Kapan awal dan akhir Takbir Muqayyad ‘Idul Adlha ?

Kapan awal dan akhir Takbir Muqayyad ‘Idul Adlha ?

Oleh: Ustadz Wahidin

Pengertian Takbir Muqayyad

Takbir muqayyad [1] adalah takbir ‘Idul Adlha yang dilakukan setelah shalat-shalat wajib.  [2]

Pendapat Ulama tentang Awal dan Akhir waktu Takbir Muqayyad ‘Idul Adlha

Pertama, Takbir Muqayyad Dimulai setelah Shalat Shubuh Hari ‘Arafah hingga setelah Shalat ‘Ashar Hari Nahr Tanggal 10 Dzulhijjah

Ulama yang berpendapat bahwa takbir muqayyad dimulai setelah shalat Shubuh hari ‘Arafah hingga setelah shalat ‘Ashar hari Nahr tanggal 10 Dzulhijjah adalah Abu Hanifah

Ibnu Qudamah mengatakan bahwa mereka berdalil dengan surat Al-Hajj ayat 28 dan atsar Ibnu Mas’ud. [3]

Catatan:

(1). Surat Al-Hajj ayat 28 tidak membahas tentang takbir muqayyad, tetapi membahas tentang takbir muthlaq (lihat analisis ayat ini).

(2). Atsar Ibnu Mas’ud ini berderajat shahih [4], namun atsar ini tidak dapat digunakan untuk membatasi takbir muqayyad diakhiri pada hari Nahr, karena terdapat hadits shahih riwayat Nubaisyah yang menunjukkan bahwa takbir muqayyad diakhiri pada hari Tasyrik terakhir (lihat analisis hadits Nubaisyah).

Kesimpulan: pendapat yang menyatakan bahwa takbir muqayyad dilakukan setelah shalat Shubuh hari ‘Arafah hingga setelah shalat ‘Ashar hari Nahr tanggal 10 Dzulhijjah tidak dapat diterima.

Kedua, Takbir Muqayyad Dimulai setelah Shalat Dhuhur Hari Nahr hingga setelah Shalat Shubuh Hari Tasyrik Terakhir

Ulama yang berpendapat bahwa takbir muqayyad dimulai setelah shalat Dhuhur hari Nahr hingga setelah shalat Shubuh hari Tasyrik terakhir adalah Malik [5], Asy-Syafi’i [6] dan Al-Malikiyyah. [7]

Fakhruddin Ar-Razi mengatakan bahwa Malik dan As-Syafi’i berdalil dengan surat Al-Baqarah ayat 200 dan ayat 203 [8]. Wahbah Az-Zuhaili mengatakan bahwa Al-Malikiyyah berdalil dengan surat Al-Hajj ayat 28. [9]

Catatan:

(1). Surat Al-Baqarah ayat 200 menunjukkan perintah kepada orang yang berhaji agar melakukan takbir muqayyad setelah shalat Dhuhur hari Nahr, hingga setelah shalat ‘Ashar hari Tasyrik terakhir (lihat analisis ayat ini), sehingga ayat ini tidak dapat digunakan untuk menentukan waktu takbir muqayyad bagi orang yang tidak berhaji.

(2). Surat Al-Baqarah ayat 203 menunjukkan perintah untuk melakukan takbir muqayyad setelah shalat Shubuh hari ‘Arafah hingga setelah shalat ‘Ashar hari Tasyrik terakhir (lihat analisis ayat ini), sehingga pendapat ini tidak sesuai dengan pemahaman ayat tersebut.

(3).  surat Al-Hajj ayat 28 tidak membahas tentang takbir muqayyad, tetapi membahas tentang takbir muthlaq (lihat analisis ini).

Kesimpulan: Pendapat yang menyatakan bahwa takbir muqayyad dimulai setelah shalat Dhuhur hari Nahr hingga setelah shalat Shubuh hari Tasyrik terakhir tidak dapat diterima.

