Konsep Adil dalam Poligami -Telaah Surat An-Nisa ayat 3 dan 129-

Konsep Adil dalam Poligami

-Telaah Surat An-Nisa ayat 3 dan 129-

Oleh: Zakariya Saiful Aziz

 

Sebagian orang berpendapat bahwa beristri lebih dari satu dilarang dalam Islam. Mereka berdalih dengan surat An-Nisa` (4) ayat 3 yang menyatakan bahwa seseorang yang khawatir tidak berlaku adil diperintahkan supaya menikahi seorang wanita saja dan surat An-Nisa` (4) ayat 129 yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat berlaku adil. Dengan memadukan dua ayat surat An-Nisa` (4) tersebut, mereka mengatakan bahwa seseorang yang beristri lebih dari satu itu mustahil dapat berbuat adil, sehingga mereka menyimpulkan bahwa beristri lebih dari satu adalah haram (Tafsir Al-Mannar, 5/449)

Jika dilihat sekilas dari dhahirnya, kedua ayat tersebut memberikan simpulan bahwa seseorang yang beristri lebih dari satu tidak akan dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya. Namun, benarkah demikian? Pertanyaannya adalah apa makna adil pada surat An-Nisa` (4) ayat 3 dan 129, apakah keduanya memiliki makna yang sama sehingga memberikan simpulan bahwa seseorang yang beristri lebih dari satu tidak akan dapat berbuat adil, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beristri lebih dari satu?

Bagaimanakah Syariat Islam menerangkan konsep adil dalam poligami? Berikut uraian ringkasnya:

Ayat-ayat yang berkaitan dengan Konsep Adil dalam Poligami

An-Nisa ayat 03

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوْا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوْا .

Artinya:

“Dan jika kalian takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Maka jika kalian takut tidak dapat berlaku adil, (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kalian  miliki. Yang demikian itu lebih dekat supaya kalian tidak berbuat aniaya.”

Adil dalam poligami pada Sesuatu yang Berada dalam Kemampuan Seseorang

Tafsir ini merupakan penafsiran Ibnu ‘Asyur (At-Tahrir wat Tanwir 2;4/226), Ahmad Mushthafa Al-Maraghi (Tafsir Al-Maraghi 2;4/180), Sayyid Quthb (Adh-Dhilal 4/246), dan Wahbah Az-Zuhaili (Al-Munir 2;4/235).

Al-Maraghi menjelaskan bahwa adil yang dimaksud pada ayat ini hanyalah pada sesuatu yang berada dalam kemampuan seseorang, seperti penyamarataan pada tempat tinggal, pakaian, dan semisalnya. Adapun perkara yang tidak dalam kemampuannya yaitu kecondongan hati kepada salah seorang istri dari istri-istrinya, maka manusia tidak dibebani untuk berbuat adil padanya. Beliau menyebutkan kecondongan cinta Nabi kepada Aisyah daripada istri-istri Nabi yang lain (Tafsir Al-Maraghi 4/180).

Catatan:

a). Seseorang hanya dituntut untuk menjalankan sesuatu sesuai kemampuannya, sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Baqarah ayat 286. Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah tidak membebani seseorang dengan sesuatu di luar kemampuannya. (Tafsir Al-Quranil Adzim 1/342).

b). kecondongan hati itu merupakan kekuasaan Allah, lihat surat Al-Anfal ayat 24. Maksud Allah menghalangi antara seseorang dengan hatinya pada ayat tersebut adalah Dia lebih menguasai hati orang tersebut daripada dirinya sendiri (Fathul Qadir 2/299). Keterangan ini sejalan dengan keterangan bahwa kecondongan hati atau perasaan hati itu adalah sesuatu di luar kemampuan manusia.

