Status Perawi Ahli Bid’ah dalam Shahih Bukhari

Status Perawi Ahli Bid’ah dalam Shahih Bukhari

Oleh: Ahmad Abdurrahman Fauzi

Sebagaimana sudah diketahui bersama, Umat Islam sepakat bahwa shahih Bukhori adalah kitab paling shahih setelah Al-Quran. Namun menurut beberapa kalangan bahwa di dalamnya terdapat banyak perawi ahli Bid’ah. Benarkah demikian? lalu bagaiamana status Perawi ahli bid’ah dalam shahih bukhari tersebut? Apakah memengaruhi keotentikannya sebagai kitab paling shahih setelah Al-Quran? Berikut Ulasan ringkasnya:

Status Perawi Ahli Bid’ah dalam Shahih Bukhari menurut ilmu Jarh wa Ta’dil

Dalam ilmu Mushthalah Hadits, bid’ah dibagi menjadi dua macam; bid’ah mukaffirah (menyebabkan pelakunya menjadi kafir) dan mufassiqah (menyebabkan pelakunya menjadi fasik). Riwayat ahli bid’ah mukaffirah ditolak secara mutlak, sedangkan riwayat ahli bid’ah mufassiqah diterima dengan syarat dia tidak mengajak kepada bid’ahnya dan tidak meriwayatkan  hadits yang menguatkan paham bid’ahnya (At-Taisir 123-124).

Mengenai perawi ahli bid’ah dalam Shahihul Bukhari, Ibnu Hajar menyatakan bahwa tidak seorang pun dari mereka menganut bid’ah mukaffirah (Hadyus Sari hlm. 545).

Catatan: Selain itu, penulis tidak mendapati hadits dari  para rawi tersebut dalam Shahihul Bukhari yang menguatkan paham bid’ah mereka.

Adapun mengenai ketsiqatan perawi ahli bid’ah dalam Shahihul Bukhari, Ibnu Hajar menyebutkan bahwa semua rawi yang haditsnya dikeluarkan oleh Imam Bukhari sebagai hadits pokok itu merupakan rawi yang terpercaya. Adapun rawi yang haditsnya dikeluarkan sebagai syahid [1], tabi’ [2], atau mu’allaq [3] adalah rawi yang jujur (Hadyus Sari hlm. 544).

Dalam Kitab Hadyus Sari (hlm. 462-463), Ibnu Hajar menyebutkan 69 rawi ahli bid’ah dalam Shahih Bukhari (yang dituduh berpaham bid’ah). Berikut rincian Perawi Ahli Bid’ah dalam shahih Bukhari, beserta analisa ringkasnya:

Pertama, Rawi-Rawi yang Dituduh Berpaham Qadariyyah (24 Rawi)

‘Abdul A’la bin ‘Abdul A’la Al-Bashri. (At-Tahdzib 3/723-724), ‘Abdul Warits bin Sa’id, ‘Abdullah bin Abu Labid (At-Tahdzib, 3/619-629), ‘Abdullah bin Abu Najih. (At-Tahdzib 3/684-685) ‘Abdullah bin ‘Amr Abu Ma’mar (At-Tahdzib 3/585-586), ‘Imran bin Muslim (At-Tahdzib 3/243), ‘Umair bin Hani’ (At-Tahdzib 5/138), Al-Hasan bin Dzakwan (At-Tahdzib 2/34-35), Atha’ bin Abu Maimunah (At-Tahdzib 4/501), Harun bin Musa (At-Tahdzib 6/615), Hassan bin ‘Athiyyah (At-Tahdzib 2/12), Hisyam bin ‘Abdullah Ad-Dustuwa’i (At-Tahdzib 6/654-655), Kahmas bin Minhal (At-Tahdzib 5/421), Muhammad bin Sawa’ (At-Tahdzib 5/621-622), Qatadah bin Di’amah (At-Tahdzib 5/328-329), Saif bin Sulaiman (At-Tahdzib 3/122-123), Sallam bin Miskin (At-Tahdzib 3/115-156), Syarik bin ‘Abdullah bin Abu Namir (At-Tahdzib 3/163), Syabl bin ‘Abbad (At-Tahdzib 3/133-134), Tsaur bin Yazid (At-Tahdzib 1/513), ‘Umar bin Abu Za`idah (At-Tahdzib 4/712 dan Mizanul I’tidal 3/197), Wahb bin Munabbih, Yahya bin Hamzah Al-Hadhrami (At-Tahdzib 7/29-30), Zakariyya bin Ishaq (At-Tahdzib 2/481).

Catatan:

a). Tidak ada ulama yang menolak tuduhan kepada para rawi tersebut, kecuali pada ‘Abdul Warits bin Sa’id. Namun, tidak seorang pun dari mereka mengajak kepada paham Qadariyyah. Bahkan, seorang dari mereka sudah bertaubat dari paham tersebut, yaitu Wahb bin Munabbih (At-Tahdzib 6/764).

b). Dalam Kaidah ilmu Mushthalah Hadits, rawi bid’ah yang tidak mengajak kepada bid’ahnya dapat diterima riwayatnya (Muqaddiah ibn Sholah, hlm. 54).

c). Adapun tuduhan kepada ‘Abdul Warits bin Sa’id sudah dibantah oleh putranya yang bernama ‘Abdush Shamad bin ‘Abdul Warits (At-Tahdzib 4/285).

‘Abdul Warits sendiri juga mengatakan bahwa beliau tidak berpendapat dengan pendapat Mu’tazilah [4]  sama sekali (At-Tahdzib 4/286).

