Mustahik Zakat: Fi Sabilillah (At-Taubah 60), siapakah mereka?

Siapakah mutahik zakat: fi sabilillah itu? apakah mereka orang yang berperang di jalan Alah, orang yang berhaji atau pelaku semua kebaikan? Berikut uraiannya:

Mustahik Zakat: Fi Sabilillah (At-Taubah 60), siapakah mereka?

Oleh: Ummi Nur Hasanah

Ayat tentang Mustahik Zakat: Fi Sabilillah

اِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَ الْمَسَاكِيْنِ وَ الْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَ الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَ فِي الرِّقَابِ وَ الْغَارِمِيْنَ وَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَ ابْنِ السَّبِيْلِ فَرِيْضَةً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ .

Artinya:

Sesungguhnya shadaqah-shadaqah itu hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat, orang-orang yang dilembutkan hati mereka (para mualaf), (memerdekakan) budak-budak, orang-orang yang terbebani utang, pada jalan Allah, dan orang-orang yang sedang safar. (Itu) sebagai ketetapan dari Allah; dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.

Ulama sepakat bahwa lafal الصَّدَقَاتُ pada ayat tersebut maknanya adalah zakat (Tafsir Khozin 2/36), sehingga maksud ayat tersebut adalah harta zakat itu hanya diberikan kepada delapan golongan, yaitu orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat, para mualaf, budak-budak, orang-orang yang terbebani utang, orang-orang yang berada di jalan Allah, dan orang-orang yang sedang safar (tafsir ath-Thobari 6/109).

Pendapat Ulama Tentang Mustahik Zakat: Fi Sabilillah

Mustahik  Zakat: Fi Sabilillah adalah Orang yang Berperang di Jalan Allah

Ulama yang berpendapat bahwa makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60 itu orang yang berperang di jalan Allah adalah Ibnul Jauzi (zadul masir, 2;3/346), Abu Yusuf (Badai`ush Shona`i’ 2/472), Ibnu Jarir (Jami’ul Bayan 6;10/114), Ibnu Hazm (Al-Muhalla 4/275), Al-Qurthubi (Jami’ul Ahkamil Quran 4;8/111), An-Nawawi (Al-Majmu’ 7/257), Al-Khazin (Tafsirul Khozin 2/236), Al-’Utsaimin (Majmu’ Fatawa 18/336), Al-Bahuti (Kasysyaful Qina’ 3/933, dan Yusuf  Al-Qardlawi (Hukum Zakat hlm 631).

Jumhur ulama berpendapat bahwa makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60 adalah orang yang berperang di jalan Allah, dengan alasan lafal السَّبِيْلِ secara mutlak dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah berperang (At-Tafsirul Munir 5;10/273). Abu Yusuf  juga berpendapat demikian, hanya saja beliau mensyaratkan bahwa orang yang berperang di jalan Allah dan berhak mendapatkan harta zakat itu adalah orang fakir. (Bada`i’ush Shana`i’ 2/427).

Ibnu Jarir,  Ibnu Hazm, Al-Qurthubi, dan An-Nawawi berpendapat bahwa makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60 adalah orang yang berperang di jalan Allah, dengan hujah hadits Abu Sa’id Al-Khudri tentang orang kaya yang berperang di jalan Allah halal menerima harta shadaqah.

Catatan: dalam ilmu Ushul Fikih diterangkan bahwa nash-nash syar’i itu dipahami sesuai maknanya yang lazim pada masa turunnya nash-nash tersebut (Ushul Fiqh Islami 2/848). Selain itu, hadits Abu Sa’id Al-Khudri yang dijadikan sebagai dalil tersebut berderajat shahih dan menunjukkan bahwa makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60 adalah orang yang berperang di jalan Allah.

Adapun tentang syarat orang yang berperang di jalan Allah dan berhak mendapatkan harta zakat adalah orang fakir itu tidak dapat diterima, karena hadits Abu Sa’id Al-Khudri yang berderajat shahih menjelaskan bahwa orang yang berperang di jalan Allah berhak mendapatkan harta zakat meskipun dia kaya.