Ketiga, Takbir Muqayyad Dimulai setelah Shalat Maghrib Hari Nahr hingga setelah Shalat Shubuh Hari Tasyrik Terakhir

Ulama yang berpendapat seperti ini adalah Asy-Syafi’i, sebagaimana dinyatakan oleh Fakhruddin Ar-Razi [10]

Asy-Syafi’i berpendapat bahwa takbir muqayyad dimulai setelah shalat Maghrib hari Nahr karena beliau mengiaskan dengan awal waktu takbir ‘Idul Fithri, yaitu setelah matahari terbenam pada malam Idul Fitri, sedangkan akhir waktu takbir muqayyad bagi orang yang tidak berhaji, beliau mengikuti  akhir waktu takbir bagi orang yang berhaji, yaitu setelah shalat Shubuh hari Tasyrik terakhir. [11]

Catatan:

(1). Ada nash dan ijma’ yang menunjukkan bahwa permulaan takbir muqayyad itu setelah shalat Shubuh hari ‘Arafah, antara lain surat Al-Baqarah ayat 203 (lihat analisis ayat ini) dan ijma’ shahabat. [12] Dengan demikian, pengiasan Asy-Syafi’i tersebut menyelisihi nash dan ijma’. Dalam ilmu Ushul Fiqh disebutkan bahwa kias yang menyelisihi nash dan ijma’ disebut قِيَاسٌ فَاسِدُ اْلإِعْتِبَارِ (kias yang rusak iktibarnya) [13].

(2). pendapat bahwa akhir waktu takbir muqayyad bagi orang yang berhaji adalah setelah shalat Shubuh hari Tasyrik terakhir tersebut, menyelisihi pemahaman surat Al-Baqarah ayat 200 yang menunjukkan bahwa akhir waktu takbir muqayyad bagi orang yang berhaji adalah setelah shalat ‘Ashar hari Tasyrik terakhir (lihat analisis ayat ini).

Kesimpulan: pendapat yang menyatakan bahwa takbir muqayyad dimulai setelah shalat Maghrib hari Nahr hingga setelah shalat Shubuh hari Tasyrik terakhir ini tidak dapat diterima.

Keempat, Takbir Muqayyad Dimulai setelah Shalat Dhuhur Hari Nahr dan Diakhiri setelah Shalat ‘Ashar Hari Tasyrik Terakhir, bagi Orang yang Berhaji, sedangkan bagi Orang yang Tidak Berhaji, Takbir Muqayyad Dimulai setelah Shalat Shubuh Hari ‘Arafah dan Diakhiri setelah Shalat ‘Ashar Hari Tasyrik Terakhir

Pendapat ini adalah pendapat Ahmad bin Hanbal [14], ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz [15], Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin [16], Asy-Syafi’iyyah [17], dan Al- Hanabilah [18]

Mereka berdalil dengan surat Al-Baqarah ayat 203 dan ijma’ shahabat, [19] serta hadits ‘Ali dan ‘Ammar. [20]

Catatan:

(1). Surat Al-Baqarah ayat 203, menunjukkan perintah untuk melakukan takbir muqayyad setelah shalat Shubuh hari ‘Arafah hingga setelah shalat ‘Ashar hari Tasyrik terakhir (lihat analisis ayat ini).

(2). ijma’ shahabat dapat dijadikan sebagai hujjah. [21]

(3). hadits ‘Ali dan ‘Ammar menunjukkan bahwa takbir muqayyad dilakukan setelah shalat Shubuh hari ‘Arafah hingga setelah shalat ‘Ashar hari Tasyrik terakhir. Hadits ini berderajat dla’if, namun matannya sesuai dengan pemahaman surat Al-Baqarah ayat 203 (lihat analisis ayat ini).

(4). Pendapat bahwa orang yang berhaji mulai melakukan takbir muqayyad setelah shalat Dhuhur hari Nahr hingga setelah shalat ‘Ashar hari Tasyrik terakhir ini sesuai dengan pemahaman surat Al-Baqarah ayat 200 (lihat analisis ayat ini).