Ibnu Hajar menjelaskan bahwa tuduhan Qadariyyah yang ditujukan kepada ‘Abdul Warits disebabkan pujiannya untuk ‘Amr bin ‘Ubaid (Hadyus Sari, hlm. 593).

Pujian seorang rawi terhadap seorang ahli bid’ah tidak menyebabkan rawi tersebut tercela (Qawa’id fi Ulumil Hadits, hlm. 419).

Kesimpulan: Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa rawi-rawi Imam Bukhari yang berpaham Qadariyyah dapat diterima riwayatnya

Kedua, Rawi-Rawi yang Dituduh Berpaham Syi’ah (18 Rawi)

Rawi Syi’ah yang Tidak Mengajak kepada Paham Bid’ahnya

‘Abdul Malik bin A’yun (Tahdzib 4/233-234), ‘Abdullah bin Isa bin ‘Abdurrahman bin Abu Laila (At-Tahdzib 3/600), ‘Abdurrazaq bin Hammam (At-Tahdzib (4/167), ‘Adi bin Tsabit (At-Tahdzib 4/458), ‘Ubaidillah bin Musa Al-‘Absi (At-Tahdzib 4/349), Al-Fadlel bin Dukain (At-Tahdzib 3/350-351), Fithr bin Khalifah (At-Tahdzib 5/278), Isma’il bin Aban (At-Tahdzib 1/256), Jarir bin ‘Abdul Hamid (At-Tahdzib 1/549-550), Khalid bin Makhlad (At-Tahdzib 2/292), Muhammad bin Fudlail bin Ghazwan (At-Tahdzib 6/10-11), Muhammad bin Juhadah Al-Kufi (At-Tahdzib 5/515), Sa’id bin ‘Amr bin Asywa’ (At-Tahdzib 2/674), Sa’id bin Fairuz Abul Bakhtari (At-Tahdzib 2/680), ‘Abbad bin Al-‘Awwam (At-Tahdzib 3/369), Malik bin Isma’il (At-Tahdzib 6/138), Sa’id bin Katsir bin ‘Ufair.

Catatan:

Tidak ada ulama yang menolak tuduhan Syi’ah tersebut dari mereka. Bahkan, sebagian dari mereka merupakan tokoh Syi’ah, seperti:

‘Abdul Malik bin A’yun. Abu Hatim menyatakan bahwa dia: مِنْ عُنُقِ الشِّيْعَةِ (termasuk pemimpin Syi’ah) [At-Tahdzib 4/232]. Al-Qasimi menyatakan bahwa nama ‘Abdul Malik tercantum dalam kitab-kitab rijal Syi’ah (Qawa’idut Tahdits, hlm. 195)

Namun, Imam Bukhari hanya meriwayatkan satu hadits dari ‘Abdul Malik, yang  diriwayatkan bersama rawi lain (Hadyus Sari, 592) dan hadits tersebut tidak berkaitan dengan paham Syi’ah. Hadits tersebut terdapat dalam Shahihul Bukhari jld. 4, hlm. 557, kitab 98, Kitabut Tauhid, bab 24, hadits 7445. Selain dari jalur ‘Abdul Malik, Imam Bukhari meriwayatkan hadits ini dari jalur Jami’ bin Abu Rasyid.

Adi bin Tsabit. Dia adalah Imam masjid Syi’ah sekaligus penceramah mereka (At-Tahdzib 4/458). Hadits-hadits ‘Adi bin Tsabit  dalam Shahih Bukhari tidak berkaitan dengan paham Syi’ah (Hadyus Sari, hlm. 596).

Rawi-rawi yang dituduh sebagai Syi’ah yang ghuluw (melampaui batas), misalnya:

Fithr bin Khalifah (At-Tahdzib 5/278).

Imam Bukhari hanya meriwayatkan satu hadits dari Fithr bin Khalifah  dalam Shahihul Bukhari (Hadyus Sari, hm. 609) yang diriwayatkan bersama rawi lain. Hadits tersebut terdapat di dalam Shahihul Bukhari pada jld. 4, hlm. 98, kitab 78, Kitabul Adab, bab 15, hadits 5991. Selain dari jalur Fithr bin Khalifah, Imam Bukhari juga meriwayatkan hadits ini dari jalur Al-A’masy dan Al-Hasan bin ‘Amr.

Khalid bin Makhlad (At-Tahdzib 2/293)

Muhammad bin Fudlail bin Ghazwan (At-Tahdzib 6/11)

pernyataan bahwa Muhammad bin Fudlail seorang yang ghuluw dalam paham Syi’ah tidaklah benar, karena beliau sendiri berkata (At-Tahdzib 6/12):

رَحِمَ اللهُ عُثْمَانَ وَ لاَ رَحِمَ مَنْ لاَ يَترَحَّمُ عَلَيْهِ .

Artinya:

Semoga Allah merahmati ‘Utsman, dan (semoga Allah) tidak merahmati orang yang tidak mendo’akan rahmat atasnya.

Salah satu ciri Syi’ah ghuluw adalah mencela ‘Utsman (Mizanul I’tidal 1/6). Dengan demikian, perkataan Muhammad bin Fudlail tersebut membantah tuduhan bahwa dia seorang yang ghuluw dalam paham Syi’ah.

Sebagian rawi dalam Shahihul Bukhari yang dituduh berpaham Syi’ah ada yang meriwayatkan hadits terkait dengan madzhab Syi’ah (namun bukan dalam Shahihul Bukhari). Seperti:

‘Abdurrazaq bin Hammam meriwayatkan hadits-hadits munkar tentang keutamaan ‘Ali (Al-Kamil fi Dlu’afa`ir Rijal 5/315).