Mustahik Zakat: Fi Sabilillah adalah Orang yang Berhaji dan Berumroh

Ulama yang berpendapat bahwa makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60 itu orang yang berhaji dan berumrah adalah Ibnu ‘Umar (Al-Jami’ li ahkamil Quran 4;8/111), Ibnu ‘Abbas, Ahmad bin Hanbal, Ishaq (Al-Muharrarul Wajiz 3/50), Al-Bahuti (Kasysyaful Qina’ 3/933), Az-Zamakhsyari (Al-Kasysyaf 2/197), An-Nasafi (Tafsirun Nasafi 1/503), Abus Su’ud (Tafsir Abu Su’ud 3/162), Asy-Syaukani (Nailul Authar 3;4/146), dan Al-Albani (Al-Ikhtiyaratul Fiqhiyyah hlm. 210).

Ahmad bin Hanbal  berpendapat  bahwa makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60 adalah orang yang berhaji, dengan            hujah hadits Ummu Ma’qil tentang berhaji dengan unta sabilillah.. Al-Bahuti dan Al-Albani juga berpendapat demikian dengan hujah hadits Ibnu ‘Abbas tentang berhaji dengan unta sabilillah.

Al-Qurthubi menyebutkan bahwa pendapat ini juga didasarkan atas hadits Abu Las tentang Nabi membawa para sahabat dengan unta shadaqah untuk berhaji dan atsar Ibnu ‘Abbas tentang zakat mal digunakan untuk berhaji.

Az-Zamakhsyari, An-Nasafi, dan Abus Su’ud berpendapat bahwa makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60 adalah orang berhaji yang kehabisan bekal.

Catatan:

a). Hadits Ummu Ma’qil dan hadits Ibnu ‘Abbas yang digunakan sebagai hujah untuk pendapat ini tidak dapat diterima, karena kedua hadits tersebut berkaitan dengan shadaqah tathawwu’ berupa harta wasiat dan harta wakaf, tidak berkaitan dengan harta zakat untuk sabilillah.

b). Adapun hadits Abu Las yang digunakan sebagai hujah untuk pendapat ini juga tidak dapat diterima, karena kejadian pada hadits ini mengandung kemungkinan bahwa orang yang berhaji diberi harta zakat bukan karena hajinya. Adanya kemungkinan tersebut menyebabkan hadits ini tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk pendapat ini. Hal ini berdasarkan kaidah Ushul Fikih bahwa suatu kejadian tidak dapat digunakan sebagai dalil apabila mengandung adanya kemungkinan makna lain.

c). atsar Ibnu ‘Abbas yang digunakan sebagai hujah tersebut berderajat dla’if dan dari segi maknanya tidak dapat dijadikan sebagai dalil karena kejadian pada atsar tersebut mengandung adanya kemungkinan makna lain.

d). Adapun tentang pendapat Az-Zamakhsyari, An-Nasafi, dan Abus Su’ud di atas. Berdasarkan ilmu Ushul Fikih nash syar’i itu dipahami sesuai maknanya yang lazim pada masa turunnya nash-nash tersebut, sehingga makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60 adalah orang yang berperang di jalan Allah. Selain itu, orang berhaji yang kehabisan bekal dapat dikategorikan ibnu sabil (Tasirul Khozin 2/236).

Mustahik Zakat: Fi Sabilillah adalah Semua Perkara Baik

Ulama yang berpendapat bahwa makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60 itu semua perkara yang baik adalah Fakhrur Razi Al-Qafal (Mafatihul Ghoib 8;16/90), Al-Maraghi (Tafsirul Maraghi 4; 10/ 142 dan 145), Al-Kasani (Bada`i’ush Shana`i’ 2/ 471), Al-Imamiyyah (Al-Fighu ‘alal Madzahibil Khamsah hlm 155), Al-Maturidi (Ta`wilatu Ahlis Sunnah 5/410), Ath-Thaba`thaba`i (Al-Mizanu fi Tafsiril Qur`an 9/311), dan Ulama Lajnatud Da`imah (Fatawal Lajnatud Da`imah 12/40).

