Telaah Puasa Sunnah Sebelum Qadla` Ramadlan

Telaah Puasa Sunnah Sebelum Qadla` Ramadlan

oleh: ‘Aina` Mujahidah

Sebagian muslimin beranggapan bahwa seseorang tidak boleh berpuasa sunnah sebelum mengqadla` puasa Ramadlan. Bahkan, seorang mubaligh mengatakan bahwa berpuasa sunnah sebelum mengqadla` puasa Ramadlan itu hukumnya haram. Akan tetapi, dalam prakteknya sebagian muslimin yang lain berpuasa Sunnah padahal masih memiliki hutang puasa Ramadhan, misal puasa 6 hari di bulan Syawal atau puasa Arafah (9 Dzulhijjah).

Fakta di atas memotivasi Ustadzah ‘Aina` Mujahidah untuk menelaah lebih lanjut dan menyusun sebuah tulisan ilmiah berjudul: HUKUM BERPUASA SUNNAH SEBELUM MENGQADLA` PUASA RAMADLAN.

Artikel ini merupakan upaya meringkas tulisan ilmiah tersebut dengan tujuan mempermudah pembaca memahami permasalahan di atas dengan ringkas dan padat. Semoga bermanfaat dan berikut uraianya. [1]

 

 

Pendapat Ulama dan Uraian Ringkasnya

Pertama, Haram.

Ulama yang berpendapat demikan adalah Al-Hanabilah [21] dan ‘Abdul Karim An-Namlah [22].

Al-Hanabilah berhujah dengan hadits Abu Hurairah tentang tidak diterimanya puasa sunnah sebelum qadla` puasa Ramadlan. Selain itu Al-Hanabilah mengiaskan dengan ibadah haji, yaitu tentang tidak bolehnya menghajikan orang lain atau menunaikan haji sunnah sebelum haji wajib. [23] Pengiasan Al-Hanabilah tersebut, menurut Ibnu Qudamah disebabkan adanya kesamaan ‘illat bahwa keduanya merupakan ibadah yang tuntutan penunaiannya berkaitan dengan harta. [24]

Catatan:

  1. Hadis Abu Hurairah adalah hadis dlaif.
  2. Kias antara qadla` ramadlan dan haji tidak tepat karena:
  • Kias tersebut menyelisihi pemahaman ayat 184 surah Al-Baqarah yang menunjukkan bolehnya berpuasa sunnah sebelum mengqadla` puasa Ramadlan.
  • Ibadah haji memang merupakan ibadah yang menuntut pengorbanan harta, sedangkan ibadah puasa bukan merupakan ibadah yang menuntut pengorbanan harta. [25] Dengan demikian, ‘illat kedua ibadah tersebut tidak dapat dikiaskan.
  • Menghajikan orang lain atau menunaikan haji sunnah sebelum haji wajib itu hukumnya diperselisihkan oleh ulama, [26] sedangkan mengiaskan pada sesuatu yang hukumnya diperselisihkan oleh ulama itu tidak diperbolehkan [27].

‘Abdul Karim An-Namlah berpendapat bahwa berpuasa sunnah sebelum mengqadla` puasa Ramadlan itu hukumnya haram, sebab puasa wajib itu berkaitan dengan tanggung jawab seseorang, sehingga apabila dia mati sebelum menunaikannya, sedang dia bermudah-mudah dalam menunaikan hal tersebut, maka dia akan disiksa. [28]

Catatan:

Qadla` puasa Ramadlan itu termasuk dalam kategori wajib muwassa’ yang penunaiannya tidak harus disegerakan, sebagaimana telah diulas pada analisis ayat 184 surah Al-Baqarah. Selain itu, menurut ijma’ ulama salaf, seseorang yang meninggal, sedangkan dia belum menunaikan ibadah wajib muwassa’ dan dia telah bertekad untuk menunaikannya, maka dia tidak termasuk bermaksiat. [29]

Kedua, Makruh.

Ulama yang berpendapat demikian adalah Al-Malikiyyah dan Asy-Syafi’iyyah [30] dan Ad-Dusuqi [31].

