Daftar Isi:
- 1 Batas Minimal Penyusuan yang Menjadikan Mahram
- 2 Maksud batas minimal penyusuan Yang Menjadikan Marhram
- 3 Pendapat Ulama tentang batas minimal penyusuan Yang Menjadikan Marhram
- 4 Kesimpulan:
- 5 Dalil-Dalil Yang Berkaitan tentang batas minimal penyusuan Yang Menjadikan Marhram
- 6 dan Analisa Ringkasnya
- 6.1 Surah An-Nisa` (4) Ayat 23
- 6.2 Hadits Ummul Fadlel tentang Satu atau Dua Kali Penyusuan Tidak Menjadikan Mahram
- 6.3 Atsar ‘Aisyah tentang Lima Kali Penyusuan itu Menjadikan Mahram
- 6.4 Hadits ‘Aisyah tentang Penyusuan yang Menjadikan Mahram itu Penyusuan dari Sebab Lapar
- 6.5 Hadits ‘Aisyah tentang Haramnya Pernikahan karena Persusuan itu seperti Haramnya Pernikahan karena Nasab
- 6.6 Hadits ‘Uqbah bin Al-Harits tentang Pengakuan Penyusuan dari Seorang Budak Perempuan
Kali ini kita akan membahas tentang Batas Minimal Penyusuan yang Menjadikan Mahram menurut pemahaman Ulama atas ayat-ayat dan hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam
Batas Minimal Penyusuan yang Menjadikan Mahram
Oleh: Muhammad Rasyidi
Maksud batas minimal penyusuan Yang Menjadikan Marhram
Maksud batas minimal penyusuan pada pembahasan ini adalah batas minimum dalam hal berapa kali penyusuan tersebut dilakukan, sehingga menjadikan mahram
Pendapat Ulama tentang batas minimal penyusuan Yang Menjadikan Marhram
Lima Kali Penyusuan
Ulama yang berpendapat bahwa lima kali penyusuan merupakan batas minimal penyusuan yang menjadikan mahram adalah Asy-Syafi’i [1], Ahmad [2], Ibnu Hazm [3], dan Al-‘Utsaimin [4]
Hujjah: atsar ‘Aisyah tentang lima kali penyusuan itu menjadikan mahram. [5]
Catatan: Atsar ‘Aisyah tersebut shahih dan dapat dijadikan dalil bahwa lima kali penyusuan adalah batas minimal penyusuan yang menjadikan mahram. Selain itu, atsar ‘Aisyah tersebut membatasi ayat 23 dari surah An-Nisa` dan menerangkan hadits Ummul Fadlel, sehingga penyusuan yang dapat menjadikan mahram adalah lima kali penyusuan.
Tiga Kali Penyusuan
Ulama yang berpendapat bahwa batas minimal penyusuan yang menjadikan mahram itu tiga kali penyusuan adalah Abu Tsaur, Abu ‘Ubaid, dan Ibnul Mundzir (sebagaimana disebutkan oleh Al-‘Aini) [6] , Ishaq, Dawud Adh-Dhahiri, serta para pengikut Dawud Adh-Dhahiri selain Ibnu Hazm (Sebagaimana disebutkan oleh Al-Mubarakfuri) [7]
Hujah: hadits Ummul Fadlel tentang satu atau dua kali penyusuan itu tidak menjadikan mahram. Berdasarkan mafhum hadits tersebut, maka tiga kali penyusuan itu menjadikan mahram. [8]
Catatan:
Pertama, pendapat ini berdasarkan mafhum hadits Ummul Fadlel, sedangkan terdapat atsar ‘Aisyah yang menerangkan secara mantuq bahwa lima kali penyusuan itu menjadikan mahram. Dalil mantuq didahulukan daripada dalil mafhum (lihat analisis hadits Ummul Fadlel)
Kedua, sabda Nabi bahwa sekali atau dua kali penyusuan tidak menjadikan mahram dalam hadits Ummul Fadlel tersebut sebagai jawaban atas pertanyaan seorang sahabat yang menanyakan tentang apakah sekali atau dua kali penyusuan menjadikan mahram. [9] Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sabda beliau tidak menunjukkan batasan jumlah penyusuan yang menjadikan mahram.
