Nyanyian dalam Pandangan Syari’at

Nyanyian dalam Pandangan Syari’at

Oleh: Asiyah Ummu Aisyah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa nyanyian adalah hasil menyanyi, yang dinyanyikan, lagu. Adapun menyanyi adalah mengeluarkan suara bernada; berlagu (dengan lirik atau tidak). [1] Dalam bahasa Arab ada lafal اَلْغِنَاءُ (nyanyian) yang artinya adalah Nyanyian atau dendangan syair yang berirama dan selainnya.

Dalam pembahasan ini yang dimaksud Nyanyian adalah syair yang dilagukan.

Pendapat Ulama tentang Nyanyian

Pertama, Haram

Ulama yang berpendapat bahwa nyanyian itu haram adalah ’Abdullah bin Mas’ud [24], jumhur ulama Iraq, antara lain: Ibrahim An-Nakha’i, ‘Amir Asy-Sya’bi, Hammad bin Abi Sulaiman, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Hasan Al-Bashri, Al-Hanafiyyah, dan sebagian Al-Hanabilah. [25] Mereka berhujah dengan Surat Luqman ayat 6, hadits Abu Umamah dan hadits ‘Uqbah bin ‘Amir. [26]

Catatan:

(1). Terdapat surat Luqman ayat 6 menunjukkan haramnya nyanyian yang melalaikan seseorang dari beribadah dan berdzikir kepada Allah

(2). Terdapat hadits Abu Umamah menunjukkan haramnya nyanyian yang berisi kata-kata keji serta membangkitkan hawa nafsu

(3). Terdapat hadits ‘Uqbah bin ‘Amir tersebut dla’if dan maknanya tidak menunjukkan keharaman nyanyian, tetapi hanya menunjukkan tidak berpahala.

Kedua, Makruh

Ulama yang berpendapat bahwa nyanyian itu makruh adalah Asy-Syafi’iyyah, sebagaimana disebutkan Wahbah Az-Zuhaili di dalam kitab Al-Fiqhul Islamiyyu wa Adillatuh [27]

Asy-Syafi’iyyah berpendapat demikian dengan alasan bahwa nyanyian termasuk لَهْوَ الْحَدِيْثِ (ucapan yang sia-sia) dalam surat Luqman ayat 6, namun tidak diharamkan karena terdapat hadits ’Aisyah yang menyebutkan bahwa Rasulullah membiarkan dua budak perempuan bernyanyi di rumah beliau. [28]

Catatan: nyanyian yang termasuk ucapan yang sia-sia dalam surat Luqman ayat 6 adalah nyanyian yang melalaikan seseorang dari beribadah dan berdzikir kepada Allah, bukan nyanyian secara mutlak. Adapun hadits ‘Aisyah tentang Rasulullah membiarkan dua budak perempuan bernyanyi di rumah beliau itu menunjukkan bolehnya nyanyian yang tidak berupa kata-kata keji atau dusta. Kedua nash tersebut menunjukkan haramnya nyanyian yang melalaikan seseorang dari beribadah dan berdzikir kepada Allah dan bolehnya nyanyian yang tidak berupa kata-kata keji atau dusta. Dengan demikian hadits ’Aisyah tidak menjadikan makna haram pada surat Luqman ayat 6 kepada makruh.

Ketiga, Mubah jika tidak disertai Kemungkaran

Ulama yang berpendapat bahwa nyanyian itu mubah jika tidak disertai kemungkaran adalah Abu Bakr Al-Khallal dan Abu Bakr ’Abdul ’Aziz, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni. [29]

Keduanya berhujah dengan hadits ’Aisyah tentang dua budak perempuan yang bernyanyi. [30]

Catatan: hadits yang digunakan sebagai hujah tersebut adalah hadits shahih dan maknanya menunjukkan bahwa nyanyian itu boleh, jika tidak berisi ucapan keji dan dusta, sedangkan ucapan keji dan dusta merupakan kemungkaran.

Kesimpulan

hukum nyanyian itu mubah, jika tidak disertai kemungkaran

Dalil-Dalil dan analisa ringkasnya

Pertama, Surat Luqman (31) : 06

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَ يَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِيْنٌ  

Artinya:

Dan di antara manusia (ada) orang yang menjadikan ucapan sia-sia untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya (jalan Allah) sebagai perolokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.