Al-Malikiyyah dan Asy-Syafi’iyyah mengatakan bahwa berpuasa sunnah sebelum mengqadla` puasa Ramadlan itu merupakan penundaan sesuatu yang wajib. [32]

Catatan:

Qadla` puasa Ramadlan itu termasuk dalam kategori wajib muwassa’, sedangkan menunda ibadah wajib muwassa’ itu diperbolehkan selagi waktunya longgar  [33]. Selain itu, suatu amalan itu dihukumi makruh apabila terdapat dalil yang menunjukkan bahwa amalan itu dilarang, tetapi tidak diharamkan, sebagaimana dinyatakan dalam ilmu Ushul Fiqh [34]. Adapun dalam hal berpuasa sunnah sebelum qadla` puasa Ramadlan ini tidak ada dalil yang melarangnya.

Ketiga, Mubah

Ulama yang berpendapat demikian adalah Al-Hanafiyyah [35] Sa’id bin Al-Musayyab [36] dan Abu Malik [37].

Al-Hanafiyyah mengatakan bahwa hukum berpuasa sunnah sebelum mengqadla` puasa Ramadlan itu mubah, sebab qadla` puasa Ramadlan itu pelaksanaannya tidak wajib dilakukan dengan segera. [38]

Catatan: sesuai dengan pemahaman makna ayat 184 surah Al-Baqarah bahwa mengqadla` puasa Ramadlan itu tidak wajib disegerakan. Selain itu, qadla` puasa termasuk dalam kategori wajib muwassa’, sehingga seseorang yang melakukan puasa sunnah sebelum mengqadla` puasa Ramadlan itu mubah.

Sa’id bin Al-Musayyab, beliau menyatakan bahwa berpuasa sunnah sebelum mengqadla` puasa Ramadlan itu tidak baik. Berikut ini pernyataan beliau:

لاَ يَصْلُحُ حَتَّى يَبْدَأَ بِرَمَضَانَ . [39]  أَخْرَجَهُ اْلبُخَارِيُّ .

Artinya:

Dia (seseorang) itu tidak baik (berpuasa sunnah sepuluh hari pada awal Dzulhijjah) sehingga dia mendahulukan (qadla` puasa) Ramadlan. HR Al-Bukhari.

Ibnu Hajar menerangkan bahwa perkataan Sa’id bin Al-Musayyab ini menunjukkan bolehnya berpuasa sunnah bagi orang yang mempunyai tanggungan puasa Ramadlan. [40]

Perkataan Sa’id bin Al-Musayyab ini pada asalnya merupakan jawaban sebuah pertanyaan dari seorang lelaki kepada Sa’id bin Al-Musayyab tentang hukum berpuasa sunnah sepuluh hari pada bulan Dzulhijjah, sedangkan saat itu seorang lelaki tersebut mempunyai tanggungan puasa Ramadlan yang belum diqadla`. [41]

Catatan:

Dalam hal ini, Sa’id bin Al-Musayyab tidak menyertakan hujah yang mendasari pendapat beliau. Namun demikian, pendapat ini dapat diterima, karena sesuai dengan pemahaman makna ayat 184 surah Al-Baqarah.

Kesimpulan dan Saran

  1. Hukum berpuasa sunnah sebelum mengqadla` puasa Ramadlan adalah mubah.
  2. Perbedaan pendapat ulama tentang hukum berpuasa sunnah sebelum mengqadla` puasa Ramadlan ini hendaknya tidak menjadikan perselisihan di antara muslimin.

Dalil yang berkaitan dan Analisa Ringkasnya

Pertama, Surah Al-Baqarah Ayat 184 tentang Kewajiban Mengqadla` Puasa Ramadlan

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Artinya:

Maka barangsiapa yang di antara kalian adalah dia itu sakit atau pada perjalanan (kemudian dia tidak berpuasa), maka (dia wajib mengganti) sebanyak (hari yang dia tidak berpuasa itu) dari sebagian hari-hari yang lain.

Maksud ayat ini adalah barangsiapa tidak berpuasa pada bulan Ramadlan karena sakit atau safar, maka dia wajib mengganti puasa sebanyak hari yang dia tidak berpuasa itu pada hari yang lain.

