Daftar Isi:
Telaah awal dan akhir Takbir Muthlaq ‘Idul Adlha
Oleh: Ustadz Wahidin
Takbir muthlaq [1] adalah takbir ‘Idul Adlha yang dilakukan kapan saja dan di mana saja, selain setelah shalat-shalat wajib. [2]
Pendapat Ulama tentang Awal dan Akhir waktu Takbir Muthlaq
Pertama, Takbir Muthlaq Dimulai Sejak Hari Pertama Bulan Dzulhijjah hingga Hari Tasyrik Terakhir
Ahmad bin Hanbal [3] dan ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz [4] dan Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin [5] berpendapat bahwa takbir muthlaq hari raya ‘Idul Adlha dimulai sejak hari pertama bulan Dzulhijjah hingga hari Tasyrik terakhir.
Mereka berhujah dengan surat Al-Baqarah ayat 203, surat Al-Hajj ayat 28, atsar Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah, dan atsar Ibnu ‘Umar. [6]
Catatan:
(1). Surat Al-Baqarah ayat 203, menunjukkan perintah untuk melakukan takbir muthlaq setelah shalat Shubuh hari ‘Arafah hingga setelah shalat ‘Ashar hari Tasyrik terakhir (lihat analisis ayat ini).
(2). Surat Al-Hajj ayat 28, menunjukkan perintah untuk melakukan takbir muthlaq pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah (lihat analisis ayat ini).
(3). Atsar Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah, menunjukkan bahwa para shahabat melakukan takbir muthlaq pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Atsar ini marfu’ hukman, sehingga dapat dijadikan sebagai hujjah (lihat analisis atsar ini).
(4). Atsar Ibnu ‘Umar, menunjukkan bahwa beliau melakukan takbir muthlaq pada hari-hari Tasyrik. Atsar ini marfu’ hukman, sehingga dapat dijadikan sebagai hujjah (lihat analisis atsar ini).
Kesimpulan: pendapat yang menyatakan bahwa takbir muthlaq dilakukan sejak hari pertama bulan Dzulhijjah hingga hari Tasyrik terakhir dapat diterima.
Kedua, Takbir Muthlaq Dimulai Sejak Hari Pertama Bulan Dzulhijjah hingga Selesai Dua Khotbah ‘Idul Adlha
Pendapat ini adalah pendapat Al-Hanabilah, sebagaimana disebutkan oleh Al-Jaziri. [7]
Catatan: tidak ada dalil yang menguatkan pendapat tersebut. Selain itu, pendapat ini tidak sesuai dengan pemahaman surat Al-Baqarah ayat 203 yang menunjukkan perintah untuk melakukan takbir muthlaq setelah shalat Shubuh hari ‘Arafah hingga setelah shalat ‘Ashar hari Tasyrik terakhir (lihat analisis ayat ini).
Kesimpulan: pendapat yang menyatakan bahwa takbir muthlaq dimulai sejak hari pertama bulan Dzulhijjah hingga selesainya dua khothbah ‘Idul Adlha ini tidak dapat diterima.
Kesimpulan:
Takbir muthlaq dimulai sejak hari pertama bulan Dzulhijjah hingga hari Tasyrik terakhir.
Dalil-Dalil yang Berkaitan dan Analisa Ringkasnya
Pertama, Surat Al-Baqarah (2): 203
وَ اذْكُرُوا اللهَ فِيْ أَيَّامٍ مَّعْدُوْدَاتٍ
Artinya:
Dan berdzikirlah kalian kepada Allah pada hari-hari yang terhitung . . . .