Menurut Al-Hasan, maksud لَهْوُ الْحَدِيْثِ (ucapan sia-sia) pada ayat ini adalah segala sesuatu yang melalaikan seseorang dari beribadah serta berdzikir kepada Allah, baik berupa obrolan pada malam hari, senda gurau, cerita khayalan, nyanyian, atau yang semisalnya [2].

Berdasarkan penafsiran Al-Hasan tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu makna لَهْوُ الْحَدِيْثِ adalah nyanyian yang melalaikan seseorang dari beribadah dan berdzikir kepada Allah.

Penyebutan lafal لَهْوُ الْحَدِيْثِ pada ayat ini, diiringi dengan ancaman berupa adzab yang menghinakan. Dalam Ilmu Ushul Fiqh dijelaskan bahwa penyebutan adzab yang mengiringi suatu perbuatan itu menunjukkan keharaman perbuatan tersebut [3]. Oleh karena itu, nyanyian yang melalaikan seseorang dari beribadah dan berdzikir kepada Allah hukumnya haram.

Kedua, Surat An-Najm (53) : 59-61

أَفَمِنْ هذَا الْحَدِيْثِ تَعْجَبُونَ . وَ تَضْحَكُوْنَ وَ لاَ تَبْكُوْنَ . وَ أَنْتُمْ سَامِدُوْنَ

Artinya:

Maka apakah kalian heran terhadap perkataan ini? Bahkan kalian menertawakan dan tidak menangis. Dan adalah kalian itu orang-orang yang mengabaikan.

Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa Ibnu ‘Abbas berkata bahwa makna lafal سَامِدُوْنَ adalah bernyanyi karena orang-orang musyrik Quraisy itu apabila mendengar Al-Qur`an, mereka bernyanyi dan bermain-main. [4]

Menurut Al-Jaza`iri, ayat ini merupakan celaan atas perbuatan orang-orang musyrik. [5] Celaan atas pelaku suatu perbuatan itu menunjukkan larangan, sedangkan secara mutlak larangan itu menunjukkan keharaman. [6] Oleh karena itu, bernyanyi yang dilakukan orang-orang musyrik untuk mengabaikan Al-Qur`an itu termasuk perbuatan yang diharamkan.

Kesimpulan: bernyanyi untuk mengabaikan Al-Qur`an itu hukumnya haram.

Ketiga, Surat Al-Isra` (17) : 64

وَ اسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ

Artinya:

Dan perdayakanlah olehmu (iblis) siapa saja dari mereka (manusia) yang kamu mampu dengan suaramu, ..

Ibnu ‘Abbas menafsirkan bahwa maksud lafal بِصَوْتِكَ (dengan suaramu) pada ayat ini adalah segala seruan yang menyebabkan kemaksiatan, sedangkan Mujahid menafsirkan lafal tersebut dengan nyanyian. [7]

Berdasarkan penafsiran tersebut, dapat dipahami bahwa maksud ayat ini adalah Allah Ta’ala memberikan kesempatan kepada iblis untuk memperdayakan manusia dengan nyanyian yang menyebabkan kemaksiatan.

Pada rangkaian ayat ini terdapat lafal yang menunjukkan adanya siksaan di neraka Jahannam sebagai balasan bagi orang yang mengikuti seruan iblis. Dalam ilmu Ushul Fiqh dijelaskan bahwa penyebutan suatu siksaan sebagai akibat dari suatu perbuatan itu menunjukkan keharaman perbuatan tersebut [8]. Oleh karena itu, mengikuti seruan iblis merupakan perbuatan yang diharamkan.

Kesimpulan: nyanyian yang menyebabkan kemaksiatan merupakan seruan iblis, sehingga hukumnya haram.