Al-Qafal dan Al-Fakhrur Razi menerangkan bahwa makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60 adalah semua perkara yang baik. Mereka beralasan bahwa dhahir lafal fi sabilillah itu bermakna umum, sehingga maknanya tidak terbatas pada orang-orang yang berperang di jalan Allah.

Catatan: walaupun dhahir lafal sabilillah itu bermakna umum, namun berdasarkan isyaratunnash atas hadits Abu Sa’id Al-Khudri menunjukkan bahwa makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60 hanya terbatas pada orang yang berperang di jalan Allah.

Adapun ulama Lajnatud Da`imah beralasan a). lafal sabilillah itu maknanya umum dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya. b). banyak riwayat yang menunjukkan keumuman makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60, yaitu riwayat tentang haji termasuk sabilillah seperti hadits Ummu Ma’qil, Ibnu ‘Abbas, Abu Las, atsar Ibnu ‘Abbas, dan riwayat tentang pembayaran diyat dengan unta zakat, yaitu hadits Busyair bin Yasar. c). haji termasuk sabilillah dalam hadits Ummu Ma’qil itu menunjukkan keumuman makna lafal fi sabilillah pada ayat 60 ini.

Catatan:

i). walaupun dhahir lafal sabilillah itu bermakna umum, namun berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri menunjukkan bahwa makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60 adalah orang yang berperang di jalan Allah. Selain itu, jika lafal sabilillah ini dimaknai umum, maka pengkhususan delapan mustahik zakat pada ayat tersebut tidak berfaedah, karena menyantuni orang fakir, miskin, dan lima golongan lainnya termasuk kategori fi sabilillah (An-Nidhamul Mali hlm. 102).

ii). Adapun riwayat-riwayat tentang haji itu termasuk fi sabilillah juga tidak menunjukkan keumuman makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60, karena hadits Ummu Ma’qil dan Ibnu Abbas itu tidak berkaitan dengan harta zakat. Hadits Abu Las dan atsar Ibnu Abbas mengandung kemungkinan makna lain sehingga tidak dapat digunakan sebagai dalil bahwa haji termasuk makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60. Begitu juga hadits Busyair bin Yasar tentang pembayaran diyat dengan unta zakat itu tidak berkaitan dengan harta zakat sehingga hadits ini tidak dapat digunakan untuk menerangkan makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60.

Kesimpulan Siapakah Mustahik Zakat: Fi Sabilillah

Makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60 adalah orang yang berperang di jalan Allah.

Dalil-Dalil yang Berkaitan tentang Mustahik Zakat: Fi Sabilillah dan Analisa Ringkasnya

Hadits Abu Sa‘id Al-Khudri tentang Orang Kaya yang Berperang di Jalan Allah Halal Menerima Harta Shadaqah

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ : لِعَامِلٍ عَلَيْهَا ، أَوْ لِغَازٍ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ ، أَوْ غَنِيٍّ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ ، أَوْ فَقِيْرٍ تُصُدِّقَ عَلَيْهِ فَأَهْدَاهَا لِغَنِيٍّ ، أَوْ غَارِمٍ . رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهٍ [1]

Artinya:

Dari Abu Sa‘id Al-Khudri, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah halal harta shadaqah untuk orang kaya, kecuali untuk lima orang: amil zakat, orang yang berperang di jalan Allah, orang kaya yang membelinya (shadaqah) dengan hartanya, orang miskin yang diberi shadaqah kemudian dia menghadiahkannya kepada orang kaya, atau orang yang terbebani utang”. Ibnu Majah telah meriwayatkannya.

Derajat:

Hadits ini berderajat shahih, sehingga dapat dijadikan hujah (Taisir hlm. 31).

Keteragan Hadis

Al-Bassam menerangkan bahwa orang yang berperang di jalan Allah berhak mendapatkan harta zakat karena dia termasuk mustahik zakat yang delapan (Taudlihul Ahkam 2/165).

Al-Khaththabi menerangkan bahwa hadits ini menjadi penjelas makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60, yaitu orang yang berperang di jalan Allah (Ma’alimus Sunan 1;2/54). At-Tarmasi menerangkan bahwa lafal  لِغَازٍ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ (untuk orang yang berperang di jalan Allah) pada hadits ini menunjukkan bahwa makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60 adalah orang yang berperang di jalan Allah (Hasyiyah Tarmasi 5/415).