‘Abdurrazaq bukanlah seorang Syi’ah yang ghuluw. Dia tidak lebih mengutamakan ‘Ali daripada Abu Bakar dan ‘Umar (Mizanul I’tidal 2/611). ‘Abdurrazaq juga mengatakan bahwa Syi’ah Rafidlah [5] itu kafir (Al-Kamil fi Dlu’afa`ir Rijal 5/312). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ‘Abdurrazzaq bukanlah rawi yang ghuluw pada paham Syi’ah. Terlebih, Imam Ahmad menyatakan bahwa dia sudah bertaubat dari paham Syi’ah tersebut (At-Tahdzib 4/351 pada biografi Ubaidillah bin Musa).

‘Ubaidillah bin Musa meriwayatkan hadits-hadits munkar terkait paham Syi’ah (At-Tahdzib 4/351).

‘Ubaidillah bin Musa adalah rawi tsiqat dan riwayatnya dijadikan hujah oleh para imam hadits (Hadyus Sari, hlm. 594).

Khusus untuk Sa’id bin Katsir bin ‘Ufair, tidak ada ulama yang menyatakan bahwa dia berpaham Syi’ah, selain Ibnu Hajar (Hadyus Sari, hlm. 642). Adapun As-Sa’di menyatakan bahwa pada dirinya ada lebih dari satu macam tuduhan bid’ah (Al-Kamil fi Dlu’afa`ir Rijal 3/411).

Pernyataan As-Sa’di ini telah disanggah oleh Ibnu ‘Adi. Ibnu ‘Adi menyatakan bahwa tidak seorang ulama pun menisbatkan Sa’id bin Katsir kepada suatu bid’ah, bahkan dia adalah seorang yang shaduq (amat jujur) lagi tsiqat (terpercaya) [Al-Kamil fi Dlu’afa`ir Rijal 3/411].

As-Sa’di tidak memberikan penjelasan atas celaannya, sehingga jarh tersebut adalah jarh mubham (tidak diterangkan). Dalam Ilmu Jarh wa Ta’dil, ta’dil dimenangkan atas jarh yang mubham (Dlawabitul Jarh wat Ta’dil, hlm. 71). Oleh karena itu, tuduhan bahwa Sa’id bin Katsir seorang ahli bid’ah tidak dapat diterima.

Kesimpulan:

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa tidak seorang pun dari rawi-rawi ini yang mengajak kepada bid’ahnya. Dalam kaidah ilmu Mushthalah Hadits, rawi bid’ah yang tidak mengajak kepada bid’ahnya itu dapat diterima riwayatnya (Muqaddimah ibn Sholah, hlm. 54).  Dengan demikian, rawi-rawi Imam Bukhari yang berpaham Syi’ah dan tidak mengajak kepada pahamnya dapat diterima riwayatnya.

Rawi Syi’ah yang Mengajak kepada Paham Bid’ahnya

Rawi Syi’ah yang mengajak kepada pahamnya hanya ‘Abbad bin Ya’qub.

Ibnu Hibban menyatakan bahwa ‘Abbad adalah seorang Rafidlah yang mengajak kepada pahamnya (Al-Majruhiin, 2;14/163).

Tuduhan bahwa ‘Abbad bin Ya’qub mengajak kepada bid’ahnya dikuatkan oleh kejadian yang dikisahkan oleh Al-Qasim bin Zakariyya Al-Mutharriz (At-Tahdzib 3/379).

Berdasarkan kaidah ilmu Mushthalah Hadits, riwayat seorang ahli bid’ah bisa diterima apabila dia tidak mengajak kepada bid’ahnya (Muqaddimah Ibn Sholah, hlm. 54). Karena ‘Abbad bin Ya’qub mengajak kepada paham bid’ah, maka riwayatnya tidak diterima.

Namun, riwayatnya dalam Shahihul Bukhari juga diriwayatkan oleh rawi lain (Hadyus Sari, hlm. 580). Hadits tersebut terletak pada jld. 4, hlm. 589-590, kitab 98, Kitabut Tauhid, bab 48, no. 7534.

Selain dari jalur ‘Abbad bin Ya’qub, Imam Bukhari meriwayatkan darinya pada hadits ini bersama dengan sanad Sulaiman bin Harb. Oleh karenanya, riwayat ‘Abbad bin Ya’qub dalam Shahihul Bukhari diterima

Ketiga, Rawi-Rawi yang Dituduh Berpaham Murji`ah [6] (11 rawi)

Rawi Murji`ah yang Tidak Mengajak kepada Paham Bid’ahnya

‘Amr bin Murrah (At-Tahdzib 5/91), Ayyub bin ‘A`idz (At-Tahdzib 1/382), ‘Umar bin Dzarr (At-Tahdzib 4/708), ‘Utsman bin Ghiyats (At-Tahdzib 4/440), Dzarr bin ‘Abdullah (At-Tahdzib 2/383), Ibrahim bin Thahman (At-Tahdzib 1/122), Warqa` bin ‘Umar (At-Tahdzib 6/711).

Catatan: Tidak ada ulama yang menolak tuduhan kepada para rawi ini. Hanya saja, salah seorang dari mereka yang bernama Ibrahim bin Thahman telah dinyatakan bertaubat dari paham Murji`ah (At-Tahdzib 1/124).