Adil dalam poligami pada Pembagian Giliran dan Nafkah

Penafsiran ini dinyatakan oleh Abu Thahir Al-Fairuz Abadi (Tanwirul Miqbas hlm. 52), Muqatil (Tafsir Muqatil 1/214), Ibnu Wahb (Al-Wadlih 1/141), As-Samarqandi (Bahrul Ulum 1/331), Ibnul ‘Arabi (Ahkamul Quran 1/409), Abu Hayyan Al-Andalusi (Al-Bahrul Muhith 3/506), Asy-Syarbini (Tafsir Asy-Syarbini 1/323), Asy-Syaukani  (Fathul Qadir 1/420), dan  Muhammad  Rasyid  Ridla (Tafsir Al-Mannar 4/365)

Ibnu  Arabi menjelaskan bahwa maksud adil  pada ayat ini adalah pada pembagian giliran di antara istri-istri dan penyamarataan hak-hak dalam pernikahan. Adil tersebut merupakan sebuah kewajiban. Nabi berbuat adil dan mampu  untuk melakukanya. Beliau telah melakukan perbuatan-perbuatan yang dhahir tersebut dan mendapati hati beliau yang mulia dan bersih itu condong kepada ‘Aisyah, beliau berdoa: ”Ya Allah, ini adalah kemampuanku pada perkara yang aku mampu. Maka janganlah Engkau mencelaku pada perkara yang Engkau mampu sedangkan aku tidak mampu”, yang dimaksud adalah hati (Ahkamul Quran 1/409).

Catatan: Ibnu Arabi mendasarkan penafsiran beliau tersebut dengan hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Sunanu Abi Dawud, jld. 1, juz 2, hlm. 242, h. 2134). Hadits tersebut menerangkan bahwasanya Rasulullah berbuat adil dalam membagi giliran di antara istri-istri beliau, dan hal itu merupakan perkara yang beliau mampu. hadits ‘Aisyah tersebut bersanad dla’if. Meskipun demikian, isi hadits tersebut shahih, karena bersesuaian dengan ayat (Al-Baqarah: 286, Al-Anfal: 240) dan hadits lain yang berderajat lebih kuat [1]. Dengan demikian, keterangan Ibnul ‘Arabi di atas dapat diterima.

Adil dalam poligami pada Kecintaan dan Persetubuhan

Penafsiran ini dinyatakan oleh Ibnu ‘Athiyyah (Al-Muharrar Al-Wajiz 2/7),    Ibnu Jarir Ath-Thabari (Jami’ul Bayan 3;4/160), Abul Hasan Al-Wahidi (Al-Wasith 2/8), As-Suyuthi (Ad-Durrul Mantsur 2/211), dan Al-Maturidi (Ta`wilatu Ahlis Sunnah 3/11).

Catatan: Ahli-ahli tafsir yang berpendapat  demikian menyandarkan pendapat mereka kepada riwayat Adl-Dlahak. Riwayat Adl-Dlahak tersebut disebutkan oleh Ibnu Jarir dalam kitab beliau, Jami’ul Bayan (3;4/160), dengan sanad yang dla’if. Karena dla’if, maka riwayat ini tidak dapat dijadikan hujah.

Surat An-Nisa` ayat 129

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْا أَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا .

Artinya:

“Dan kalian tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri meskipun kalian sangat ingin, maka janganlah kalian condong dengan segala kecondongan, sehingga kalian biarkan yang lain seperti sesuatu yang tergantung. Dan jika kalian berbuat baik dan menjaga diri, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Maha Penyayang.”

Adil dalam poligami yang tidak mungkin dilakukan yaitu Adil dalam Segala Hal

Penafsiran ini diungkapkan oleh Ibnu Katsir (Tafsir Al-Quranil Adhim 1/563), Az-Zamakhsyari (Al-Kasysyaf 1/568), Ibnu ‘Athiyyah (Al-Muharrarul Wajiz 2/120), An-Nasafi (Tafsir An-Nasafi 1/287), Al-Baidlawi (Tafsir Al-Baidlawi 1/241), ‘Abdurrahman Ats-Tsa’alabi (Al-Jawahirul Hisan 1/392), Burhanuddin Al-Baqa’i (Nadhmud Durar 2/329), Abus-Su’ud (Tafsir Abi Su’ud 2/203), Isma’il Haqqi (Ruhul Bayan 2/297), Asy-Syaukani (Fathul Qadir 1/521), Syihabuddin Al-Alusi (Ruhul Ma’ani 3/157), Al-Qasimi (Mahasinut Tafsir 2/511), Muhammad Rasyid Ridla (Tafsir Al-Mannar 5/448), Ibnu ‘Asyur (At-Tahrir wat Tanwir 2;5/218), Ahmad Mushthafa Al-Maraghi (Tafsir Al-Maraghi 2;5/173), Ibnu ‘Ajibah Al-Hasani (Al-Bahrul Madid 2/108), Sayyid Quthb (Fi Dhilalil Quran 5/245), dan As-Sa’di (Taisir Karimir Rahman hlm. 186).