Tidak Ada Batas Penyusuan
Ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batas minimal penyusuan yang menjadikan mahram adalah Malik, Abu Hanifah (Sebagaimana disebutkan oleh Al-Maraghi) [10], jumhur ulama (Sebagaimana disebutkan oleh Al-Khozin) [11] dan As-Sayyid Sabiq [12]
Hujah: ayat 23 dari surah An-Nisa`. Selain itu, Abu Hanifah juga berdalil dengan hadits ‘Aisyah tentang haramnya pernikahan karena penyusuan itu seperti haramnya pernikahan karena nasab. Adapun Malik dan As-Sayyid Sabiq berdalil dengan hadits ‘Uqbah tentang pengakuan penyusuan dari seorang budak perempuan. Malik juga berdalil dengan hadits ‘Aisyah tentang penyusuan yang menjadikan mahram itu penyusuan dari sebab lapar. Mereka menyatakan bahwa ayat dan hadits-hadits tersebut mutlaq, sehingga kapan saja penyusuan itu ada, hukum mahram itu berlaku. [13]
Catatan:
Pertama, kemutlakan ayat 23 dari surah An-Nisa` dan hadits ‘Aisyah tentang haramnya pernikahan karena persusuan itu seperti haramnya pernikahan karena nasab dibatasi oleh atsar ‘Aisyah dan hadits Ummul Fadlel, sehingga ayat dan hadits ‘Aisyah tersebut tidak dapat dipahami bahwa penyusuan itu menjadikan mahram secara mutlaq.
Kedua, tidak adanya penyebutan jumlah penyusuan dalam hadits ‘Aisyah tentang haramnya pernikahan karena persusuan itu seperti haramnya pernikahan karena nasab dan dalam hadits ‘Uqbah bin Al-Harits tentang pengakuan penyusuan dari seorang budak perempuan itu tidak menunjukkan peniadaan jumlah penyusuan yang menjadikan mahram
Ketiga, hadits ‘Aisyah tentang penyusuan yang menjadikan mahram itu penyusuan dari sebab lapar tidak dapat dijadikan dalil bahwa penyusuan itu menjadikan mahram, baik berulang maupun tidak
Kesimpulan:
Batas minimal penyusuan yang menjadikan mahram adalah lima kali penyusuan.
Hendaknya muslimin memperhatikan tentang jumlah penyusuan yang dapat menjadikan mahram.
Dalil-Dalil Yang Berkaitan tentang batas minimal penyusuan Yang Menjadikan Marhram
dan Analisa Ringkasnya
Surah An-Nisa` (4) Ayat 23
حُرِّمَتْ … وَ أُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَ أَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ …
Artinya:
Diharamkan atas kalian (menikahi) … ibu-ibu susu kalian, saudara-saudara perempuan sepersusuan kalian…
Lafalوَ أُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ (dan ibu-ibu susu kalian) dalam ayat ini menunjukkan bahwa satu kali penyusuan itu dapat menjadikan mahram karena lafal أُمَّهَاتُكُمُ tersebut dikaitkan dengan lafal أَرْضَعْنَكُمْ . Jadi, kapan saja penyusuan itu ada, maka hukum mahram itu berlaku. [14]
Ibnu ‘Asyur menerangkan bahwa penyusuan yang dapat menjadikan mahram itu adalah semua yang bisa disebut dengan penyusuan, yaitu apabila air susu mencapai lambung bayi yang disusui, meskipun hanya dengan satu kali hisapan. [15]
Menurut Ibnul ‘Arabi, yang benar adalah ayat ini dipahami secara mutlaq karena pemahaman tersebut mengamalkan keumuman Al-Qur`an. [16]
Adapun menurut Al-Qasimi [17] dan Asy-Syaukani [18], ayat 23 dari surah An-Nisa` (4) ini dibatasi dengan atsar ‘Aisyah tentang lima kali penyusuan itu menjadikan mahram.
Rasyid Ridla menambahkan keterangan bahwa ayat ini juga dibatasi dengan hadits Ummul Fadlel tentang satu atau dua kali hisapan itu tidak menjadikan mahram. [19]
Catatan:
ayat ini dipahami secara mutlaq, karena ada yang membatasinya, yaitu hadits Ummul Fadlel dan atsar ‘Aisyah. Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan bahwa Mengamalkan dalil mutlak sesuai kemutlakannya itu wajib kecuali dengan adanya dalil yang menunjukkan atas pembatasannya [20].