Salah satu dari mereka, ‘Umar bin Dzarr, dinyatakan oleh Abu Dawud sebagai كَانَ رَأْسًا فِي اْلاِرْجَاءِ  (adalah dia seorang pemimpin dalam paham Murji`ah). Namun, Al-‘Ijli menyatakan: كَانَ لَيِّنَ الْقَوْلِ فِيْهِ  (adalah dia seorang yang tidak berlebihan dalam pahamnya) [At-Tahdzib 4/709). Dengan demikian, meskipun ‘Umar adalah seorang pemimpin Murji`ah, dia bukanlah seorang yang berlebihan dalam pahamnya.

Dalam kaidah ilmu Mushthalah Hadits, rawi bid’ah yang tidak mengajak kepada bid’ahnya dapat diterima riwayatnya (Muqaddimah Ibn Sholah, hlm. 54).

Kesimpulan: Dari uraian ini, dapat disimpulkan bahwa rawi-rawi Imam Bukhari yang berpaham Murji`ah dan tidak mengajak kepada pahamnya dapat diterima riwayatnya.

Rawi Murji`ah yang Mengajak kepada Paham Bid’ahnya

‘Abdul Hamid bin ‘Abdurrahman Al-Himmani, Muhammad bin Khazim Abu Mu’awiyah, Salim bin ‘Ajlan, Syabbabah bin Sawwar.

a). ‘Abdul Hamid Al-Himmani. Abu Dawud menyatakan bahwa ia mengajak kepada paham Murji`ah (At-Tahdzib 3/746).

Catatan: Tidak ada ulama yang menolak pernyataan Abu Dawud tersebut. Dalam kaidah Jarh wa Ta’dil, riwayat rawi ahli bid’ah yang mengajak kepada bid’ahnya itu tidak diterima. Berdasarkan kaidah ini, seharusnya riwayat ‘Abdul Hamid tidak diterima.

Namun, satu-satunya hadits yang diriwayatkan ‘Abdul Hamid dalam Shahihul Bukhari memiliki syahid yang diriwayatkan oleh Imam Muslim [7] dari jalur lain (Hadyus Sari, hlm. 585). Oleh karena itu, hadits tersebut dapat diterima.

b). Muhammad bin Khazim. Abu Zur’ah menyatakan bahwa dia mengajak kepada paham Murji`ah (At-Tahdzib 5/558). ‘Ali bin Al-Hasan menyatakan bahwa beliau pernah mengajaknya kepada paham Murji`ah (Tarikhul Islam, 13/278).

Catatan: Tidak ada ulama yang mengingkari tuduhan bahwa dia menganut paham Murji`ah dan mengajak kepadanya. Dalam kaidah Jarh wa Ta’dil, riwayat rawi ahli bid’ah yang mengajak kepada bid’ahnya itu tidak diterima. Berdasarkan kaidah ini, seharusnya riwayat Muhammad bin Khazim tidak diterima.

Muhammad bin Khazim adalah seorang rawi jujur dan ditsiqatkan oleh para ulama (At-Tahdzib 5/556). Hadits-haditsnya dalam Shahihul Bukhari tidak menguatkan paham Murji`ah.  Imam Bukhari meriwayatkan 32 hadits pokok dari Muhammad bin Khazim. Hadits-hadits tersebut tidak mempropagandakan paham bid’ahnya.

Hadits-hadits pokok tersebut berada pada Kitabul ‘Ilm (h. 130), Al-Wudlu’ (h. 218 dan 228), At-Tayammum (h. 347), Ash-Shalah (h. 363 dan 477), Al-Adzan (h. 713), Al-Jana’iz (h. 1247 dan 1361), Al-‘Umrah (h. 1783), Al-Buyu’ (h. 2096 dan 2187),  Fil Khushumat (h. 2416), Asy-Syahadat (h. 2666), Al-Maghazi (h. 4077), At-Tafsir (h. 4520, 4686, 4801, 4821, 4935, dan 4972), An-Nikah ( h. 5131), Ath-Thalaq (h. 5206 dan 5265), Al-Ath’imah (h. 5388), Al-Adab (h. 6130), Ad-Da’awat (h. 6377), At-Ta’bir (h. 7012), Al-I’tisham (h. 7317), dan At-Tauhid (h. 7376 dan 7424).

Ibnu Hajar menjelaskan bahwa Imam Bukhari menerima riwayat ahlu bid’ah bila rawi tersebut jujur dan bagus agamanya (Taujihul Qari, hlm. 36). Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah juga menyatakan demikian (Dlawabithul Jarh wat Ta’dil, 141).

Dengan alasan di atas, riwayat Muhammad bin Khazim dalam Shahihul Bukhari tetap diterima walaupun dia mengajak kepada paham Murji`ah.

c). Salim bin ‘Ajlan. As-Sa’di dan Al-Jauzajani menyatakan bahwa Salim mengajak kepada paham Murji`ah (At-Tahdzib, 2/274 dan Hadyus Sari, hlm. 569).

Catatan: Tidak ada ulama yang menolak tuduhan tersebut. Berdasarkan kaidah Jarh wa Ta’dil, syarat diterimanya riwayat seorang ahli bid’ah adalah tidak mengajak kepada bid’ahnya. Dengan demikian, riwayat Salim bin ‘Ajlan tidak diterima.

Namun, riwayat Salim bin ‘Ajlan dalam Shahihul Bukhari memiliki penguat dari jalur lain. Rawi ini meriwayatkan dua hadits (yang bermatan sama) pada jld. 4, hlm. 16-17, kitab 76 Ath-Thibb, bab 3, hadits 5680 dan 5681. Al-Bukhari juga meriwayatkan hadits yang semakna dari jalur lain, yaitu pada Kitab 76, Ath-Thibb, hadits no. 5683 dan 5702.