As-Sa’di, Muhammad Rasyid Ridla, dan ‘Abdurrahman Ats-Tsa’alabi menjelaskan bahwa keadilan yang seseorang tidak dapat melakukannya adalah keadilan yang sempurna, karena keadilan tersebut mengharuskan adanya kesamaan dalam segala hal.

Catatan: Keterangan bahwa adil pada surat An-Nisa` (4) ayat 129 adalah adil dalam segala hal dapat diterima, karena hal tersebut mengharuskan keadilan dalam hal kecondongan hati, sedangkan kecondongan hati merupakan hal yang tidak berada dalam kemampuan manusia, dan manusia tidak dituntut dengan sesuatu yang di luar kemampuannya sebagaimana telah dijelaskan pada analisis surat An-Nisa’ (4) ayat 3.

Adil dalam poligami yang tidak mungkin dilakukan yaitu Adil dalam Hal Kecintaan

Penafsiran ini dikemukakan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari (Jami’ul Bayan 4;5/201), Muqatil (Tafsir Muqatil 1/261), Abdurrazzaq (Tafsir Abdurrozzaq 1/482), Ibnu Wahb (Al-Wadhih fi Tafsiril Quranil Karim 1/174), As-Samarqandi (Bahrul Ulum 1/393), Al-Mawardi (An-Nukat wal Uyun 1/533), Abul Hasan Al-Wahidi (Al-Wasith 2/125), Al-Baghawi (Ma’alimut Tanzil 2/173), Ibnul ‘Arabi (Ahkamul Quran 1/634), Jamaluddin Al-Jauzi (Zadul Masir 1;2/132), Al-Qurthubi (Al-Jami li Ahkamil Quran 5/407), Al-Khazin (Tafsir Al-Khazin 2/173), Abu Thahir Al-Fairuz Abadi (Tanwirul Miqbas hlm. 66), Al-Jalalain (hlm. 99), Asy-Syarbini (Tafsir Khathib Asy-Syarbini 1/390), Asy-Syanqithi (Adlwa`ul Bayan 1/335), Al-Maturidi (Ta`wilatu Ahlis Sunnah 3/379), Ath-Thabrasyi (Majma’ul Bayan 3/156), Ath-Thaba`thaba`i (Al-Mizan fi Tafsiril Qur`an 5/101), dan Wahbah Az-Zuhaili (At-Tafsirul Munir 3;5/297).

Asy-Syanqithi di dalam kitab tafsirnya menerangkan bahwa makna adil pada surat An-Nisa` (4) ayat 129 yang seseorang tidak akan dapat melakukannya adalah adil dalam hal kecintaan dan kecondongan hati (Adlwa’ul Bayan 1/335).

Catatan: Keterangan Asy-Syanqithi bahwa adil dalam hal kecintaan dan kecondongan hati merupakan perkara di luar kemampuan manusia itu dapat diterima, karena kecintaan dan kecondongan hati itu merupakan kekuasaan Allah, sebagaimana telah diuraikan pada analisis surat An-Nisa’ (4) ayat 3

Kesimpulan: Dari analisis penafsiran adil pada surat An-Nisa` (4) ayat 129 di atas, dapat disimpulkan bahwa makna adil pada ayat tersebut adalah adil dalam segala hal yang merupakan keadilan sempurna, termasuk di dalamnya hal kecintaan  dan kecondongan hati.

Hadits-Hadits yang Berkaitan dengan Konsep Adil dalam Poligami

Hadits Abu Hurairah tentang Seorang yang Berpoligami lalu Condong kepada Salah Seorang Istrinya

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا ، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ . [2] رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ .

Artinya:

Dari Abu Hurairah (radliyallahu ‘anhu), dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Barangsiapa yang memiliki dua orang istri lalu ia condong kepada salah seorang dari keduanya, dia pasti datang pada hari Kiamat sedang  tubuhnya berat sebelah.” HR Abu Dawud dengan sanad shahih.