Kesimpulan: pendapat yang menyatakan bahwa takbir muqayyad dimulai setelah shalat Shubuh hari ‘Arafah bagi orang yang tidak berhaji dan setelah shalat Dhuhur hari Nahr bagi orang yang berhaji, kemudian diakhiri setelah shalat ‘Ashar hari Tasyrik terakhir ini dapat diterima.

Kesimpulan:

Takbir muqayyad dimulai setelah shalat Dhuhur hari Nahr dan diakhiri setelah shalat ‘Ashar hari Tasyrik terakhir, bagi orang yang berhaji, sedangkan bagi orang yang tidak berhaji, takbir muqayyad dimulai setelah shalat Shubuh hari ‘Arafah dan diakhiri setelah shalat ‘Ashar hari Tasyrik terakhir.

Dalil-Dalil yang Berkaitan dan Analisa Ringkasnya

Pertama, Surat Al-Baqarah (2): 200

فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللهَ … 

Artinya:

Maka apabila kalian telah menyelesaikan manasik-manasik haji kalian, maka kalian berdzikirlah kepada Allah… .

Ath-Thabari menjelaskan bahwa maksud lafal فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ pada ayat ini adalah apabila kalian telah menyelesaikan haji dan menyembelih hewan sembelihan, sedangkan maksud lafal فَاذْكُرُوْا اللهَ adalah maka hendaklah kalian bertakbir setelah shalat-shalat wajib dan pada hari-hari melempar jamrah. [22]

Hari-hari melempar jamrah adalah hari Nahr dan hari-hari Tasyrik. [23] Hari Nahr adalah tanggal 10 Dzulhijjah [24], adapun hari-hari Tasyrik adalah tiga hari setelah hari Nahr yaitu tanggal 11-13 Dzulhijjah [25].

Berkaitan dengan waktu takbir muqayyad bagi orang yang berhaji, An-Nawawi menyatakan bahwa orang yang berhaji mulai melakukan takbir muqayyad setelah shalat Dhuhur hari Nahr tanggal 10 Dzulhijjah, karena penyembelihan dilakukan pada hari Nahr di waktu Dluha. [26]

Maksud ayat: ayat ini menunjukkan perintah kepada orang yang berhaji agar melakukan takbir muqayyad setelah shalat Dhuhur hari Nahr, hingga setelah shalat ‘Ashar hari Tasyrik terakhir.

Kesimpulan: ayat ini dapat dijadikan dalil dilakukannya takbir muqayyad bagi orang yang berhaji mulai setelah shalat Dhuhur hari Nahr hingga setelah shalat ‘Ashar hari Tasyrik terakhir

Kedua, Hadits Nubaisyah tentang Hari-Hari Tasyrik adalah Hari-Hari untuk Berdzikir kepada Allah

عَنْ نُبَيْشَةَ الْهُذَلِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ( أَيَّامُ التَّشْرِيْقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَ شُرْبٍ وَ ذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ ) .[27]  رَوَاهُ أَحْمَدُ

Artinya:

Dari Nubaisyah Al-Hudzali, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hari-hari Tasyrik adalah hari-hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” HR Ahmad. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim.  [28]

An-Nawawi menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan disukainya memperbanyak dzikir kepada Allah pada hari-hari Tasyrik, di antaranya dengan melakukan takbir. [29]

Dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari disebutkan bahwa Ibnu ‘Umar bertakbir pada hari-hari Tasyrik yaitu pada setiap belakang shalat wajib, di atas tempat tidurnya, di tendanya, di tempat duduknya, dan pada waktu berjalannya (lihat atsar Ibnu ‘Umar yang  telah lewat). Perbuatan Ibnu ‘Umar tersebut menunjukkan bahwa pada hari-hari Tasyrik beliau melakukan takbir muqayyad dan takbir muthlaq.