Oleh karena itu, riwayatnya dalam Shahihul Bukhari tetap diterima.

d). Syabbabah bin Sawwar. Abu Zur’ah menyatakan dia menyeru kepada paham Murji`ah, namun sudah bertaubat darinya (Tahdzibul Kamal 4/528). Dengan demikian, riwayatnya dapat diterima.

Kesimpulan: riwayat para rawi yang dituduh berpaham Murji`ah dan mengajak kepadanya dalam Shahihul Bukhari dapat diterima

Keempat, Rawi-Rawi yang Dituduh Berpaham Nashab [8] (Enam Rawi)

Rawi Nashab yang Tidak Mengajak kepada Paham Bid’ahnya

‘Abdullah bin Salim Al-Asy’ari (At-Tahdzib 3/487), Bahz bin Asad (catatan khusus lihat di footnote [9]), Hushain bin Numair (At-Tahdzib 2/133), Ishaq bin Suwaid (At-Tahdzib 1/223), Qais bin Abu Hazim (At-Tahdzib 5/358).

Catatan: Salah seorang dari mereka, yaitu Ishaq bin Suwaid dinyatakan oleh Abul ‘Arab Ash-Shaqli  كَانَ يَحْمِلُ عَلَى عَلِيٍّ تَحَامُلاً شَدِيْدًا  (dia mencela ‘Ali dengan celaan yang melampaui batas). Ishaq bin Suwaid juga mengatakan لَا أُحِبُّ عَلِيًّا  (Aku tidak menyukai ‘Ali). [At-Tahdzib 1/224).

Tidak ada ulama yang menolak tuduhan terhadap lima rawi tersebut, atau menyatakan bahwa mereka bertaubat darinya.

Dalam kaidah ilmu Mushthalah Hadits, riwayat rawi bid’ah yang tidak mengajak kepada bid’ahnya dapat diterima. Dengan demikian, rawi-rawi Imam Bukhari yang berpaham Nashab dan tidak mengajak kepada pahamnya dapat diterima riwayatnya.

Rawi Nashab yang Mengajak kepada Paham Bid’ahnya

Rawi berpaham Nashab yang mengajak kepada bid’ahnya hanya Hariz (ada catatan khusus, lihat footnote [10]) bin ‘Utsman.

Catatan: Tuduhan paham Nashab kepadanya dinyatakan oleh Imam Ahmad dan Al-‘Ijli. Ibnu Hibban menyatakan bahwa dia mengajak kepada pahamnya. Meski demikian, Abu Hatim berpendapat bahwa tuduhan ini tidaklah benar (At-Tahdzib 1/698).

Terdapat beberapa riwayat yang menguatkan tuduhan terhadap Hariz bin ‘Utsman. Diriwayatkan dari ‘Imran bin Aban bahwa Hariz pernah berkata bahwa dia tidak menyukai Imam Ali, karena telah membunuh leluhurnya (At-Tahdzib 1/699).  Diriwayatkan pula bahwa Hariz tidak keluar dari masjid setelah shalat Subuh kecuali setelah melaknat Imam ‘Ali 70 kali (At-Tahdzib 1/700).

Dalam kaidah Jarh wa Ta’dil, jarh yang mufassar dimenangkan daripada ta’dil (Dlawabithul Jarh wat Ta’dil, hlm. 71). Dalam masalah ini, tuduhan bahwa Hariz seorang penganut paham Nashab merupakan jarh yang mufassar, karena disertai riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa dia memiliki kecenderungan terhadap paham tersebut. Karenanya, tuduhan bahwa Hariz bin ‘Utsman seorang penganut paham Nashab dimenangkan daripada pembelaan Abu Hatim.

Namun, Abul Yaman menyatakan bahwa Hariz telah bertaubat dari paham Nashab (At-Tahdzib 1/700). Hal ini diperkuat dengan kisah yang  diriwayatkan oleh Syabbabah:

سَمِعْتُ حَرِيْزَ بْنَ عُثْمَانَ قَالَ لَهُ رَجُلٌ : يَا أَبَا عُثْمَانَ ، بَلَغَنِيْ أَنَّكَ لَا تَتَرَحَّمُ عَلَى عَلِيٍّ فَقَالَ لَهُ : اُسْكُتْ مَا أَنْتَ وَ هَذَا ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ فَقَالَ رَحِمَهُ اللهُ مِائَةَ مَرَّةٍ .

Artinya:

Aku (Syabbabah) mendengar (bahwa) seseorang berkata kepada Hariz bin ‘Utsman: Wahai Abu ‘Utsman, telah sampai kepadaku (kabar) bahwa engkau tidak mau mendo’akan rahmat untuk ‘Ali. Maka dia (Hariz) berkata: Diamlah! Apa urusanmu dengan hal ini? Kemudian dia (Hariz) menoleh ke arahku lalu berkata “semoga Allah merahmatinya (‘Ali)” seratus kali. (At-Tahdzib 1/699)

Bila benar bahwa Hariz bin ‘Utsman masih merupakan penganut paham Nashab, tentunya dia tidak akan mendo’akan rahmat untuk Imam ‘Ali.