Ibnu Katsir menerangkan bahwa maksud وَاذْكُرُوا اللهَ pada ayat ini adalah Allah Ta’ala memerintahkan untuk berdzikir kepada-Nya dengan melakukan takbir muthlaq dan takbir muqayyad, sedangkan maksud فِيْ أَيَّامٍ مَّعْدُوْدَاتٍ adalah setelah shalat Shubuh hari ‘Arafah hingga setelah shalat ‘Ashar hari Tasyrik terakhir. [8]
Catatan: terdapat hadits riwayat Ahmad dengan sanad yang shahih [9] dari ‘Uqbah bin ‘Amir, Rasulullah bersabda:
يَوْمُ عَرَفَةَ وَ يَوْمُ النَّحْرِ وَ أَيَّامُ التَّشْرِيْقِ عِيْدُنَا أَهْلَ اْلإِسْلاَمِ وَ هُنَّ أَيَّامُ أَكْلٍ وَ شُرْبٍ . [10]
Artinya:
Hari ‘Arafah, hari Nahr, dan hari-hari Tasyrik adalah hari raya kami (yaitu) umat Islam, dan mereka (hari-hari tersebut) adalah hari-hari makan dan minum.
Maksud ayat: Allah memerintahkan untuk melakukan takbir muthlaq dan muqayyad setelah shalat Shubuh hari ‘Arafah hingga setelah shalat ‘Ashar hari Tasyrik terakhir.
Kesimpulan: ayat ini dapat dijadikan dalil dilakukannya takbir muthlaq setelah shalat Shubuh hari ‘Arafah hingga setelah shalat ‘Ashar hari Tasyrik terakhir.
Kedua, Surat Al-Hajj (22): 28
. . . وَ يَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِيْ أَيَّامٍ مَّعْلُوْمَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْ بَهِيْمَةِ اْلأَنْعَامِ . . . .
Artinya:
. . . dan supaya mereka berdzikir kepada Allah pada hari-hari yang diketahui, atas apa yang telah Dia rezekikan kepada mereka berupa binatang-binatang ternak . . . .
Ibnu Katsir menerangkan bahwa maksud وَ يَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِيْ أَيَّامٍ مَّعْلُوْمَاتٍ pada ayat ini adalah Allah memerintahkan untuk berdzikir pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Adapun maksud berdzikir kepada Allah pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah maksudnya adalah melakukan takbir. [11]
Catatan: terdapat hadits shahih li ghairihi, dari Ibnu ‘Umar Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ ، وَ لاَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ اْلعَمَلِ فِيْهِنَّ ، مِنْ هٰذِهِ اْلأَيَّامِ اْلعَشْرِ، فَأَكْثِرُوْا فِيْهِنَّ مِنَ التَّهْلِيْلِ وَ التَّكْبِيْرِ وَ التَّحْمِيْدِ . [12]
Artinya:
Tidak ada hari-hari yang lebih mulia di hadapan Allah dan tidak pula lebih disukai oleh-Nya dari amalan (yang dilakukan) padanya daripada hari-hari yang sepuluh ini, maka kalian perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid padanya.
Al-Arna`uth [13] menshahihkan hadits Ibnu ‘Umar ini.
Catatan:
(1). Rawi-rawi pada sanad ini bersambung dan tidak ada yang dipermasalahkan padanya, kecuali Yazid bin Abu Ziyad. Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa Yazid bin Abu Ziyad ضَعِيْفٌ (lemah). Abu Zur’ah mengatakan bahwa dia لَيِّنٌ يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ وَ لاَ يُحْتَجُّ بِهِ )lembek, ditulis haditsnya, dan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah). Abu Hatim dan An-Nasa`i mengatakan bahwa لَيْسَ بِالْقَوِيِّ (dia tidak kuat). [14] Dengan demikian, Yazid bin Abu Ziyad adalah rawi dla’if.
(2). Hadits ini mempunyai syahid, yaitu hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas, berikut ini:
مَا الْعَمَلُ فِيْ أَيَّامِ الْعَشْرِ أَفْضَلَ مِنَ الْعَمَلِ فِيْ هٰذِهِ . قَالُوْا : وَ لاَ الْجِهَادُ ؟ قَالَ : وَ لاَ الْجِهَادُ ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَ مَالِهِ ، فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ . [15]
Artinya:
Tidaklah amalan pada hari-hari sepuluh (tanggal 1-10 bulan Dzulhijjah) lebih utama daripada amalan pada hari ini (hari-hari Tasyrik). Mereka (para shahabat) bertanya: Dan tidak pula jihad? Beliau menjawab, “Tidak pula jihad, kecuali seorang laki-laki yang keluar mengorbankan dirinya dan hartanya, maka dia tidak kembali dengan sesuatu pun (yakni mati syahid).”
Dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari disebutkan bahwa Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah bertakbir bersama orang banyak di pasar pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah (lihat atsar Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah yang akan datang). Perbuatan Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah tersebut menunjukkan bahwa takbir yang dilakukan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah takbir muthlaq, karena mereka berdua melakukannya di pasar bersama orang banyak.
Menurut Ibnu Katsir, perbuatan Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah tersebut menjadi penjelas tentang maksud takbir pada ayat ini. [16]
Catatan: atsar Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah tersebut berderajat shahih, begitu juga mereka berdua termasuk shahabat Nabi, sedangkan para shahabat Nabi adalah sebaik-baik generasi dan para pembawa syari’at Islam [17].
Maksud ayat: Allah memerintahkan untuk melakukan takbir muthlaq pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah
Kesimpulan: ayat ini dapat dijadikan dalil bahwa takbir muthlaq dilakukan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.
Ketiga, Atsar Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah tentang Takbir pada Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah
وَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ ، وَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوْقِ فِيْ أَيَّامِ الْعَشْرِ ، يُكَبِّرَانِ وَ يُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيْرِهِمَا . [18] رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ .
Artinya:
Adalah Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah keluar ke pasar pada hari-hari sepuluh (Dzulhijjah), keduanya bertakbir dan orang-orang pun bertakbir bersama takbir keduanya. HR Al-Bukhari.
Takbir yang dilakukan oleh Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah radliyallahu ‘anhum tersebut adalah takbir muthlaq, karena tidak dilakukan sesudah shalat-shalat wajib. Dengan demikian maksud takbir pada atsar ini adalah takbir muthlaq.
Catatan: Atsar ini berderajat shahih. Atsar merupakan perbuatan shahabat, sedangkan perbuatan shahabat pada perkara-perkara yang tidak boleh berijtihad padanya dihukumi marfu’ hukman [19]. Perkara-perkara yang para shahabat tidak boleh berijtihad padanya itu antara lain dalam perkara ibadah [20]. Atsar ini termasuk perkara ibadah yang para shahabat tidak boleh berijtihad padanya. Dengan demikian atsar ini termasuk atsar yang marfu’ hukman dan dapat dijadikan sebagai hujjah.
Kesimpulan: atsar ini dapat dijadikan hujjah tentang dilakukannya takbir muthlaq pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.
Keempat, Atsar Ibnu ‘Umar tentang Takbir pada Hari-Hari Tasyrik
وَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُكَبِّرُ بِمِنًى تِلْكَ اْلأَيَّامَ وَ خَلْفَ الصَّلَوَاتِ ، وَ عَلَى فِرَاشِهِ وَ فِيْ فُسْطَاطِهِ وَ مَجْلِسِهِ وَ مَمْشَاهُ ، تِلْكَ اْلأَيَّامَ جَمِيْعًا . [21] رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ .
Artinya:
Dan adalah Ibnu ‘Umar bertakbir di Mina pada hari-hari itu (hari Tasyrik), yaitu di belakang shalat-shalat wajib, di atas tempat tidurnya, di tendanya, di tempat duduknya, dan di waktu berjalannya, (beliau bertakbir) pada hari-hari itu semua. HR Al-Bukhari.
Takbir yang beliau lakukan di atas tempat tidur, di tenda, di tempat duduk, dan pada waktu berjalan itu adalah takbir muthlaq, sedangkan takbir yang beliau lakukan setelah shalat wajib adalah takbir muqayyad. Dengan demikian maksud takbir pada atsar ini adalah takbir muthlaq dan takbir muqayyad.