Catatan: Perbuatan Ibnu ‘Umar tersebut dapat menjadi keterangan tentang maksud takbir pada hari-hari Tasyrik dalam hadits ini, karena Ibnu ‘Umar dikenal sebagai shahabat yang berpegang teguh dengan sunnah-sunnah Nabi [30]. Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa maksud hadits ini adalah disukainya memperbanyak takbir muqayyad dan takbir muthlaq pada hari-hari Tasyrik.

Kesimpulan: hadits ini dapat dijadikan dalil tentang dilakukannya takbir muqayyad pada hari-hari Tasyrik,

Ketiga, Hadits ‘Ali dan ‘Ammar tentang Takbir setelah Shalat Shubuh Hari ‘Arafah hingga setelah Shalat ‘Ashar Hari Tasyrik Terakhir

عَنْ عَلِيٍّ وَعَمَّارٍ : ( أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ  وَ سَلَّمَ كَانَ يَجْهَرُ فِي الْمَكْتُوْبَاتِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ ، وَ كَانَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ ، وَ كَانَ  يُكَبِّرُ يَوْمَ عَرَفَةَ صَلاَةَ الْغَدَاةِ ، وَ يَقْطَعُهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ آخِرَ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ ) . [31] رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ 

Artinya:

Dari ‘Ali dan ‘Ammar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaharkan bacaan Bismillahirrahmanirrahim (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang) pada shalat-shalat wajib dan beliau biasa melakukan qunut pada shalat Shubuh. Dan adalah beliau biasa bertakbir pada hari ‘Arafah (setelah) shalat Shubuh dan mengakhirinya (setelah) shalat ‘Ashar pada hari Tasyrik terakhir. HR Ad-Daraquthni. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Hakim. [32]

Berdasarkan hadits ini, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi memahami bahwa Rasulullah melakukan takbir muqayyad karena beliau melakukannya setelah shalat-shalat wajib, yaitu mulai setelah shalat Shubuh hari ‘Arafah dan mengakhirinya setelah shalat ‘Ashar hari Tasyrik terakhir. [33]

Catatan:

(1). Hadits ini berderajat dla’if. [34] pada sanad riwayat Ad-Daraquthni terdapat 2 rawi yang bermasalah yaitu: (a). Jabir (bin Yazid bin Al-Harits Al-Ju’fi); Ibnu Ma’in mengatakan bahwa dia pendusta. An-Nasa`i mengatakan bahwa dia (ditinggalkan haditsnya). [35] (b). Amr bin Syimr; Al-Jauzijani mengatakan bahwa dia penyimpang, pendusta. Al-Bukhari mengatakan bahwa dia (diingkari haditsnya). [36] Adapun pada riwayat Al-Hakim juga terdapat 2 rawi yang bermasalah yaitu: (a). Abdurrahman bin Sa’id Al-Mu`adzdzin; Adz-Dzahabi menyatakan bahwa ‘Abdurrahman termasuk rawi yang memiliki riwayat-riwayat munkar, sedangkan Ibnu Ma’in mendla’ifkannya. [37] (b). Sa’id bin ‘Utsman Al-Kharraz; Jika Sa’id bin ‘Utsman Al-Kharraz di sini adalah Abu ‘Utsman yaitu Sa’id bin ‘Isa Al-Kuraizi, maka Ibnu Hajar mengatakan bahwa dia menceritakan hadits-hadits munkar di Ashbahan [38] dan Ad-Daraquthni mengatakan bahwa dia dla’if [39]. Tetapi, jika Sa’id bin ‘Utsman Al-Kharraz di sini bukan Sa’id bin ‘Isa Al-Kuraizi, maka dia adalah rawi majhul, sebagaimana yang dinyatakan oleh Adz-Dzahabi [40].