Kelima, Rawi-Rawi yang Dituduh Berpaham Khawarij [11] (Tiga Rawi)

Rawi Khawarij yang Tidak Mengajak kepada Paham Bid’ahnya

Al-Walid bin Katsir (At-Tahdzib 6/745), ‘Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas (At-Tahdzib 4/547-548)

Al-Walid bin Katsir. Abu Dawud dan As-Saji menyatakan bahwa dia seorang pengikut paham Ibadliyah [12] (At-Tahdzib 6/745). Tidak ada ulama yang menolak tuduhan tersebut atau menyatakan bahwa dia bertaubat darinya.

‘Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas. Tuduhan paham Khawarij kepadanya dinyatakan oleh Ibnu Ma’in, Ibnul Madini, dan Mush’ab Az-Zubairi. Ibnu Lahi’ah menyatakan bahwa ‘Ikrimah pernah diutus kepada Najdah Al-Haruri [13]. Ketika kembali, ‘Ikrimah sudah mengikuti pendapat Khawarij (At-Tahdzib 4/550).

Catatan: Tuduhan Khawarij kepada ‘Ikrimah ditolak oleh Imam Ahmad, Al-‘Ijli (Hadyus Sari, hlm. 600), dan Ibnu Hajar (At-Taqrib 1/685). Ibnu Hajar menambahkan bahwa ‘Ikrimah hanya sependapat dengan Khawarij pada beberapa masalah (Hadyus Sari, hlm. 600).

Dalam kaidah ilmu Mushthalah Hadits, riwayat rawi bid’ah yang tidak mengajak kepada bid’ahnya dapat diterima.

Rawi Khawarij yang Mengajak kepada Paham Bid’ahnya

Rawi berpaham Khawarij yang mengajak kepada pahamnya hanya ‘Imran bin Hiththan.

‘Imran bin Hiththan dikenal sebagai pemimpin dan penyair Khawarij (At-Tahdzib 5/118). Bahkan, diriwayatkan bahwa dia pernah bersyair dengan syair ritsa` [14] untuk pembunuh Imam ‘Ali (yaitu; ‘Abdurrahman bin Muljam). Ibnu Hajar menyatakan bahwa dia mengajak kepada bid’ah tersebut (Hadyus Sari, hlm. 606).

Catatan: Tidak ada ulama yang mengingkari tuduhan bahwa ‘Imran mengajak kepada paham Khawarij. Pada asalnya, riwayat rawi ahli bid’ah yang mengajak kepada bid’ahnya tidak diterima. Namun, terdapat beberapa alasan tentang penerimaan riwayatnya dalam Shahihul Bukhari (At-Tahdzib, 5/117).

a). Imam Bukhari hanya mengambil riwayat dari ‘Imran sebelum dia menjadi seorang Khawarij. Alasan ini tertolak, karena Imam Bukhari mengambil riwayat darinya dari jalur Yahya bin Abi Katsir. Padahal, Yahya mendengar riwayat dari ‘Imran ketika dia tengah bersembunyi di Yamamah dari Al-Hajjaj yang mengejarnya karena paham Khawarij.

b). Khawarij adalah ahli bid’ah yang paling baik haditsnya. Alasan ini tidak bisa diterapkan secara mutlak, karena terdapat riwayat dari seorang Khawarij yang sudah bertaubat bahwa mereka juga berani memalsukan hadits.

c). ‘Imran bin Hiththan bertaubat di akhir hayatnya. Ibnu Hajar menyatakan bahwa inilah alasan yang paling tepat.

Tidak ada ulama yang menyanggah pernyataan Ibnu Hajar. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ‘Imran bin Hiththan sudah bertaubat dari paham Khawarij. Terlebih lagi, ‘Imran bin Hiththan tidak dituduh berdusta dalam masalah hadits (At-Tahdzib 5/177).

Keenam, Rawi yang Dituduh Berpaham Jahmiyyah  [15] (Seorang Rawi)

Rawi yang dituduh berpaham Jahmiyyah hanya Bisyr bin As-Sari (At-Tahdzib 1/422-423).

Imam Ahmad menyebutkan permulaan muncul tuduhan paham Jahmiyyah kepada Bisyr tatkala dia menafsirkan ayat  نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌAl-Qiyamah ayat 22-23. Beliau berkata,”Aku tidak tahu maksud ayat ini, Apa-apaan ini”. Lalu Al-Humaidi dan penduduk Makkah bangkit dari majlisnya (At-Tahdzib 1/422).

Catatan: Ibnu Hajar menyebutkan bahwa dia sudah bertaubat darinya (At-Taqrib 1/128). Yahya bin Ma’in mendengar tatkala dia mendo’akan keburukan bagi orang yang menuduhnya berpaham Jahmiyyah, beliau berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari menjadi seorang pengikut Jahm” (At-Tahdzib 1/423).

Kesimpulan: Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Bisyr bin As-Sari sudah bertaubat dari paham Jahmiyah sehingga riwayatnya dapat diterima

Ketujuh, Rawi yang Dituduh Berpaham Waqaf [16] (Seorang Rawi)

Rawi yang dituduh berpaham Waqaf hanya ‘Ali bin Abu Hasyim (At-Tahdzib 4/662).

Tuduhan bahwa dia menganut paham Waqaf dinyatakan oleh Abu Hatim (At-Tahdzib 4/662).

Catatan: Tidak ada ulama yang menolak tuduhan tersebut atau menyatakan bahwa dia telah bertaubat darinya. Namun, tidak terdapat pula ulama yang menyatakan bahwa ‘Ali bin Abu Hasyim mengajak kepada paham Waqaf.

Dalam kaidah ilmu Mushthalah Hadits, riwayat rawi bid’ah yang tidak mengajak kepada bid’ahnya dapat diterima, sehingga riwayat ‘Ali bin Abu Hasyim dalam Shahihul Bukhari dapat diterima.