Catatan: Makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60 adalah orang yang berperang di jalan Allah merupakan pengertian yang difaham dari hadits ini berdasarkan isyaratunnash [2].

Hadits Ummu Ma’qil tentang Berhaji dengan Menaiki Unta Sabilillah

عَنْ جَدَّتِهِ أُمِّ مَعْقِلٍ قَالَتْ : لمَاََّ حَجَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَّةَ اْلوَدَاعِ وَ كَانَ لَنَا جَمَلٌ فَجَعَلَهُ أَبُوْ مَعْقِلٍ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ … فَأَوْصَى بِهِ أَبُوْ مَعْقِلٍ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ قَالَ فَهَلاَّ خَرَجْتِ عَلَيْهِ فَاِنَّ الْحَجَّ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ فَأَمَّا إِذْ فَاتَتْكِ هَذِهِ الْحَجَّةُ مَعَنَا فَاعْتَمِرِيْ فِيْ رَمَضَانَ فَإِنَّهَا كَحَجَّةٍ . رَوَاهُ اَبُوْ دَاوُدَ [3]

Artinya:

Dari Isa bin Ma’qil bin Ummu Ma’qil Al-Asadi, telah mengabariku Yusuf bin ‘Abdullah bin Salam, dari neneknya (yaitu) Ummu Ma’qil, dia berkata: Tatkala Rasulullah sallallahu ’alaihi wa sallam telah menunaikan haji Wada’ dan kami mempunyai seekor unta, maka Abu Ma’qil menjadikannya untuk sabilillah, …. maka Abu Ma’qil mewasiatkannya untuk sabilillah. Beliau bersabda, ”Maka mengapa kamu tidak keluar atasnya, sesungguhnya haji itu termasuk sabilillah. maka adapun apabila haji bersama kami ini telah meninggalkanmu maka berumrahlah pada bulan Ramadlan karena sesungguhnya dia (umrah pada bulan Ramadlan) itu seperti haji”. Abu Dawud telah meriwayatkannya.

Derajat Hadis

Hadits ini berderajat dlaif. Di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Muhammad bin Ishaq. Ibnu Hajar mengatakan bahwa dia itu rawi shaduq dan melakukan tadlis. Dalam ilmu Musthalahul Hadits diterangkan bahwa periwayatan seorang rawi mudallis dapat diterima apabila dia meriwayatkan hadits dengan menggunakan lafal سَمِعْتُ atau حَدَّثَنِيْ, yang menunjukkan adanya penerimaan hadits (Mu’jamul Mudallisin, hlm. 36). Dalam hadits ini, dia meriwayatkannya tanpa menggunakan salah satu lafal tersebut. [4] Oleh karena itu, periwayatannya dalam hadits ini tidak dapat diterima.

Hadits ini memiliki syahid yang berderajat hasan, yaitu hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadis di bawah ini). Dengan demikian, hadits ini terangkat menjadi hadits hasan lighairihi, sehingga hadits ini dapat dijadikan hujah (Taisir, hlm. 43).

Keterangan: Maksud hadits yang berkaitan dengan masalah ini adalah orang yang berhaji boleh menaiki unta yang diwasiatkan untuk sabilillah, karena haji termasuk sabilillah. Adapun pada hadits Ibnu ‘Abbas diterangkan bahwa orang yang berhaji boleh menaiki unta yang diwakafkan untuk sabilillah, karena haji termasuk sabilillah. Kedua hadits ini tidak bertentangan sebab unta yang diwasiatkan dan unta yang diwakafkan untuk sabilillah itu keduanya merupakan shadaqah tathawwu’.  (Al-Mannar 10/503). Dengan demikian, maksud dua hadits ini adalah unta shadaqah tathawwu’ yang diberikan untuk sabilillah itu boleh dinaiki oleh orang yang berhaji, karena haji termasuk sabilillah

Catatan: lafal الْحَجُّ فِيْ سَبِيْلِ الله  tidak dapat digunakan untuk memaknai fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60, sebab hadits ini berkenaan dengan harta wasiat sedang fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60 berkenaan dengan harta zakat.