Kesimpulan: ayat ini dibatasi oleh hadits Ummul Fadlel dan atsar ‘Aisyah, sehingga penyusuan yang dapat menjadikan mahram itu adalah lima kali penyusuan. Ayat ini tidak dapat dijadikan dalil bahwa semua penyusuan itu menjadikan mahram
Hadits Ummul Fadlel tentang Satu atau Dua Kali Penyusuan Tidak Menjadikan Mahram
أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ حَدَّثَتْ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : لاَ تُحَرِّمُ الرَّضْعَةُ أَوِ الرَّضْعَتَانِ ، أَوِ الْمَصَّةُ أَوِ الْمَصَّتَانِ . [21]
أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ .
Artinya:
Bahwasanya Ummul Fadlel menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Satu atau dua kali penyusuan tidak menjadikan mahram, (begitu juga) satu atau dua kali hisapan.” HR Muslim.
Lafal الْمَصَّةُ berarti satu kali hisapan. Adapun lafal الرَّضْعَةُ adalah penyusuan yang mengenyangkan, dan kemungkinan terjadi dengan beberapa kali hisapan. Jadi, setiap الرَّضْعَةُ itu merupakan الْمَصَّةُ , namun الْمَصَّةُ tidak berarti الرَّضْعَةُ. [22]
Lafal أَوِ pada kalimat الرَّضْعَتَانِ أَوِ الْمَصَّةُ ini merupakan keraguan dari rawi dalam hadits ini, apakah lafal yang disampaikan oleh gurunya الرَّضْعَةُ atau الْمَصَّةُ. Adapun lafal أَوْ pada kalimat أَوِ الرَّضْعَتَانِ dan أَوِ الْمَصَّتَانِ berarti وَ (dan). [23]
Dalam sebagian riwayat, hadits ini disebutkan dengan lafal الرَّضْعَةُ , tanpa الْمَصَّةُ [24], sedangkan dalam sebagian riwayat lain disebutkan dengan lafal الْمَصَّةُ saja [25]. Jadi, makna hadits ini adalah sekali atau dua kali penyusuan serta sekali atau dua kali hisapan itu tidak menjadikan mahram. Makna ini sebagaimana dinyatakan oleh Asy-Syaukani [26].
Az-Zarqani menerangkan bahwa hadits ini menjadi salah satu pembatas bagi dhahir ayat 23 dari surah An-Nisa`(4). [27]
Dawud Adh-Dhahiri berpendapat bahwa tiga kali penyusuan itu menjadikan mahram berdasarkan mafhum hadits ini. [28]
Catatan: hadits ini tdak bisa dipahami bahwa tiga kali penyusuan itu menjadikan mahram, karena terdapat atsar ‘Aisyah yang menerangkan secara mantuq bahwa lima kali penyusuan itu menjadikan mahram. Dalil mantuq didahulukan daripada dalil mafhum, sebagaimana kaidah Ushul Fiqh bahwa Dalil mantuq itu didahulukan daripada dalil mafhum …, karena dalil mantuq lebih kuat dalam menunjukkan hukum daripada dalil mafhum [29]
Kesimpulan: hadits ini tidak dapat dipahami bahwa penyusuan yang menjadikan mahram adalah tiga kali penyusuan. hadits ini tidak dapat dijadikan dalil bahwa batas minimal penyusuan yang menjadikan mahram adalah tiga kali penyusuan
Atsar ‘Aisyah tentang Lima Kali Penyusuan itu Menjadikan Mahram
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ : كَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ : عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ يُحَرِّمْنَ ، ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُوْمَاتٍ ، فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ، وَ هُنَّ فِيْمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ . [30] أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ .
Artinya:
Dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha bahwasanya dia berkata: termasuk ayat Al-Qur`an yang diturunkan adalah sepuluh kali penyusuan yang sudah pasti itu menjadikan mahram, lalu ia dinasakh dengan lima kali penyusuan yang sudah pasti. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dan ia (lima kali penyusuan) itu termasuk ayat Al-Qur`an yang masih dibaca. HR Muslim.