Keempat, Hadits ‘Aisyah

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ عِنْدِيْ جَارِيَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثَ فَاضْطَجَعَ عَلَى اْلفِرَاشِ وَ حَوَّلَ وَجْهَهُ وَ دَخَلَ أَبُوْ بَكْرٍ فَانْتَهَرَنِيْ وَ قَالَ : مِزْمَارَةُ الشَّيْطَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ؟ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ : دَعْهُمَا. فَلَمَّا غَفَلَ غَمَزْتُهُمَا فَخَرَجَتَا  أَخْرَجَهُ اْلبُخَارِيُّ   

Artinya:

Dari ‘Aisyah, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk kepadaku, sedang bersamaku dua budak perempuan yang keduanya bernyanyi dengan nyanyian Bu’ats. Maka beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) berbaring di atas tempat tidur dan memalingkan wajah beliau. Dan Abu Bakar masuk lalu dia menghardikku seraya berkata: Seruling setan pada (rumah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kepadanya (Abu Bakar) dan bersabda, “Biarkanlah keduanya.” Maka tatkala beliau tidak mempedulikan, aku (‘Aisyah) mencolek keduanya, lalu keduanya keluar. (HR Imam Al-Bukhari) [9].

Lafal “ دَعْهُمَا “ (biarkanlah keduanya) pada hadits ini merupakan perintah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam kepada Abu Bakar untuk membiarkan kedua budak yang bernyanyi di rumah beliau. Adanya perintah untuk membiarkan kedua budak pada hadits tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mengingkari perbuatan itu. Dalam ilmu Ushul Fiqh disebutkan bahwa tidak adanya pengingkaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas suatu perkataan atau perbuatan yang terjadi di hadapan beliau maupun yang terjadi pada ketidakhadiran beliau namun beliau mengetahui hal tersebut, menunjukkan bahwa perbuatan tersebut diperbolehkan [10]. Dengan demikian, bernyanyi itu diperbolehkan.

Menurut Ibnu Rajab, nyanyian pada hadits ini bukan nyanyian yang berisi kata-kata keji atau dusta. [11] Dengan demikian, nyanyian yang diperbolehkan adalah nyanyian yang tidak berisi kata-kata keji atau dusta.

Kesimpulan: Hadis ini menunjukkan bolehnya nyanyian yang tidak berisi kata-kata keji atau dusta.

Kelima, Hadits ‘Imran bin Hushain

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : فِى هذِهِ اْلأُمَّةِ خَسْفٌ وَ مَسْخٌ وَ قَذْفٌ ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ياَ رَسُوْلَ اللهِ وَ مَتَى ذاكَ قاَلَ (( إِذَا ظَهَرَتِ اْلقَيْنَاتُ وَ الْمَعَازِفُ وَ شُرِبَتِ الْخُمُوْرُ )) . [12] أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ 

Artinya:

Dari ‘Imran bin Hushain, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada umat ini (akan terjadi) pembenaman, pengubahan bentuk, dan hujan batu.” Maka seorang lelaki dari muslimin bertanya: Wahai Rasulullah, dan kapankah itu? Beliau menjawab, “Apabila biduanita dari para budak dan alat-alat musik telah merajalela serta khamar diminum (sebagai minuman).” (HR. At-Tirmidzi)

Al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa makna lafal اْلقَيْنَاتُ (biduanita dari para budak) pada hadits ini adalah para budak sebagai اْلمُغَنِّيَة (biduanita). [13] Ibnu Hajar menerangkan bahwa اْلمُغَنِّيَة adalah orang yang menyanyikan lagu-lagu yang berisi kata-kata keji serta membangkitkan hawa nafsu. [14] Dengan demikian, makna اْلقَيْنَاتُ adalah biduanita dari para budak yang menyanyikan lagu-lagu yang berisi kata-kata keji serta membangkitkan hawa nafsu.

Catatan:

(1). Pada hadits ini disebutkan bahwa merajalelanya biduanita dari para budak yang menyanyikan lagu-lagu yang berisi kata-kata keji serta membangkitkan hawa nafsu merupakan salah satu penyebab turunnya adzab. Hal itu menunjukkan bahwa menyanyikan lagu-lagu yang berisi kata-kata keji serta membangkitkan hawa nafsu itu hukumnya haram, sebagaimana dijelaskan dalam ilmu Ushul Fiqh bahwa penyebutan suatu adzab sebagai akibat dari suatu perbuatan itu menunjukkan keharaman perbuatan tersebut [15].