Kesimpulan:

a). hadits ini tidak menerangkan makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60.

b). hadits ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil bahwa makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60 adalah orang yang berhaji

Hadits Ibnu ‘Abbas tentang Berhaji dengan Menaiki Unta Sabilillah

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : أَرَادَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الْحَجَّ فَقَالَتِ امْرَأَةٌ لِزَوْجِهَا أَحِجَّنِيْ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَلَى جَمَلِكَ ، فَقَالَ : مَا عِنْدِيْ مَا أُحِجُّكِ عَلَيْهِ ، قَالَتْ : أَحِجَّنِيْ عَلَى جَمَلِكَ فُلاَنٍ ، قَالَ : ذَاكَ حَبِيْسٌ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ ، … فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : أَقْرِئْهَا السَّلاَمَ وَرَحْمَةَ اللهِ وَبَرَكَاتَهُ ، وَ أَخْبِرْهَا أَنَّهَا تَعْدِلُ حَجَّةً مَعِيْ -يَعْنِيْ عُمْرَةً فِيْ رَمَضَانَ– . رَوَاهُ اَبُوْ دَاوُدَ [5]

Artinya:

Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam hendak berhaji, maka seorang perempuan berkata kepada suaminya: Hajikanlah aku bersama Rasulullah shallallhu ’alaihi wa sallam dengan untamu. Maka dia (suami) berkata: Tidaklah padaku ada   kendaraan untuk menghajikanmu. Dia (perempuan) berkata: Hajikanlah aku dengan untamu yang ada pada si fulan. Dia (suami) berkata: Itu wakaf pada jalan Allah yang Maha Gagah lagi Maha Agung. … Maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: ”Sampaikanlah salam, rahmat, serta barakah Allah kepadanya (istrimu), dan kabarilah kepadanya bahwasanya dia itu sebanding dengan haji bersamaku, yaitu umrah di bulan Ramadhan. HR Abu Dawud.

Derajat Hadis

Hadits ini berderajat hasan, sehingga dapat dijadikan hujah (Taisir, hlm. 39). Di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama ‘Amir Al-Ahwal. Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa dia adalah rawi yang laisa bil qawi. Ibnu Ma’in mengatakan bahwa dia laisa bihi ba`sun. Ibnu Adi mengatakan laa ara bi riwaayatihi ba`sun. (tahdzibut tahdzib 3/349).

Catatan: Sebutan laisa bil qawi menunjukkan bahwa rawi tersebut tercela, namun celaannya itu tidak menurunkan derajat ke’adilannya, dan dapat dijadikan hujjah. (Asy-Syarhu wat Ta’lil, hlm. 107) Adapun sebutan shoduq yukhthi` itu tergolong dalam martabat rawi hasan kedua. (ilmu mushtholah hadis, qadir hasan, hlm. 79).

Keterangan Hadis

Sebagaimana telah diterangkan pada analisis hadits Ummu Ma’qil di muka, haji itu termasuk sabilillah namun hadits ini tidak dapat digunakan untuk memaknai fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60, sebab hadits ini berkaitan dengan harta wakaf, sedang fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60 berkaitan dengan harta zakat.

Hadits Abu Las tentang Nabi Membawa Para Sahabat dengan Unta Shadaqah untuk Berhaji

عَنْ أَبِيْ لاَسٍ حَمَلَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَلَى إِبِلِ الصَّدَقَةِ لِلْحَجِّ .ذَكَرَهُ اْلبُخَارِيْ تَعْلِيْقًا [6]

Artinya:

Dari Abu Las (dia berkata), Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam membawa kami dengan unta shadaqah untuk berhaji. Al-Bukhari telah menyebutkannya secara mu’allaq.