Al-Hanabilah menjadikan atsar ini sebagai dalil bahwa lima kali penyusuan adalah batas minimal penyusuan yang menjadikan mahram. [31]
Al-Qurthubi menerangkan bahwa pensifatan lafal رَضَعَاتٍ dengan مَعْلُومَاتٍ dalam atsar ini untuk menghilangkan keraguan sampainya air susu ke tenggorokan bayi. [32] Adapun maksud lafal مَعْلُومَاتٍ (yang diketahui) adalah yang mengenyangkan. Dengan demikian, penyusuan yang mengenyangkan dan dilakukan dalam lima waktu yang berbeda-beda itu adalah penyusuan yang menjadikan mahram, sebagaimana yang diterangkan oleh ‘Ali Al-Qari. [33]
An-Nawawi menerangkan bahwa lafalخَمْسٌ مَعْلُوْمَات dinasakh bacaannya, sedangkan hukumnya tetap. Akan tetapi, sebagian shahabat belum mengetahui penasakhan tersebut, sehingga mereka masih membacanya. Setelah mengetahui penasakhan tersebut, mereka sepakat bahwa ayat ini tidak dibaca lagi tetapi hukumnya tetap. [34]
Catatan: Perkataan ‘Aisyah ini berkaitan dengan ayat Al-Qur`an dan dia tidak mungkin untuk berijtihad pada masalah tersebut. Dalam ilmu Mushthalah Hadits diterangkan bahwa perkataan sahabat mengenai masalah yang tidak memungkinkannya untuk berijtihad padanya, maka perkataan tersebut dihukumi marfu’ [35]. Dengan demikian, atsar ini dihukumi marfu’.
Menurut Ibnu ‘Abdil Barr, atsar ini menerangkan hadits Ummul Fadlel tentang satu atau dua kali penyusuan tidak menjadikan mahram. [36] Adapun menurut Ibnu Qudamah, atsar ‘Aisyah menjelaskan penyusuan yang menjadikan mahram dalam ayat 23 dari surah An-Nisa`. [37]
Kesimpulan: atsar ini membatasi ayat 23 dari surah An-Nisa` dan menerangkan hadits Ummul Fadlel, sehingga penyusuan yang dapat menjadikan mahram adalah lima kali penyusuan. Atsar ini dapat dijadikan dalil bahwa lima kali penyusuan adalah batas minimal penyusuan yang menjadikan mahram
Hadits ‘Aisyah tentang Penyusuan yang Menjadikan Mahram itu Penyusuan dari Sebab Lapar
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا وَ عِنْدَهَا رَجُلٌ فَكَأَنَّهُ تَغَيَّرَ وَجْهُهُ كَأَنَّهُ كَرِهَ ذلِكَ ، فَقَالَتْ : إِنَّهُ أَخِيْ ، فَقَالَ : انْظُرْنَ مَنْ إِخْوَانُكُنَّ ، فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ . [38]
أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ و مسلم [39]
Artinya:
Dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepadanya, sedangkan ada seorang laki-laki di hadapannya, maka kelihatannya raut muka beliau berubah, kelihatannya beliau membenci hal tersebut. Maka dia (‘Aisyah) berkata: Sesungguhnya dia (laki-laki) itu saudaraku. Maka beliau bersabda, “Perhatikanlah oleh kalian (para perempuan) siapa (saja) saudara-saudara laki-laki kalian, karena sesungguhnya tiada lain penyusuan (yang menjadikan mahram) itu (penyusuan) dari sebab lapar.” HR Al-Bukhari dan Muslim.
Al-Malikiyyah menjadikan hadits ini sebagai salah satu dalil bahwa penyusuan itu menjadikan mahram, baik berulang maupun tidak. [40]
Hadits ini menunjukkan bahwa penyusuan yang menjadikan mahram adalah penyusuan yang mengenyangkan dan menguatkan tubuh, yaitu ketika masih bayi sebelum dua tahun. [41]
Al-Kirmani menerangkan bahwa penyusuan yang menjadikan mahram itu penyusuan pada bayi, karena hal itu dapat mengatasi kelaparan, baik dengan sedikit air susu maupun banyaknya. [42]
Catatan: terdapat hadits yang menunjukkan bahwa sekali atau dua kali penyusuan serta sekali atau dua kali hisapan itu tidak menjadikan mahram Dengan demikian, sekali penyusuan itu tidak menjadikan mahram.
Adapun menurut Al-Qasthalani, penyusuan yang menjadikan mahram adalah penyusuan yang dapat mengenyangkan, menumbuhkan daging dan menguatakan tulang, sehingga tidak cukup dengan sekali atau dua kali hisapan air susu.