(2). Hadits ini berderajat dla’if, di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama ’Abbad bin Ya’qub. Ibnu Hibban bahwa dia merupakan rawi yang bermadzhab rafidlah dan menyeru kepada madzhabnya serta meriwayatkan hadits-hadits mungkar dari rawi-rawi masyhur, sehingga dia pantas untuk ditinggalkan. [16]

(3). Hadits ini semakna dengan pemahaman surat Al-Isra` ayat 64 tentang larangan mengikuti seruan iblis, sehingga makna hadits ini dapat diterima.

Keenam, Hadits ’Uqbah bin ’Amir

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ الْجُهَنِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ :كُلُّ مَا يَلْهُوْ بِهِ الرَّجُلُ الْمُسْلِمُ بَاطِلٌ إِلاَّ رَمْيَهُ بِقَوْسِهِ وَ تَأْدِيبَهُ فَرَسَهُ وَ مُلاَعَبَتَهُ أَهْلَهُ فَإِنَّهُنَّ مِنَ الْحَقِّ

Artinya:

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “… Segala sesuatu yang seorang muslim bermain dengannya itu batil, kecuali melempar dengan busurnya, melatih kudanya, dan bersenda guraunya dengan keluarganya, maka sesungguhnya mereka (perkara-perkara) itu termasuk bagian dari kebenaran.” HR At-Tirmidzi.

Menurut Al-Mubarakfuri, makna lafal بَاطِلٌ pada hadits ini adalah tidak berpahala. [17] Dengan demikian, makna hadits ini adalah segala permainan itu tidak mendatangkan pahala kecuali memanah, melatih kuda, dan bersenda gurau dengan keluarga.

Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama memahami bahwa nyanyian itu diharamkan. [18]

Catatan: Ibnul ’Arabi menyebutkan bahwa  makna بَاطِلٌ pada hadits ini tidak menunjukkan keharaman, tetapi hanya menunjukkan tidak berpahala. [19]

Ketujuh, Hadits Abu Umamah

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ لاَ تَبِيْعُوا الْقَيْنَاتِ وَ لاَ تَشْتَرُوْهُنَّ وَ لاَ تُعَلِّمُوْهُنَّ وَ لاَ خَيْرَ فِي تِجَارَةٍ فِيْهِنَّ وَ ثَمَنُهُنَّ حَرَامٌ فِى مِثْلِ هذَا أُنْزِلَتْ هذِهِ اْلآيَةُ ( وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ ) إِلَى آخِرِ اْلآيَةِ . أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ [20]

Artinya:

Dari Abu Umamah, dari Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah kalian menjual para biduanita dari kalangan budak, jangan pula membeli mereka, dan jangan pula mengajari mereka. Dan tidak ada kebaikan dalam memperda-gangkan mereka dan harga mereka itu haram. Dalam hal semisal ini diturunkanlah ayat ini: Dan di antara manusia (ada) orang yang menjadikan ucapan sia-sia untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah, sampai akhir ayat.” (HR At-Tirmidzi).

Lafal اْلقَيْنَاتُ dalam hadits ini adalah bentuk jamak dari اْلقَيْنُ , sedang menurut At-Turbasyti makna اْلقَيْنُ adalah اْلأَمَةُ اْلمُغَنِّيَةُ (budak sebagai biduanita), karena apabila budak tersebut bukan biduanita, maka tidak ada dasar atas larangan memperjual-belikannya.[21] Ibnu Hajar menerangkan bahwa اْلمُغَنِّيَةُ adalah orang yang menyanyikan lagu-lagu yang berisi kata-kata keji serta membangkitkan hawa nafsu. [22] Dengan demikian, makna اْلقَيْنَاتُ adalah para biduanita dari kalangan budak yang menyanyikan lagu-lagu yang berisi kata-kata keji serta membangkitkan hawa nafsu.

Menurut Al-Qadli, nyanyian yang berisi kata-kata keji serta membangkitkan hawa nafsu merupakan sebab adanya larangan jual beli para biduanita dari kalangan budak tersebut. [23] Dengan demikian, larangan jual beli para biduanita dari kalangan budak dalam hadits ini menunjukkan bahwa nyanyian yang berisi kata-kata keji serta membangkitkan hawa nafsu itu haram.

Hadits ini berderajat dla’if, namun hadits ini semakna dengan pemahaman surat Al-Isra` ayat 64 tentang larangan mengikuti seruan iblis sehingga makna hadits ini dapat diterima. (Muhammad Iqbal/ed)

 

FOOTNOTE

[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 790.