Atsar ini berderajat shahih. Atsar merupakan perbuatan shahabat, sedangkan perbuatan shahabat pada perkara-perkara yang tidak boleh berijtihad padanya dihukumi marfu’ hukman. Perkara-perkara yang para shahabat tidak boleh berijtihad padanya itu antara lain dalam perkara ibadah. Atsar ini termasuk perkara ibadah yang para shahabat tidak boleh berijtihad padanya. Dengan demikian atsar ini termasuk atsar yang marfu’ hukman dan dapat dijadikan sebagai hujjah.
Kesimpulan: atsar ini dapat dijadikan hujjah tentang dilakukannya takbir muthlaq pada hari-hari Tasyrik. (Muhammad Iqbal/ed)
FOOTNOTE:
[1] Takbir Muthlaq disebut juga dengan takbir Mursal (lihat Nihayatul Muhtaji ila Syarhil Minhaj susunan Asy-Syafi’i Ash-Shaghir, jld. 2, jz. 2, hlm. 397, b. Shalatul ‘Idain.
[2] Yusuf Al-Qardlawi, Fatawa Mu’ashirah, jz. 1, hlm. 389, Fil Munasabati wal A’yad.
[3] Lihat Al-Kafi fi Fiqhil Imami Ahmadabni Hanbal susunan Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, jld. 1, jz. 1, hlm. 270.
[4] Lihat Fatawal Lajnatid Da`imati lil Buhutsil ‘Ilmiyyati wal Ifta` susunan Ad-Duwaisy, jld. 8, hlm. 312, Shalatul ‘Idain, At-Takbiru fi Ayyamit Tasyriq, fatwa no. 10777.
[5] Fahd bin Nashir bin Ibrahim As-Sulaiman, Majmu’u Fatawa wa Rasa`ili Fadlilatisy Syaikhi Muhammadibni Shalihil ‘Utsaimin, jld. 16, hlm. 265, b. Shalatul ‘Idain.
[6] Lihat Asy-Syarhul Kabir susunan Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, jz. 2, hlm. 252.
[7] Al-Jaziri, Kitabul Fiqhi ‘alal Madzahibil Arba’ah, jld. 1, jz. 1, hlm. 324.
[8] Lihat Tafsirul Qur`anil ‘Adhim susunan Ibnu Katsir, jld. 1, hlm. 304-305.
[9] Semua rawinya tsiqah dan bersambung.
[10] Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, jz. 13, hlm. 356, h. 17312.
[11] Lihat Tafsirul Qur`anil ‘Adhim susunan Ibnu Katsir, jld. 3, hlm. 265.
[12] Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, jz. 5, hlm. 68-69, h. 5446.
[13] Lihat Al-Mausu’atul Haditsiyyatu Musnadul Imami Ahmadabni Hanbal susunan Ahmad bin Hanbal, yang ditahqiq oleh Al-Arna`uth, jz. 9, hlm. 323-324, h. 5446.
[14] Lihat Tahdzibut Tahdzib susunan Ibnu Hajar, jld. 7, hlm. 152-154, no. 9021.
[15] As-Sindi, Shahihul Bukhari bi Hasyiyatil Imamis Sindi, jld. 1, jz. 1, hlm. 333-334, h. 969.
[16] Lihat Tafsirul Qur`anil ‘Adhim susunan Ibnu Katsir, jld. 3, hlm. 265.
[17] Lihat Taisiru Mushthalahil Hadits susunan Ath-Thahhan, hlm. 165.
[18] As-Sindi, Shahihul Bukhari bi Hasyiyatil Imamis Sindi, jld. 1, jz. 1, hlm. 333.
[19] Lihat Taisiru Mushthalahil Hadits susunan Ath-Thahhan, hlm. 108.
[20] Lihat Qamusul Bida’ susunan Abu ‘Ubaidah Masyhur bin Hasan, hlm. 44-45.
[21] As-Sindi, Shahihul Bukhari bi Hasyiyatil Imamis Sindi, jld. 1, jz. 1, hlm. 334.