlak ditafsirkan dengan qaid pada nash muqayyad. Berdasarkan kaidah ini, maka larangan menjuraikan pakaian hanya dikhususkan bagi laki-laki yang menjuraikannya karena kesombongan. Sedangkan laki-laki yang menjuraikannya tanpa disertai kesombongan, tidak termasuk dalam larangan.
Berdasarkan dalil-dalil yang diajukan oleh An-Nawawi, kesmpulan beliau di atas dapat dibenarkan karena hadis-hadis tersebut berderajat shahih. Namun pemberlakuna kaidah حمل المطلق على المقيد pada hadis-hadis yang beliau jadikan dalil tidak dapat diterima karena hadis Jabir yang secara Manthuq menegaskan bahwa menjuraikan pakaian adalah suatu kesombongan. Dengan penerapan kaidah tersebut juga bertentangan dengan hadis-hadis lain, seperti hadis Ibnu umar tentang perintah menaikkan kain sarung sampai pertengahan betis yang sudah lewat.
Berdasarkan kelemahan-kelemahan pada dua cara tersebut, penulis memilih cara ketiga (menarik yang muqayyad kepada yang mutlak), karena tidak ada dalil yang membatasi hadits mutlak. Dengan cara ini, maka terhadap nash yang muqayyad diberlakukan ketentuan yang termaktub dalam nash yang mutlak, artinya lafadz الخيلاء pada hadis Abu Hurairah tidak menjadi taqyid.
Walhasil, hadis Abu Hurairah ما أسفل من الكعبين dan hadis Abu Dzar المسبل tidak dapat ditaqyid dengan lafal خيلاء atau lafal بطرا. Jadi larangan larangan menjuraikan pakaian ditujukan kepada setiap laki-laki, tanpa adanya perbedaan karena kesombongan maupun tidak. Dengan kesimpulan ini, berarti makna hadis-hadis lain juga telah tercakup di dalamnya. Adanya lafal خيلاء atau lafal بطرا tidak berarti bahwa orang yang menjuraikan pakaian tanpa niat kesombongan itu boleh.
Ulama yang berpendapat menjuraikan pakaian bagi laki-laki haram muthlaq antara lain: Ibnu Hazm [33], Ibnu Arabi Al-Maliki [34] dan Al-Kandahlawi[35]
Catatan: pendapat ini berdasarkan hadis-hadis yang menunjukkan larangan menjuraikan pakaian. pendapat ini sesuai dengan isi hadis-hadis tersebut, maka pendapat ini dapat diterima.
Ulama yang berpendapat menjuraikan pakaian bagi laki-laki itu haram apabila diserai kesombongan antara lain: Imam An-Nawawi [36], Asy-Syafi’iyyah dan Hanbaliyyah [37], Asy-Syaukani [38]
catatan: pendapat ini berkaitan dengan analisa tentang qaid dan muthlaq tentang hadis-hadis menjuraikan pakaian yang telah lewat yang berkesimpulan bahwa menjuraikan pakaian karena sombong atau tidak sombong tidak boleh.
Ulama yang berpendapat menjuraikan pakaian bagi laki-laki itu makruh selagi tidak sombong adalah Imam Nawawi [39]
Catatan: Pendapat ini analisanya sudah terlewat (lihat analisa tentang qaid dan muthlaq tentang hadis-hadis menjuraikan pakaian)
Ulama yang berpendapat menjuraikan pakaian bagi laki-laki itu boleh kalay terpaksa adalah Al-Hafidz Zainuddin Al-‘Iraqi [40]
Catatan: pendapat ini berlandasakan dengan hadis shahih tentang pemberian izin dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bagi Abdurrahman bin ‘Auf yang sakit gatal untuk memakai kain sutra, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhori (lihat Shahihul Bukhari, jld.4, hlm.37, hd.5839). hadis tersebut dapat dipahami bahwa pada keadaan terpaksa, sesuatu yang asalnya haram, boleh dilakukan (dilanggar). Hadis ini berderajat shahih, sehingga pendapat ini dapat diterima.
Ulama yang berpendapat menjuraikan pakaian bagi laki-laki itu boleh kalau tidak sengaja adalah Ibnu Hajar [41]
catatan: pendapat beliau berdasarkan hadis Ibnu Umar yang analisanya sudah lewat. Hadis tersebut menunjukkan bahwa pakaian yang terjurai tanpa sengaja tidak termasuk dalam hadis larangan menjuraikan Isbal, maka pendapat ini dapat diterima, wallahu a’lam.
Ulama yang berpendapat menjuraikan pakaian bagi laki-laki itu boleh kalau tidak sombong antara lain: Al-‘Aini [42] dan Muhamad bin Salim Al-Hafani [43]
Catatan: tidak ada perbuatan menjuraikan pakaian kecuali dia itu merupakan suatu kesombongan, sebagaimana analisa pada hadits Jabir yang telah lewat.
Dari ringkasan analisa dalil dan pendapat ulama yang telah lewat dapat diambil kesimpulan bahwa menjuraikan pakaian bagi laki-laki hukumnya haram pada semua keadaan, misalnya pada keadaan shalat, dan pendapat yang menyatakan bahwa menjuraikan pakaian itu mubah karena terpaksa atau tanpa sengaja. Wallahu a’lam.