Derajat Hadis

Hadits ini berderajat hasan. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara mu’allaq. Beliau meriwayatkan hadits ini dengan sighah tamridl, yaitu dengan lafal يُذْكَرُ  [7]. Hadits mu’allaq dalam kitab Shahih Bukhari apabila disebutkan dengan sighah tamridl, maka derajat hadits tersebut bisa shahih, hasan, atau dla’if (Taisir hlm. 58). Dalam kitab Musnadul Imami Ahmadabni Hanbal, hadits ini diriwayatkan dengan sanad maushul (bersambung) dari dua jalan periwayatan. [8]

Catatan: di dalam riwayat Ahmad ini terdapat rawi yang bernama Muhammad bin Ishaq. Analisa tentang rawi ini sudah lewat pada hadis Ummu Ma’qil yang berkesimpulan bahwa hadis tersebut berderajat Hasan.

Keterangan:

Ibnu Hajar menerangkan bahwa kejadian ini mengandung kemungkinan bahwa orang-orang yang berhaji tersebut adalah orang-orang fakir dan mereka hanya dipinjami unta-unta zakat tersebut sebagai tunggangan untuk berhaji (Fath 4/93).

Al-Mawardi juga menerangkan bahwa jika orang-orang yang berhaji itu diberi harta zakat, ada kemungkinan harta zakat tersebut diambil dari saham orang-orang fakir atau dari saham Ibnu sabil. (Al-Hawi 8/512)

Catatan: hadits ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil bahwa makna fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60 adalah orang yang berhaji, karena hadits ini mengandung kemungkinan lain yang dapat membatalkan penggunaan hadits ini sebagai dalil. Di dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan bahwa Hikayat tentang suatu keadaan apabila terkandung padanya sebuah kemungkinan, maka penggunaannya sebagai dalil menjadi batal (burnu: Mausu’atul Qawa’idil Fiqhiyyah 5/157).

Hadits Busyair bin Yasar tentang Rasulullah Membayar Diyat dengan Unta Shadaqah

عَنْ بُشَيْرِ بْنِ يَسَارٍ زَعَمَ أَنَّ رَجُلاً مِّنَ اْلأََنْصَارِ يُقَالُ لَهُ سَهْلُ بْنُ أَبِيْ حَثْمَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ نَفَرًا مِّنْ قَوْمِهِ انْطَلَقُوْا إِلَى خَيْبَرَ ,,, قَالَ فَيَحْلِفُوْنَ قَالُوْا لاَ نَرْضَى بِأَيْمَانِ الْيَهُوْدِ فَكَرِهَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ يُبْطِلَ دَمَهُ فَوَدَاهُ مِائَةً مِّنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ . رَوَاهُ اْلبُخَارِيُّ [9] وَ اللَّفْظُ لَهُ وَ مُسْلِمٌ [10]

Artinya:

Dari Busyair bin Yasar, dia menyangka: Bahwasanya seorang laki-laki dari Anshar yang dikatakan untuknya Sahl bin Abu Hatsmah telah mengabarinya bahwa ada sekelompok dari kaumnya pergi ke Khaibar, … Beliau bersabda, “Maka mereka bersumpah”. Mereka berkata: Kami tidak rela dengan sumpah-sumpah orang Yahudi. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benci bahwasanya beliau menyia-nyiakan darahnya (muslim yang terbunuh) lalu beliau membayar diyatnya dengan seratus unta shadaqah. HR Al-Bukhari dan Muslim.

Maksud unta shadaqah pada hadits ini adalah unta-unta zakat (Al-Kaukabul Wahhaj 18/314). Jumhur ulama menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah Rasulullah membayar diyat dengan unta-unta zakat yang telah beliau beli dari mustahiknya. (Syarah Nawawi 6;11/148).

Catatan: harta zakat itu bukan untuk pembayaran diyat, akan tetapi untuk delapan golongan sebagaimana diterangkan pada surat At-Taubah ayat 60. Selain itu, hadits ini telah diriwayatkan dari jalan lain dengan lafal yang menunjukkan bahwa beliau membayar diyat tersebut dengan harta beliau. Oleh karena itu, riwayat ini menjadi penjelas maksud hadits ini sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Baththal. (Syarah Ibn Bathal 8/443).

Kesimpulan: hadits ini tidak dapat digunakan untuk memaknai fi sabilillah pada surat At-Taubah ayat 60, karena unta zakat yang digunakan untuk membayar diyat pada hadits ini bukan merupakan harta zakat sehingga hadits ini tidak berkaitan dengan harta zakat.

