Menjaga Independensi Pendidikan

Dan diantara orang-oang yang Kami ciptakan  ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan (QS. Al-A’raf: 181)

 

Firman Allah di atas menjelaskan tentang kewajiban seorang yang alim dalam mengelola dan mengkontruksi etika keilmuan. Orang Alim ialah mereka yang tidak hanya bergelut dengan keilmuanya, tetapi mereka mempunyai tanggung jawab untuk mengarahkan umatnya ke jalan yang benar, dan dengan cara itu pula orang alim merencanakan bangunan keadilan yang akan ia bangun di masa depan. Tugas itu tidak mudah, karena konstruksi kebenaran dan keadilan pasti tidak lepas dari intervensi kekuasaan, baik dalam lever teoritik ataupun praktik.

Ilmu umumnya disemai di lembaga-lembaga pendidikan. Intervensi teoritik biasanya terlihat dari kurikulum yang distandarisasi, buku-buku yang diwajibkan, kegiatan-kegiatan murid, sampai dengan pelaksanaan ujian yang dilangsungkan secara serentak, dengan bahan, model, dan alat penilaian yang nasional. Padahal suatu pendidikan dan pengajaran berbeda antara satu daerah dengan lainya, dan lemabaga pendidikan seringkali mempunyai kepentingan tersendiri terhadap murid-muridnya. Metodologi standarisasi pendidikan di tengah ketimpangan-ketimpangan sosial akhirnya melahirkan gugatan-gugatan.

Situasi itulah yang menjadi pemikiran dari Yayasan Perguruan Al-Islam yang berpusat di Surakarta Solo. Sebuah pesantren yang mengelola pendidkan sejak Madrasah Ibtida`iyyah, Tsanawiyyah, Aliyah sampai dengan perguruan tinggi Ma’had Ali. Dalam semua levelnya, pesantren Al-Islam tidak menggunakan standarisasi kurikulum yang diatur oleh pemerintah. Pesantren Al-Islam merumuskan kurikulum dan membuat pembobotan sendiri terhadap bahan ajar yang diterapkan di lembaga pendidikan. Kurikulum dan Pembobotan tersebut menyandarkan terhadap falsafah dan orientasi pesantren : mengajarkan ilmu Islam dan ingin menjadikan anak didik menjadi orang yang baik.

Ustadz Mudzakkir, pengasuh dan pendiri Al-Islam mengutarakan, pendidikan Al-Islam pernah mengikuti standar pemerintah dalam mengelola pendidikan. Anak didiknya mengikuti ujian nasional dan lulus sangat baik. Ia berbangga. Tapi, disitulah kegelisahanya memuncak, ketika melihat fakta tentang begitu banyak kecurangan, kebohongan dan dampak psikologis anak-anak di masa kini dan masa depan. Hatinya gelisah : pendidikan semestinya tidak mengajarkan kecurangan dan kebohongan. Hatinya makin gelisah, ketika pendidikan hanya berorientasi pada selembar kertas ijazah. Pendidikan seperti itu menurut Ustadz Mudzakkir tidak bisa diharapkan di masa depan. Kertas ijazah itu hanya akan mengantarkan menjadi buruh. Jiwa mereka, apalagi telah dituntut dengan model kecurangan, tidak akan mengantarkan pada pencerahan pribadi dan sosal di masa depan. Pendidikan tanpa sadar telah terhegemoni dalam kebodohan dan tanpa arah.

Kegelisahan Ustadz Mudzakkir sangat rasional. Ia tidak rela sedikitpun anak didiknya terlibat dalam riuh model pendidikan yang sekedar ijazah, dan dibangun dalam struktur yang tidak jujur. Ustadz Mudazakkir berpaling, dan sikapnya diamini oleh guru lain. Ia merumuskan sendiri kurikulum, materi materi, pentahapan pembelajaran dan model penilaian yang berbeda. Menurutnya, pendidikan harus dikelola sesuai dengan standar psikologis anak didik. Anak-anak yang berumur 1-7 tahun tidak boleh sekolah, kecuali bermain. Kalaupun ada sekolah untuk anak, model sekolah mestinya tidak mengajari, tapi bermain dan bermain. Jika hak anak untuk bermain dihilangkan, di masa depan akan ada masa yang hilang dan itu akan mempengaruhi kondisi anak. Karena itu, pesantren Al-Islam tidak menerima murid kecuali sudah tingkat Tsanawiyyah dan tingkat umurnya sudah cukup.

Metode pendidikan di pesantren Al-Islam menarik. Pendidikan untuk anak didik Tsanawiyyah 80% guru mengajar, tingkat Aliyah 50% guru mengajar, dan di kelas 3 Aliyah, murid murni otodikdak. Murid-murid dibiarkan mencari dan membaca kitab dan buku yang ada di perpustakaan pondok. Kelas 3 Aliyah, murid-murid harus menyetorkan makalah yang standarnya seperti skripsi di perguruan tinggi. Seluruh buku dan kitab yang dirujuk harus ter-tashih, atau terujuk dengan benar. Anak yang telah selesai mengerjakan tugas akhirnya itu, mereka dihadiahi kitab dan uang sebesar 3 juta rupiah. Kitab adalah rujukan pengetahuan, dan uang bekal usaha. Menurut Ustadz Mudzakkir, lembaga pendidikan Al-islam memiliki metode “anak dibekali dan dibiarkan mencari”. Satu metode fundamen dalam psikologi pendidikan.

Model pendidikan yang unik di pesantren Al-Islam berpengaruh tidak surutnya pendaftar yang akan masuk sekolah dan pondok. Setiap tahun jumlah murid yang daftar tidak pernah surut, bahkan bertambah. Antusiasme masyarakat cukup tinggi untuk mengikutkan anak didiknya di lembaga pendidikan Al-Islam. Karena itu, yayasan perguruan Al-Islam saat ini mengelola pendidikan di empat lokasi besar : Surakarta Solo, Karanganyar, Sragen dan Sidoarjo. Lembaga pendidikan di empat lokasi tersebut selalu ramai dengan murid, walaupun Al-Islam tidak memberikan Ijazah kepada anak didiknya.

Di tengah keberhasilanya mengelola pendidikan yang independen, Yayasan perguruan Al-Islam tidak sepi dari fitnah dan tuduhan. Mulai tuduhan terhadap Ustadz Mudzakkir sebagai orang Syi’ah, tidak sepakat Pancasila sebagai ideologi, anti negara, dan beberapa tuduhan lainya. Tuduhan-tuduhan itu mewarnai terhadap perjalanan pengelolaan Ma’had Al-Islam. Beberapa santri dan Ustadz yang berada di Al-Islam sedikit banyak terkena dampaknya: Stigmatisasi dan pengucilan secara sosial. Namun, Ustadz Mudzakkir ialah sosok yang kuat. Pengetahuan agamanya tidak diragukan lagi. Ia selalu mengajak penuduhnya untuk berdiaolg dengan ilmu. Kekuatan itulah yang membuatnya bertahan di tengah gempuran tuduhan, dan berhasil membesarkan lembaganya: Al-Islam.

 

Ditulis ulang dari:

Isra’ (Jalan Perubahan) edisi 21 yang diterbitkan pada bulan maret 2012 oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (PUSHAM-UII).

 

Leave a Reply