Diringkas oleh Muhammad Iqbal dari Makalah karya Ustadzah Istiqomah binti Slamet yang berjudul “HUKUM MENJURAIKAN PAKAIAN BAGI LAKI-LAKI”
FOOTNOTE
[1] Abu Thayyib Abadi, ‘Aunul Ma’bud, jz.10, hlm.261
[2] Ibnul Atsir, An-Nihayah Fi Gharibil Hadits Wal Atsar, jz.2, hlm.339
[3] Ibnu Mandhur, Lisanul ‘Arab, jz.6, hlm.163.
[4] An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, jz.3, hlm.176
[5] Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, jz.2, hlm.386, 397, 454.
[6] Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld.4, hlm.29, kitab.77-Al-Libas, bab.5, hd.5788
[7] Muslim, Al-Jami’us Shahih, jz.6, hlm.148, kitab.37-Al-Libas Waz Zinah, bab.9.
[8] Al-Bassam, Taudlihul Ahkam, jz.3, hlm.621. Ibnu ‘Allan, Dalilul Falihin, jz.3, hlm.247. An-Nawawi, Nuzhatul Muttaqin, jz.1, hlm.548. Ibnu Hajar, Fathul Bari, jz.10, hlm.259.
[9] Al-Bassam, Taudlihul Ahkam, jz.3, hlm.621.
[10] Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, jz.2, hlm.11, 42, 44, 46, 55, 56, 60, 67, 69-70, 74, 76, 81.
[11] Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld.4, hlm.29, kitab.77-Al-Libas, bab.1, hd.5783.
[12] Muslim, Al-Jami’us Shahih, jz.6, hlm.146, kitab.37, bab.Tahrimu Jarri Tsaub
[13] Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, jz.2, hlm.410, 461, 498
[14] Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld.4, hlm.29, kitab.77-Al-Libas, bab.4, hd.5787
[15] Ibnu Hajar, Fathul Bari, jz.10, hlm.257.
[16] Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, jz.2, hlm.67
[17] Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld.4, hlm.28, kitab.77-Al-Libas, bab.2, hd.5784
[18] Abu Dawud, As-Sunan, jld.2, hlm.266, kitab.27-Al-Libas, bab.27, hd.4085
[19] Ibnu Hajar, Fathul Bari, jz.10, hlm.255.
[20] Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld.4, hlm.28, kitab.77-Al-Libas, bab.2, hd.5785.
[21] An-Nasa’i, As-Sunan, jz.3, hlm.127, kitab.Al-Kusuf, bab.Al-Amru Bish Shalah ‘Indal Kusuf ….
[22] Ibnu Hajar, Fathul Bari, jz.10, hlm.255.
[23] Muslim, Al-Jami’us Shahih, jz.6, hlm.148, kitab.37-Al-Libas Waz Zinah, bab.Tahrimu Jarri Tsaub
[24] Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, jz.2, hlm.243-244, kitab.-Shalah, bab.-Maudhi’ul Izar Minar Rajul.
[25] Muslim, Al-Jami’us Shahih, jz.1, hlm.71, kitab.1-Al-Iman, bab.Bayanu Ghaladli Tahrimi Isbalil Izar
[26] Abu Dawud, As-Sunan, jld.2, hlm.266, kitab.27-Al-Libas, bab.27, hd.4087.
[27] Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, jz.3, hlm.482-483 dan jz.4, hlm.65
[28] Abu Dawud, As-Sunan, jld.2, hlm.265-266, kitab.27-Al-Libas, bab.27, hd.4084
[29] At-Tirmidzi, As-Sunan, jz.4, hlm.223, kitab.25-Al-Libas, bab.9, hd.1731
[30] Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, jz.3, hlm.5, 6, 30-31, 44, 52, 97
[31] Abu Dawud, As-Sunan, jld.2, hlm.268, kitab.27-Al-Libas, bab.29, hd.4093
[32] An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, jz.3, hlm.178.
[33] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, jld.2, (jz.4), hlm.73.
[34] Ibnul ‘Arabi, ‘Aridhatul Ahwadhi, jz.7, hlm.238.
[35] Al-Kandahlawi, Aujazul Masalik, jz.14, hlm.190.
[36] An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, jz.3, hlm.177
[37] Abu ‘Ubaidah, Al-Qaulul Mubin Fi Akhtha-il Mushallin, hlm.34.
[38] Asy-Syaukani, Nailul Authar, jld.2, hlm.95
[39] An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, jz.3, hlm.177
[40] Al-Kandahlawi, Aujazul Masalik, jz.14, hlm.188. Pendapat ini terdapat pula pada : Nuzhatul
Muttaqin, jz.1, hlm.549, Fathul Bari, jz.10, hlm.257, Dalilul Falihin, jz.3, hlm.244
[41] Ibnu Hajar, Fathul Bari, jz.10, hlm.255
[42] Al-‘Aini, ‘Umdatul Qori, jz.11, hlm.296
[43] Muhammad bin Salim Al-Hafani, Hasyiyah pada As-Sirajul Munir, jld.3, hlm.259 dan 350.