(2). Namun, matan hadits ini sesuai dengan pemahaman dari surat Al-Baqarah ayat 203 (lihat analisis ayat ini yang telah lewat). Selain itu, takbir setelah shalat Shubuh hari ‘Arafah hingga setelah shalat ‘Ashar hari Tasyrik terakhir itu sesuai dengan apa yang dilakukan oleh orang banyak di berbagai negeri, sebagaimana yang dinyatakan oleh  An-Nawawi [41].

Kesimpulan: hadits ini menunjukkan dilakukannya takbir muqayyad setelah shalat Shubuh hari ‘Arafah hingga setelah shalat ‘Ashar hari Tasyrik terakhir,

Keempat, Atsar Ibnu Mas’ud tentang Takbir setelah Shalat Shubuh Hari ‘Arafah hingga setelah Shalat ‘Ashar Hari Nahr

عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ مِنْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى صَلاَةِ الْعَصْرِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ . [42] رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ .

Artinya:

Dari Ibnu Mas’ud, bahwasanya beliau biasa bertakbir (mulai) dari shalat Shubuh hari ‘Arafah hingga shalat ‘Ashar hari Nahr. Ath-Thabarani telah meriwayatkannya.

Atsar ini berderajat shahih. [43] Abu Hanifah memahami bahwa takbir yang dilakukan Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu ini sebagai dalil awal dan akhir takbir muqayyad. [44] Walaupun atsar ini berderajat shahih, namun atsar ini tidak dapat digunakan untuk membatasi takbir muqayyad diakhiri pada hari Nahr, karena terdapat hadits shahih riwayat Nubaisyah yang menunjukkan bahwa takbir muqayyad diakhiri pada hari Tasyrik terakhir (lihat analisis hadits ini yang telah lewat). Dengan demikian, atsar ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.(Muhammad Iqbal/ed)

 

Footnote:  

[1] Takbir Muqayyad disebut juga takbir Mu`aqqat (lihat Tafsirul Qur`anil ‘Adhim susunan Ibnu Katsir, jld. 1, hlm. 305).

[2] Yusuf Al-Qardlawi, Fatawa Mu’ashirah, jz. 1, hlm. 389, Fil Munasabati wal A’yad.

[3] Lihat Al-Mughni susunan Ibnu Qudamah, jz. 2, hlm. 254, b. Shalatul ‘Idain.

[4] Lihat lampiran, hlm. 36-37.

[5] Malik, Muwaththa`ul Imami Malik, hlm. 213, k. Al-Hajj.

[6] Lihat Al-Umm susunan Asy-Syafi’i, jld. 1, jz. 1, hlm. 275-276, k. Shalatul ‘Idain.

[7] Lihat Kitabul Fiqhi ‘alal Madzahibil Arba’ah susunan Al-Jaziri, jld. 1, jz. 1, hlm. 324, k. Ash-Shalah, pada catatan kaki, no. 1.

[8] Lihat Mafatihul Ghaib susunan Fakhruddin Ar-Razi, jld. 3, jz. 5, hlm. 164.

[9] Lihat Al-Fiqhul Islamiyyu wa Adillatuh susunan Wahbah Az-Zuhaili, jz. 2, hlm. 343.

[10] Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, jld. 3, jz. 5, hlm. 164.

[11] Lihat Al-Majmu’u Syarhul Muhadzdzab susunan An-Nawawi, jld. 6, hlm. 70-71, b. At-Takbir.

[12] Lihat Mausu’atul Ijma’i fi Fiqhil Islami susunan Sa’di Abu Jaib, jz. 1, hlm. 237.

[13] Lihat Ushulul Fiqhil Islami susunan Wahbah Az-Zuhaili, jz. 1, hlm. 645.

[14] Lihat Tafsirul Khazin, karya Al-Khazin,  jz. 1, hlm. 248.

[15] Lihat Majmu’u Fatawa wa Maqalatin Mutanawwi’ah susunan ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, jz. 13, hlm. 18-19.