Menurut Ibnu Hajar, hadits ini dapat dijadikan dalil bahwa satu kali penyusuan itu tidak menjadikan mahram karena tidak mengenyangkan bayi. [43]
Kesimpulan: Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa penyusuan yang menjadikan mahram adalah penyusuan yang dapat mengenyangkan, menumbuhkan daging, dan menguatkan tulang, yaitu penyusuan pada masa bayi dan tidak cukup dengan satu kali penyusuan. Dengan demikian, hadits ini tidak dapat dijadikan dalil bahwa penyusuan itu menjadikan mahram, baik berulang maupun tidak.
Hadits ‘Aisyah tentang Haramnya Pernikahan karena Persusuan itu seperti Haramnya Pernikahan karena Nasab
عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمنِ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَخْبَرَتْهَا … فَقَالَ : نَعَمْ ، الرَّضَاعَةُ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلاَدَةُ . [44] أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ .
Artinya:
Dari ‘Amrah binti ‘Abdurrahman bahwasanya ‘Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahunya … Maka beliau bersabda, “Ya (boleh). Penyusuan itu menjadikan mahram sebagaimana nasab itu menjadikan mahram.” HR Al-Bukhari dan Muslim. [45]
Abu Hanifah berhujah dengan kemutlakan hadits ini bahwa sekali penyusuan itu menjadikan mahram. [46] Menurut Az-Zarqani, hadits ini menunjukkan bahwa sedikitnya penyusuan itu menjadikan mahram, karena Nabi tidak bertanya tentang berapa kali penyusuannya, bahkan menjelaskannya secara umum dan tidak memerincinya. [47]
Catatan: Tidak adanya penyebutan tentang berapa kali penyusuan dalam hadits ini tidak menunjukkan ketiadaan jumlah penyusuan yang menjadikan mahram, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Hajar [48]. Selain itu, para ulama menyatakan bahwa ketiadaan penyebutan sesuatu itu tidak untuk menyatakan ketiadaannya. [49]
Syaikh Muhammad bin Ibrahim menerangkan bahwa hadits ini dibatasi oleh atsar ‘Aisyah tentang lima kali penyusuan itu menjadikan mahram. [50]
Catatan: Dalam ilmu Ushul Fiqh disebutkan bahwa dalil yang mutlaq itu harus dipahami dengan pemahaman dalil yang muqayyad apabila hukum dan sebabnya sama. [51] Hadits ini mutlaq, sedangkan atsar ‘Aisyah tersebut muqayyad, serta kedua dalil tersebut mempunyai hukum dan sebab yang sama, yaitu diharamkannya pernikahan dengan sebab persusuan. Dengan demikian, hadits ini dipahami dengan atsar ‘Aisyah, sehingga penyusuan yang dapat menjadikan mahram itu adalah lima kali penyusuan.
Hadits ‘Uqbah bin Al-Harits tentang Pengakuan Penyusuan dari Seorang Budak Perempuan
حَدَّثَنِيْ عُقْبَةُ بْنُ الْحَارِثِ ، أَوْ سَمِعْتُهُ مِنْهُ : أَنَّهُ تَزَوَّجَ أُمَّ يَحْيَى بِنْتَ أَبِي إِهَابٍ ، قَالَ : فَجَاءَتْ أَمَةٌ سَوْدَاءُ ، فَقَالَتْ : قَدْ أَرْضَعْتُكُمَا ، فَذَكَرْتُ ذلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ، فَأَعْرَضَ عَنِّيْ ، قَالَ : فَتَنَحَّيْتُ ، فَذَكَرْتُ ذلِكَ لَهُ ، قَالَ : وَ كَيْفَ وَ قَدْ زَعَمَتْ أَنْ قَدْ أَرْضَعَتْكُمَا ، فَنَهَاهُ عَنْهَا . [52] أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ .
Artinya:
‘Uqbah bin Al-Harits telah menceritakan kepadaku (Ibnu Abi Mulaikah), -atau aku telah mendengarnya (hadits) darinya (‘Uqbah)- bahwasanya dia menikahi Ummu Yahya binti Abi Ihab, dia berkata: Maka datanglah seorang budak perempuan yang (berkulit) hitam, lalu dia berkata: Aku telah menyusui kalian berdua. Kemudian aku menyebutkan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau berpaling dariku. Dia (‘Uqbah bin Al-Harits) berkata: Maka aku menyingkir, lalu menyebutkan perkara tersebut kapada baliau. Beliau barsabda, “Dan bagaimana lagi, padahal sungguh dia (budak perempuan) telah mengaku bahwa dia telah menyusui kalian berdua.” Maka beliau melarang dia (‘Uqbah bin Al-Harits) darinya (Ummu Yahya binti Abi Ihab). HR Al-Bukhari.