[2] Lihat Ruhul Ma’ani susunan Al-Alusi, jld. 11, jz. 21, hlm. 66.

[3] Lihat Al-Wajizu fi Ushulil Fiqh susunan ‘Abdul Karim Zaidan, hlm. 35.

[4] Lihat Jami’ul Bayan susunan Ath-Thabari, jld. 11, jz. 27, hlm. 48.

[5] Lihat Aisarut Tafasir susunan Al-Jaza`iri, jld. 5, hlm. 174.

[6] Al-Ushulu min ‘Ilmil Ushul susunan Al-‘Utsaimin, hlm. 28-29.

[7] Lihat Jami’ul Bayan susunan Ath-Thabari, jld. 8, jz. 15, hlm. 81.

[8] Lihat Al-Wajizu fi Ushulil Fiqh susunan ‘Abdul Karim Zaidan, hlm. 35.

[9] As-Sindi, Shahihul Bukhari bi Hasyiyatil Imamis Sindi, jld. 1, hlm. 327, k. 13 Al-‘Idain, b. 2 Al-Hirabu wad Daraqu Yaumal ‘Id, h. 949.

[10] Lihat Al-Wajizu fi Ushulil Fiqh susunan ‘Abdul Karim Zaidan, hlm. 131.

[11] Lihat Fat-hul Bari susunan Ibnu Rajab, jld. 5, hlm. 159.

[12] At-Tirmidzi, Sunanut Tirmidzi, jld. 4, hlm. 495-496, k. 34 Al-Fitan, b. 38 Ma Ja`a fi ‘Alamati Hululil Maskhi wal Khasf, h. 2212.

[13] Lihat Tuhfatul Ahwadzi susunan Al-Mubarakfuri, jld. 6, hlm. 457.

[14] Lihat Fat-hul Bari susunan Ibnu Hajar, jld. 3, hlm. 116.

[15] Lihat Al-Wajizu fi Ushulil Fiqh susunan ‘Abdul Karim Zaidan, hlm. 35.

[16] Lihat Tahdzibut Tahdzib susunan Ibnu Hajar, jld. 3, hlm. 379, no. 3667.

[17] Lihat Tuhfatul Ahwadzi susunan Al-Mubarakfuri, jld. 5, hlm. 266.

[18] Lihat Al-Mausu’atul Fiqhiyyah susunan Wizaratul Auqafi wasy Syu`unil Islamiyyah, jz. 4, hlm. 91-92.

[19] Lihat ’Aridlatul Ahwadzi susunan Ibnul ‘Arabi, jld. 4, jz. 7, hlm. 102.

[20] Sunanut Tirmidzi, At-Tirmidzi, jld. 3, hlm. 570, k. 13 Al-Buyu’, b. 51 Ma Ja`a fi Karahiyati Bai’il Mughanniyat, h. 1282.

[21] Lihat Tuhfatul Ahwadzi susunan Al-Mubarakfuri, jld. 4, hlm. 503.

[22] Lihat Fat-hul Bari susunan Ibnu Hajar, jld. 3, hlm. 116.

[23] Lihat Tuhfatul Ahwadzi susunan Al-Mubarakfuri, jld. 4, hlm. 502.

[24] Lihat: Al-Mausu’atul Fiqhiyyah, karangan Wizaratul Auqafi wasy Syu`unil Islamiyyah, jz. 4, hlm. 91.

[25] Lihat Al-Mausu’atul Fiqhiyyah susunan Wizaratul Auqafi wasy Syu`unil Islamiyyah, jz. 4, hlm. 91.

[26] Lihat Al-Mausu’atul Fiqhiyyah susunan Wizaratul Auqafi wasy Syu`unil Islamiyyah, jz. 4, hlm. 91.

[27] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islamiyyu wa Adillatuh, jld. 3, hlm. 564, b. 7 Al-Hadzar wal Ibahah.

[28] Lihat Asnal Mathalibi Syarhu Raudlith Thalib susunan Zakariyya Al-Anshari, jld. 9, hlm. 261.

[29] Al-Mughni, Ibnu Qudamah, jld. 12, hlm. 41.

[30] Lihat Al-Mughni susunan Ibnu Qudamah, jld. 12, hlm. 41.

Leave a Reply