[16] Lihat Syarhu Shahihil Bukhari susunan Al-‘Utsaimin, jz. 3, hlm. 632-633, k. Al-‘Idain.

[17] Lihat Kitabul Fiqhi ‘alal Madzahibil Arba’ah susunan Al-Jaziri, jld. 1, jz. 1, hlm. 324.

[18] Lihat Kitabul Fiqhi ‘alal Madzahibil Arba’ah susunan Al-Jaziri, jld. 1, jz. 1, hlm. 323.

[19] Lihat Al-Mughni susunan Ibnu Qudamah, jz. 2, hlm. 254, b. Shalatul ‘Idain.

[20] Lihat Asy-Syarhul Kabir susunan Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, jz. 2, hlm. 253.

[21] Lihat Ushulul Fiqhil Islami susunan Wahbah Az-Zuhaili, jz. 1, hlm. 532.

[22] Lihat Jami’ul Bayani fi Tafsiril Qur`an susunan Ath-Thabari, jld. 2, hlm. 172-174 dan 176.

[23] Lihat Al-Mausu’atul Fiqhiyyah susunan Wazaratul Auqafi wasy Syu`unil Islamiyyah, jz. 7, hlm. 321.

[24] Lihat Al-Mausu’atul Fiqhiyyah susunan Wazaratul Auqafi wasy Syu`unil Islamiyyah, jz. 45, hlm. 337.

[25] Lihat Al-Mausu’atul Fiqhiyyah susunan Wazaratul Auqafi wasy Syu`unil Islamiyyah, jz. 7, hlm. 320.

[26] Lihat Al-Majmu’u Syarhul Muhadzdzab susunan An-Nawawi, jld. 6, hlm. 71, b. At-Takbir.

[27] Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, jz. 15, hlm. 300, h. 20600.

[28] Lihat Shahihu Muslim susunan Muslim, jld. 2, hlm. 501, k. (13) Ash-Shiyam, h. 144 (1141).

[29] Lihat Shahihu Muslimin bi Syarhin Nawawi susunan An-Nawawi, jld. 4, jz. 8, hlm. 17.

[30] Lihat Tahdzibut Tahdzib susunan Ibnu Hajar, jld. 3, hlm. 580-581.

[31] Ad-Daraquthni, Sunanud Daraquthni, jld. 1, jz. 2, hlm. 49, k. Al-‘Idain, h. 26.

[32] Lihat Al-Mustadrak susunan Al-Hakim, jld.1, hlm. 299, k. Al-‘Idain, b. Takbiratut Tasyriq.

[33] Lihat Asy-Syarhul Kabir susunan Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, jz. 2, hlm. 253.

[34] Lihat lampiran, hlm. 34-36.

[35] Lihat Taqribut Tahdzib susunan Ibnu Hajar, jz. 1, hlm. 154, no. 880.

[36] Lihat Lisanul Mizan susunan Ibnu Hajar, jz. 4, hlm. 366-367, no. 1075.

[37] Lihat ‘Umdatul Qari susunan Al-‘Aini, jld. 3, jz. 5, hlm. 288, h. 131.

[38] Lihat Lisanul Mizan susunan Ibnu Hajar, jld. 3, hlm. 38, no. 140.

[39] Lihat Lisanul Mizan susunan Ibnu Hajar, jld. 3, hlm. 40, no. 151.

[40] Lihat ‘Umdatul Qari susunan Al-‘Aini, jld. 3, jz. 5, hlm. 288, h. 131.

[41] Lihat Shahihu Muslimin bi Syarhin Nawawi susunan An-Nawawi, jld. 3, hlm. 180.

[42] Ath-Thabarani, Al-Mu’jamul Kabir, jld. 4, jz. 4, hlm. 595, h. 9419.

[43] Rawi-rawi pada sanad atsar ini tsiqat dan bersambung.

[44] Lihat Asy-Syarhul Kabir susunan Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, jz. 2, hlm. 252.

Tinggalkan komentar