Menurut As-Sayyid Sabiq, hadits ini dapat dijadikan dalil bahwa semua yang bisa disebut dengan penyusuan itu menjadikan mahram, karena Nabi tidak bertanya tentang berapa kali penyusuan keduanya. Jadi, kapan saja penyusuan itu ada, hukum mahram itu berlaku. [53]
Adapun menurut Ibnu Hajar [54], tidak adanya penyebutan tentang berapa kali penyusuan itu tidak meniadakan jumlah penyusuan yang menjadikan mahram, karena terdapat dua kemungkinan dalam hal tersebut, yaitu:
1) terjadinya peristiwa dalam hadits ini sebelum adanya penetapan jumlah penyusuan yang menjadikan mahram, atau
2) terjadi setelah penetapan jumlah penyusuan tersebut diketahui oleh orang banyak, sehingga tidak perlu disebutkan dalam setiap kejadian
Editor: Muhammad Iqbal (21/01/1445)
[1] Asy-Syafi’i, Al-Umm, jld. 3, jz. 5, hlm. 29.
[2] Lihat Al-Kafi fi Fiqhil Imami Ahmad susunan Ibnu Qudamah, jld. 3, hlm. 235.
[3] Lihat Al-Muhalla susunan Ibnu Hazm, jld. 7, jz. 10, hlm. 10.
[4] Lihat Asy-Syarhul Mumti’ susunan Al-‘Utsaimin, jld. 13, hlm. 427.
[5] Lihat Al-Umm susunan Asy-Syafi’i, jld. 3, jz. 5, hlm. 29;
Al-Kafi fi Fiqhil Imami Ahmad susunan Ibnu Qudamah, jld. 3, hlm. 235;
Al-Muhalla susunan Ibnu Hazm, jld. 7, jz. 10, hlm. 14; dan
Asy-Syarhul Mumti’ susunan Al-‘Utsaimin, jld. 13, hlm. 427.
[6] Lihat ‘Umdatul Qari susunan Al-‘Aini, jld. 7, jz. 13, hlm. 206.
[7] Lihat Tuhfatul Ahwadzi susunan Al-Mubarakfuri, jld. 4, hlm. 308.
[8] Lihat Tuhfatul Ahwadzi susunan Al-Mubarakfuri, jld. 4, hlm. 308.
[9] Lihat Al-Istidzkar susunan Ibnu ‘Abdil Barr, jld. 6, hlm. 251.
[10] Al-Maraghi, Tafsirul Maraghi, jld. 2, jz. 4, hlm. 220.
[11] Lihat Lubabut Ta`wil susunan Al-Khazin, jld. 2, hlm. 41.
[12] Lihat Fiqhus Sunnah susunan As-Sayyid Sabiq, jld. 2, hlm. 75.
[13] Lihat Al-Fiqhul Malikiyyu wa Adillatuh susunan Al-Habib bin Thahir, jld. 4, hlm. 243;
‘Umdatul Qari susunan Al-‘Aini, jld. 7, jz. 13, hlm. 206;
Subulus Salam susunan Ash-Shan’ani jld. 2, jz. 3, hlm. 212;
Lubabut Ta`wil susunan Al-Khazin, jld. 2, hlm. 41; dan
Fiqhus Sunnah susunan As-Sayyid Sabiq, jld. 2, hlm. 75.
[14] Lihat At-Tafsirul Kabir susunan Ar-Razi, jld. 5, jz. 10, hlm. 25.
[15] Lihat At-Tahriru Wat Tanwir susunan Ibnu ‘Asyur, jld. 2, jz. 4, hlm. 297.
[16] Lihat Ahkamul Qur’an susunan Ibnul ‘Arabi, jld. 1, hlm. 481.
[17] Lihat Mahasinut Ta`wil susunan Al-Qasimi, jld. 2, jz. 5, hlm. 257.
[18] Lihat Fathul Qadir susunan Asy-Syaukani, jld. 1, hlm. 445.
[19] Lihat Tafsirul Mannar susunan Rasyid Ridla, jz. 4, hlm. 470.