Rawi-Rawi yang Dituduh dengan Beberapa Paham Bid’ah (Lima Rawi)

Rawi yang Tidak Mengajak kepada Paham Bid’ahnya

‘Ali bin Al-Ja’d, dituduh berpaham Syi’ah, Jahmiyyah, dan Waqaf, ‘Auf Al-A’rabi, dituduh berpaham Syi’ah dan Qadariyyah (At-Tahdzib 5/154), Dawud bin Al-Hushain, dituduh berpaham Khawarij dan Qadariyyah (At-Tahdzib 2/349), Tsaur bin Zaid, dituduh berpaham Khawarij dan Qadariyyah.

‘Ali bin Al-Ja’d. Tuduhan bahwa dia menganut paham Jahmiyyah dinyatakan oleh Imam Muslim (Mizanul I’tidal 3/116). Namun, tuduhan ini ditolak oleh ‘Abdus. ‘Abdus menyatakan bahwa yang sebenarnya menganut paham Qadariyyah adalah putranya yang bernama Al-Hasan, bukan ‘Ali bin Al-Ja’d (At-Tahdzib 4/571).

Adapun tuduhan bahwa dia menganut paham Waqaf dinyatakan oleh Adz-Dzahabi (As-Siyar 11/64), sedangkan tuduhan bahwa beliau menganut paham Syi’ah dinyatakan oleh Ibnu Hajar (At-Taqrib 1/689).

Catatan: Tidak ada ulama yang menolak kedua tuduhan ini atau menyatakan ia bertaubat dari keduanya.

‘Auf Al-A’rabi. Tuduhan bahwa dia menganut paham Qadariyyah dan Syi’ah dinyatakan oleh Ibnul Mubarak dan Bundar (At-Tahdzib 5/155).

Catatan: Tidak ada ulama yang menolak kedua tuduhan tersebut atau menyatakan dia bertaubat dari keduanya.

Dawud bin Al-Hushain. Tuduhan bahwa dia menganut paham Khawarij dinyatakan oleh As-Saji (At-Tahdzib 2/350), sedangkan tuduhan bahwa dia menganut paham Qadariyyah dinyatakan oleh Adz-Dzahabi (Al-Mughni fi Dlu’afa`irrijal 1/329).

Catatan: Tidak ada ulama yang menolak kedua tuduhan tersebut atau menyatakan dia bertaubat darinya.

Tsaur bin Zaid. Ibnu ‘Abdil Barr menyatakan bahwa Tsaur menganut menganut paham Khawarij dan Qadariyyah, namun tidak mengajak kepada keduanya (At-Tahdzib 1/512).

Dalam kaidah ilmu Mushthalah Hadits, riwayat rawi ahli bid’ah yang tidak mengajak kepada bid’ahnya dapat diterima. Dari uraian ini, dapat disimpulkan bahwa rawi-rawi Imam Bukhari yang dituduh menganut lebih dari satu paham bid’ah dan tidak mengajak kepada pahamnya dapat diterima riwayatnya.

Rawi yang Mengajak kepada Paham Bid’ahnya

Rawi dituduh dengan beberapa bid’ah dan mengajak kepada pahamnya hanya Yahya  bin Shalih Al-Wuhadhi. Dia dituduh berpaham Murji`ah dan Jahmiyyah.

Imam Ahmad menyatakan dia menganut Jahmiyyah (At-Tahdzib 7/55). Catatan: Tidak ada ulama yang menyatakan bahwa Yahya mengajak kepada paham Jahmiyyah.

Adapun Ishaq bin Manshur menyatakan bahwa dia mengajak kepada paham Murji’ah (Tahdzibul Kamal 10/703). sedangkan Adz-Dzahabi menyatakan bahwa Yahya bin Shalih mengingkari paham Murji’ah (As-Siyar 9/156).

Adz-Dzahabi juga menyebutkan percakapan antara ‘Abdush Shamad dan Yahya bin Shalih sebagai berikut:

فقَالَ الْبُخَارِيُّ : قَالَ عَبْدُ الصَّمَدِ : سَأَلْتُ يَحْيَى بْنَ صَالِحٍ عَنِ الْإِيْمَانِ فَقَالَ : حَدَّثَنَا أَبُو الْمَلِيْحِ ، سَمِعْتُ مَيْمُوْنَ بنَ مِهْرَانَ يَقُوْلُ : أَنَا أَقْدَمُ مِنَ الْإِرْجَاءِ

Artinya:

Maka Al-Bukhari berkata: ’Abdush Shamad berkata: Aku bertanya kepada Yahya bin Shalih tentang iman, maka dia menjawab: ”Telah menceritakan kepada kami Abul Malih: Aku mendengar Maimun bin Mihran berkata: Aku lebih dahulu ada daripada paham Murji’ah.” (As-Siyar 9/156)

Yahya bin Shalih meriwayatkan pendapat ini tanpa memberikan komentar, sehingga dapat dipahami bahwa Yahya sependapat dengan Maimun bin Mihran yang tidak setuju dengan paham Murji’ah. Dengan demikian, tuduhan bahwa Yahya bin Shalih menganut paham Murji’ah (terlebih mengajak kepadanya) tidaklah benar.

Oleh karena itu, Yahya bin Shalih hanya dituduh menganut paham Jahmiyah, namun dia tidak mengajak kepada paham tersebut, sehingga riwayat Yahya bin Shalih dalam Shahihul Bukhari dapat diterima.