Abuth Thayyib Abadi mengatakan bahwa hadits tersebut menjadi dalil wajibnya suami menyamakan pemberian kepada istri-istrinya, dan haramnya condong kepada sebagian istri.  Beliau menerangkan bahwa maksud condong dalam hadits tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan dalam ayatفَلاَ تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ  , yaitu dalam hal giliran dan nafkah, bukan dalam hal kecintaan, karena hal kecintaan tersebut merupakan perkara yang seseorang tidak mampu (Aunul Ma’bud 6/171)

Catatan: Keterangan Abuth Thayyib Abadi bahwa condong dalam hadits tersebut adalah melebihkan dalam hal pembagian giliran dan nafkah kepada sebagian istri itu dapat diterima, karena hal pembagian giliran dan nafkah merupakan perkara yang berada dalam kemampuan manusia sedangkan manusia dituntut untuk menjalankan sesuatu yang dia mampu.

Hadits ‘Aisyah tentang Keadilan Rasulullah di antara IstriIstri Beliau pada Perkara yang Beliau Mampu

عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْسِمُ فَيَعْدِلُ ، وَ يَقُولُ : اللّهُمَّ هَذَا قَسْمِي ، فِيْمَا أَمْلِكُ فَلاَ تَلُمْنِيْ ، فِيْمَا تَمْلِكُ ، وَلاَ أَمْلِكُ ، قَالَ أَبُوْ دَاوُدَ : يَعْنِي اْلقَلْبَ . [3]  رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ ضَعِيْفٍ .   

Artinya:

Dari ‘Aisyah, dia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi giliran dan berbuat adil, lalu berdo’a: “Ya Allah, inilah pembagianku dalam hal yang aku mampu, maka janganlah engkau mencelaku dalam hal yang Engkau mampu sedangkan aku tidak mampu”. Abu Dawud berkata: yaitu hati. HR Abu Dawud dengan sanad dla’if.

Abu Dawud menjelaskan bahwa maksud lafal فِيمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ  (hal yang Engkau mampu sedangkan aku tidak mampu) adalah hati, sedangkan At-Turmudzi menjelaskan maksud lafal tersebut adalah kecintaan dan kesukaan. Abuth Thayyib Abadi mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan bahwa kecintaan dan kecondongan hati merupakan perkara di luar kemampuan manusia, karena hal itu merupakan kekuasaan Allah (Aunul Ma’bud 6/172)

Catatan: Keterangan bahwa kecintaan dan kecondongan hati merupakan perkara yang di luar kemampuan manusia itu dapat diterima, karena hal tersebut sejalan dengan kalam Allah pada surat Al-Anfal (8) ayat 24

Derajat Hadis: Hadits ini bersanad dla’if, namun demikian matan hadits ini sesuai dengan ayat, yaitu surat An-Nisa` (4): 3 dan hadits  Abu Hurairah yang berderajat shahih.

Al-Hakim menshahihkan sanad hadits tersebut dan mengatakan ‘ala syarthi Muslim (Al-Mustadrak 2/187). Al-Albani mendla’ifkan hadits ini karena mursal dan mengatakan bahwa sanad hadits ini secara dhahir shahih, akan tetapi setelah diteliti lebih lanjut terdapat ‘illah padanya (Irwa`ul Ghalil 1/82). At-Turmudzi mengatakan bahwa hadits ini juga diriwayatkan oleh Hammad bin Zaid dan selainnya dari Ayyub dari Abu Qilabah secara mursal, dan menyatakan bahwa riwayat Hammad bin Zaid yang mursal lebih kuat daripada riwayat Hammad bin Salamah yang maushul (Sunan Turmudzi 3/437). An-Nasa`i juga menyatakan bahwa hadits ini mursal dari riwayat Hammad bin Zaid. (Sunan Nasa`i 4;7/64)

Catatan: Dalam ilmu Mushthalah hadits disebutkan bahwa di antara ‘illah yang mencemarkan keshahihan suatu hadits adalah adanya riwayat suatu hadits mursal yang lebih kuat daripada riwayat hadits tersebut yang maushul lantaran rawi yang membawakan sanad yang mursal lebih kuat atau lebih banyaknya rawi dalam sanad yang mursal tersebut (Qawa’idut Tahdits, hlm.131). Pada pembahasan ini,  hadits yang diriwayatkan secara mursal lebih kuat daripada yang diriwayatkan secara maushul karena perawi yang membawakan riwayat mursal yakni Hammad bin Zaid, lebih teguh dan lebih teliti daripada perawi yang membawakan riwayat maushul yakni Hammad bin Salamah, sehingga hadits Hammad bin Zaid lebih shahih (Tahdzibut Tahdzib 3/10).