[20] Lihat Al-Ushulu min ‘Ilmil Ushul susunan Al-‘Utsaimin, hlm. 44.
[21] Muslim, Shahihu Muslim, jld. 3, hlm. 250, k. (17) Ar-Radla’, b. (5) Fil Mashshati wal Mashshatan, h. 1451.
[22] Lihat Al-Kaukabul Wahhaj susunan Al-Harari, jld. 16, hlm. 74.
[23] Lihat Al-Kaukabul Wahhaj susunan Al-Harari, jld. 16, hlm. 76.
[24] Shahihu Muslim susunan Muslim, jld. 3, hlm. 249, h. 1451.
[25] Shahihu Muslim susunan Muslim, jld. 3, hlm. 250, h. 1451.
[26] Lihat Nailul Authar susunan Asy-Syaukani, jld. 3, jz. 6, hlm. 263.
[27] Lihat Syarhuz Zarqani susunan Az-Zarqani, jz. 3, hlm. 240.
[28] Lihat Fathul Bari susunan Ibnu Hajar, jz. 10, hlm. 183.
[29] Lihat Al-Mahshul susunan Ar-Razi, jld. 2, hlm. 464.
[30] Muslim, Shahihu Muslim, jld. 3, hlm. 250-251, h. 1452.
[31] Lihat Al-Kafi fi Fiqhil Imami Ahmad susunan Ibnu Qudamah, jld. 3, hlm. 235.
[32] Lihat Aujazul Masalik susunan Al-Kandahlawi, jld. 10, hlm. 321.
[33] Lihat Al-Kaukabul Wahhaj susunan Al-Harari, jld. 16, hlm. 78.
[34] Lihat Shahihu Muslimin bi Syarhin Nawawi susunan An-Nawawi, jld. 5, jz. 10, hlm. 29.
[35] Lihat Taisiru Mushthalahil Hadits susunan Ath-Thahhan, hlm. 108.
[36] Lihat Al-Istidzkar susunan Ibnu ‘Abdil Barr, jld. 6, hlm. 251.
[37] Lihat Al-Kafi fi Fiqhil Imami Ahmad susunan Ibnu Qudamah, jld. 3, hlm. 235.
[38] As-Sindi, Shahihul Bukhariyyi bi Hasyiyatis Sindi, jld. 3, hlm. 432,h. 5102.
[39] Lihat Shahihu Muslim susunan Muslim, jld. 3, hlm. 254, h. 1455.
[40] Lihat Al-Fiqhul Malikiyyu wa Adillatuh susunan Al-Habib bin Thahir, jz. 4, hlm. 243.
[41] Lihat Shahihul Bukhari bi Hasyiatis Sindi susunan As-Sindi, jld. 2, hlm. 192.
[42] Lihat Shahihul Bukhariyyi bi Syarhil Kirmani susunan Al-Kirmani, jld. 7, jz. 19, hlm. 80.
[43] Lihat Fathul Bari susunan Ibnu Hajar, jz. 10, hlm. 185.
[44] As-Sindi, Shahihul Bukhariyyi bi Hasyiyatis Sindi, jld. 3, hlm. 431,h. 5099.
[45] Lihat Shahihu Muslim susunan Muslim, jld. 3, hlm. 244, h. 1444.
[46] Lihat ‘Umdatul Qari susunan Al-‘Aini, jld. 7, jz. 13, hlm. 206.
[47] Lihat Syarhuz Zarqani susunan Az-Zarqani, jz. 3, hlm. 238.
[48] Lihat Fathul Bari susunan Ibnu Hajar, jz. 10, hlm. 190.
[49] Al-‘Utsaimin, Fathu Dzil Jalali wal Ikram, jld. 1, hlm. 248.
[50] Lihat Ahkamu wa Fatawal Mar`atil Muslimah susunan ‘Umar Ahmad, hlm. 414.
[51] Lihat Al-Wajizu fi Ushulil Fiqh susunan ‘Abdul Karim Zaidan, hlm. 226.
[52] As-Sindi, Shahihul Bukhariyyi bi Hasyiyatis Sindi, jld. 2, hlm. 196, h. 2659.
[53] Lihat Fiqhus Sunnah susunan As-Sayyid Sabiq, jld. 2, hlm. 75-76.
[54] Lihat Fathul Bari susunan Ibnu Hajar, jz. 10, hlm. 191.