Kesimpulan Status Perawi Ahli Bid’ah dalam Shahih Bukhari:

Para rawi yang dituduh sebagai ahli bid’ah dalam Shahih Bukhari diterima riwayatnya karena salah satu dari tiga alasan berikut:

Pertama, Tuduhan bid’ah kepadanya tidak benar.

Kedua, Rawi tersebut tidak mengajak kepada bid’ahnya.

Ketiga, Rawi yang mengajak kepada bid’ahnya sudah bertaubat atau terdapat penguat untuk haditsnya.

Artikel ‘status perawi ahli bid’ah dalam shahih bukhari’ ini adalah hasil editan Muhammad Iqbal dengan beberapa perubahan dengan tanpa merubah isi tulisan Ilmiyyah karya Ahmad Abdurrahman Fauzi yang berjudul, “Telaah Status Perawi Ahli Bid’ah dalam Shahih Bukhari Ditinjau dari Ilmu Jarh wa Ta’dil”, sebagai syarat lulus dari Ma’had Al-Islam Surakarta.

Footnote:

[1]     Syahid adalah hadits yang matannya sesuai dengan matan hadits lain, baik dari segi lafal dan makna atau makna saja, akan tetapi shahabat yang meriwayatkannya berbeda (lihat Taisiru Mushthalahil Hadits susunan Ath-Thahhan, hlm. 141).

[2]     Tabi’ adalah hadits yang matannya sesuai dengan matan hadits lain, baik dari segi lafal dan makna atau makna saja, dan shahabat yang meriwayatkannya sama (lihat Taisiru Mushthalahil Hadits susunan Ath-Thahhan, hlm. 141).

[3]     Mu’allaq adalah hadits yang pada awal sanadnya ada seorang rawi atau lebih yang dihilangkan secara berturut-turut (lihat Taisiru Mushthalahil Hadits susunan Ath-Thahhan, hlm. 69).

[4]     Sebagian ulama menyatakan bahwa Qadariyyah merupakan nama lain dari Mu’tazilah (lihat Al-Milal wan Nihal susunan Asy-Syahrastani jz. 1, hlm. 38).

[5]     Syi’ah Rafidlah adalah kelompok Syi’ah yang melampaui batas dalam mencintai ahli bait, dan mengkafirkan atau memfasikkan sahabat selain mereka (lihat Al-Bida’u wal Muhdatsat susunan Hammud bin ‘Abdullah Al-Mathar, hlm. 83).

[6] Murji`ah adalah kelompok yang memisahkan amal dari hakikat iman,menyatakan bahwa iman itu cukup dengan ucapan atau keyakinan tanpa harus disertai amalan (lihat Al-Bida’u wal Muhdatsat susunan Hammud bin ‘Abdullah  Al-Mathar, hlm. 85).

[7]     Lihat lampiran hlm. 24.

[8]    Nashab adalah keyakinan berupa kebencian kepada ‘Ali dan lebih mengutamakan shahabat selainnya (lihat Asy-Syarhu wat Ta’lil susunan Yusuf Muhammad Shiddiq, hlm. 141).

[9] Pada Hadyus Sari, Ibnu Hajar menyebutkan bahwa beliau dituduh berpaham Nashab. Namun, penulis belum mendapati tuduhan ini di kitab-kitab Jarh wa Ta’dil. Yang penulis dapatkan justru tuduhan bahwa beliau mencela ‘Utsman, yang tidak sesuai dengan definisi paham Nashab. Lihat Tahzibut Tahdzib susunan Ibnu Hajar, jld. 1, hlm. 467, no. 925.

[10] Dalam Hadyu Sari hlm. 643 tertulis bahwa nama beliau adalah “Jarir bin Utsman”. Namun, di bab “Al-Mu`talif wal Mukhtalif“ beliau sendiri menegaskan bahwa nama beliau adalah “Hariz bin ‘Utsman (lihat Hadyus Sari susunan Ibnu Hajar, hlm. 337).

[11] Khawarij adalah kelompok yang memberontak terhadap ‘Ali tersebab tahkim (PR). Salah satu pendapat mereka adalah mengkafirkan pelaku dosa besar (lihat Al-Bida’u wal Muhdatsat susunan Hammud bin ‘Abdullah  Al-Mathar, hlm. 84).

[12]    Ibadliyah adalah salah satu sekte Khawarij (lihat Asy-Syarhu wat Ta’lil susunan Yusuf Muhammad Shiddiq, hlm. 9).

[13]    Najdah adalah salah seorang pemuka madzhab Khawarij (lihat Mizanul I’tidal susunan Adz-Dzahabi, jld. 4, hlm. 245, no. 9013).

[14]    Ritsa` adalah ucapan yang berisi ratapan dan kenangan terhadap kebaikan seseorang yang sudah mati (lihat Al-Mu’jamul Wasith susunan Ibrahim Unais, et al., hlm. 353).

[15] Jahmiyyah adalah kelompok pengikut Jahm bin Shafwan yang meniadakan sebagian sifat Allah serta menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kehendak dan kemampuan sendiri (lihat Al-Milalu wan Nihal susunan Asy-Syahrastani, hlm. 73).

[16] Waqaf (tawaqquf) dalam masalah Al-Qur`an adalah madzhab yang memilih untuk tidak   memutuskan apakah Al-Qur`an itu makhluk atau bukan (lihat Tadribur Rawi susunan As-Suyuthi, jz. 1, hlm. 253).

Status Ahli Bid’ah dalam Shahih Bukhari

Tinggalkan komentar