Hadits ‘Aisyah tentang Keadilan Rasulullah di antara IstriIstri Beliau pada Perkara yang Beliau Mampu

عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيْهِ ، قَالَ : قَالَتْ عَائِشَةُ : يَا ابْنَ أُخْتِيْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْقَسْمِ ، مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا ، وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ إِلاَّ وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا جَمِيْعًا ، فَيَدْنُوْ مِنْ كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيْسٍ ، حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِيْ هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيْتَ عِنْدَهَا … . [4] رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ .

Artinya:

Dari Hisyam bin ‘Urwah, dari bapaknya (‘Urwah), dia berkata: ‘Aisyah (radliyallahu ‘anha) berkata: “Wahai putra saudariku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melebihkan sebagian kami atas sebagian yang lain dalam pembagian giliran bermalam beliau pada kami. Dan beliau itu jarang ada hari, kecuali berkeliling (mengunjungi) kami semua, maka beliau mendekati setiap istri tanpa menyetubuhi, hingga ketika sampai pada istri yang mempunyai giliran, maka beliau bermalam padanya. HR Abu Dawud dengan sanad hasan.

Derajat Hadis: Hadits ini berderajat hasan. sanad hadits ini bersambung dan rawi-rawinya adalah rawi tsiqat, kecuali ‘Abdurrahman bin Abiz Zinad.

Ibnu Hajar mengatakan bahwa Abdurrahman bin Abiz Zinad صَدُوْقٌ , تَغَيَّرَ حِفْظُهُ لَمَّا قَدِمَ بَغْدَادَ وَ كَانَ فَقِيْهًا (sangat benar, hafalannya berubah ketika tiba di Baghdad dan dia adalah orang yang paham) [Taqribut Tahdzib 1/569]. Perawi yang meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abiz Zinad adalah Ahmad bin Abdillah bin Yunus dan dia adalah orang Kufah (Tahdzibut Tahdzib 1/50), bukan orang Baghdad, sehingga dapat disimpulkan dia meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abiz Zinad sebelum hafalannya berubah. Berdasarkan  Ilmu Mushthalah Hadits, seorang rawi yang disifati dengan صَدُوْقٌ tergolong rawi hasan martabat pertama (Ilmu Mustholah Hadis, Qadir Hasan, hlm. 78). Jadi, Abdurrahman bin Abiz Zinad adalah rawi hasan

Catatan: hadits ini sesuai dengan pemahaman dari surat An-Nisa` (4) ayat 3 bahwa seseorang suami dituntut untuk berlaku adil dalam pembagian giliran di antara istri-istrinya.

Kesimpulan makna adil dalam poligami:

Makna adil pada surat An-Nisa` (4) ayat 3 yang wajib dilakukan oleh suami adalah adil pada perkara yang berada dalam kemampuan manusia, yaitu pembagian giliran dan nafkah.

Makna adil pada surat An-Nisa` (4) ayat 129 yang tidak dituntut untuk dilakukan oleh suami adalah adil dalam kecintaan dan kecondongan hati.

Editor: Muhammad Iqbal

 

FOOTNOTE:

[1] Hadits Abu Hurairah yang berderajat shahih tentang seorang yang berpoligami lalu condong kepada salah seorang istrinya dan hadits ‘Aisyah yang berderajat hasan tentang keadilan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada pembagian giliran.

[2] Abu Dawud, Sunanu Abi Dawud, hlm. 340, k. An-Nikah, b. Fil Qasmi bainan Nisa’, h. 2133.

[3] Abu Dawud, Sunanu Abi Dawud, hlm. 340, k. An-Nikah, b. Fil Qasmi bainan Nisa’, h. 2134.

[4] Abu Dawud, Sunanu Abi Dawud, hlm. 340, k. An-Nikah, b. Fil Qasmi bainan Nisa’, h. 2135.

Tinggalkan komentar