Atsar Ibnu ‘Abbas tentang Zakat Mal Digunakan untuk Berhaji

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يُعْتِقُ مِنْ زَكَاةِ مَالِهِ وَ يُعْطِيْ فِي  الْحَجِّ . ذَكَرَهُ اْلبُخَارِيُّ تَعْلِيْقًا .[11]

Artinya:

Dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ’anhuma, dia memerdekakan budak dari zakat hartanya dan (juga) memberikan (harta zakat) pada haji. HR Al-Bukhari secara mu’allaq.

Derajat Atsar

Atsar ini berderajat dha’if, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujah (Taujihul Qar, 167). Dalam kitab Al-Mushannafu libni Abi Syaibah, atsar ini diriwayatkan dengan sanad maushul (bersambung), [12].

Catatan: di dalam sanad atsar ini, Hassan bin Abu Al-Asyras tidak meriwayatkan hadits dari Mujahid, karena dalam kitab Tahdzibul Kamal (2/494) diterangkan bahwa Hassan hanya meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Syuraikh bin Al-Harits, Mughits bin Sumay, dan Abu ‘Ubaidah, sehingga sanad atsar ini tidak bersambung. Selain itu, dalam sanad atsar ini ada seorang rawi bernama Al-A’masy, Ibnu Hajar mengatakan bahwa dia seorang rawi tsiqat tetapi berbuat tadlis (Taqrib 1/392). Dalam sanad atsar ini, Al-A’masy meriwayatkannya dengan lafal ‘An, [13]   sehingga riwayatnya tidak dapat diterima karena periwayatan rawi mudallis dengan lafal ’An itu tidak menjelaskan bahwa dia mendengar dari gurunya. (Taisir hlm 69).

*Artikel ini diringkas dan diedit oleh Muhammad Iqbal dari tulisan ilmiyah karya Ummi Nur Hasanah yang berjudul, “Telaah Makna Fi Sabilillah Surat At-Taubah ayat 60” sebagai syarat lulus dari Ma’had Al-Islam Surakarta.

Mustahik Zakat: Fi Sabilillah

Footnote:

[1] Ibnu Majah, Sunanubni Majah, jld. 1, hlm. 590, h. 1841.

[2]   Isyaratun Nash audalah penunjukan nash atas suatu pengertian yang melazimi pengertian yang yang dimaksud susunan kalimatnya (lihat Ilmu Ushulil Fiqh susunan ‘Abdul Wahhab Khallaf, hlm.170).

[3] Abu Dawud, Sunanu Abi Dawud, jld. 1, juz 2, hlm. 442 , h. 1989.

[4]    Lihat Sunanu Abi Dawud susunan Abu Dawud, jld. 1, juz 2, hlm. 442.

[5] Abu Dawud, Sunanu Abi Dawud, jld. 1, juz 2, hlm. 442-443, h. 1990.

[6]   Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld. 1, juz 2, hlm. 151, b. Qaulillahi Ta’ala wa fir Riqabi wa fi Sabilillah.

[7]    Lihat Shahihul Bukhari susunan Al-Bukhari, jld. 1, juz 2, hlm. 151.

[8]    Lihat Al-Mausu’atul Haditsiyyatu Musnadul Imami Ahmadabni Hanbal susunan Syu’aib Al-`Arna`uth, et. al, jld. 29, 458-459.

[9]   Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld. 3, juz 9, hlm. 11, k. Ad-Diyat, b. Al-Qasamah.

[10] Lihat Al-Jami’ush Shahih susunan Muslim, jld. 3, hlm. 98.

[11] Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld.1, juz 2, hlm. 151, b. Qaulillahi Ta’ala wa fir Riqabi wa fi Sabilillah.

[12] Lihat Al-Kitabul Mushannaf susunan Ibnu Abi Syaibah, jld. 2, hlm. 403, no. 10424.

[13] Lihat Al-Kitabul Mushannaf susunan Ibnu Abi Syaibah, jld. 2, hlm. 403, h. 10424.

Tinggalkan komentar