Ibnu ‘Asyur [2] dan Al-Alusi  [3]  memahami bahwa lafal فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ pada ayat ini menunjukkan bahwa qadla` puasa Ramadlan itu tidak wajib dilakukan secara berturut-turut dan tidak pula wajib disegerakan.

Abu Malik memahami bahwa lafal tersebut menunjukkan tidak adanya batasan waktu untuk mengqadla` puasa Ramadlan, [4] akan tetapi jumhur ulama bersepakat bahwa batas akhir waktu mengqadla` puasa adalah sebelum tanggal satu Ramadlan tahun berikutnya. [5]

Ibnu ‘Asyur menyatakan bahwa qadla` puasa termasuk dalam kategori wajib muwassa`. [6] Wajib muwassa’ adalah suatu amalan yang ditentukan oleh Syari’ bahwa waktu pelaksanaannya longgar, sehingga dapat digunakan untuk melaksanakan amalan tersebut maupun amalan lain sejenisnya. [7]

Catatan: mengqadla` puasa Ramadlan itu waktunya longgar, sehingga seseorang boleh berpuasa sunnah sebelum mengqadla` puasa Ramadlan tersebut.

Kedua, Hadits ‘Aisyah tentang Penundaan Qadla` Puasa Ramadlan sampai Bulan Sya’ban

عَنْ أَبِيْ سَلَمَةَ قَالَ : سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا تَقُوْلُ : كَانَ يَكُوْنُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلاَّ فِيْ شَعْبَانَ ؛ قَالَ يَحْيَى : اَلشُّغْلُ مِنَ النَِّبيِّ أَوْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ . [8]  أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ .

Artinya:

Dari Abu Salamah, dia berkata: Aku mendengar ‘Aisyah radliyallahu ‘anha, dia berkata: Dahulu ada (tanggungan) atasku dari puasa Ramadlan, maka aku tidak mampu mengqadla` kecuali pada bulan Sya’ban. Yahya berkata: Kesibukan (‘Aisyah itu) dari (sebab) Nabi atau dengan (sebab) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Bukhari telah mengeluarkannya.

Hadits ‘Aisyah ini berderajat shahih, karena diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab shahihnya. Namun demikian, hadits ini merupakan hadits mauquf [9] yang mempunyai hukum marfu’ atau marfu’ hukman, sebab peristiwa ini terjadi pada masa hidup Rasulullah[10]. Hadits marfu’ hukman dapat dijadikan dalil. [11]

Al-‘Aini memahami bahwa lafal كَانَ يَكُوْنُ dalam hadits ini menunjukkan keberlangsungan dan terulangnya suatu perbuatan [12].

Ibnu Hajar menyatakan bahwa lafal اَلشُّغْلُ مِنَ النَّبِيِّ أَوْ بِالنَّبِيِّ  (Kesibukan itu dari sebab Nabi atau dengan sebab (melayani) Nabi) pada hadits ini tidak dapat dijadikan alasan untuk penundaan qadla` puasa ‘Aisyah. [13]

Ketiga, Hadits Abu Hurairah tentang Tidak Diterimanya Puasa Sunnah sebelum Qadla` Puasa Ramadlan

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : مَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ وَ عَلَيْهِ مِنْ رَمَضَانَ شَيْئٌ لَمْ يَقْضِهِ ، لَمْ يُتَقَبَّلْ مِنْهُ ، وَ مَنْ صَامَ تَطَوُّعًا وَ عَلَيْهِ مِنْ رَمَضَانَ شَيْئٌ لَمْ يَقْضِهِ ، فَإِنَّهُ لاَ يُتَقَبَّلُ مِنْهُ حَتَّى يَصُوْمَهُ . [14]  أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ .

Artinya:

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadlan sedang atasnya ada sesuatu (tanggungan puasa) dari bulan Ramadlan yang dia belum mengqadla`nya, (maka) ia (puasa) darinya tidak diterima, dan barangsiapa yang berpuasa sunnah sedang atasnya ada sesuatu (tanggungan puasa) dari bulan Ramadlan yang dia belum mengqadla`nya, maka sesungguhnya ia (puasa sunnah) darinya itu tidak diterima sampai dia mempuasainya (mengqadla`nya).” Ahmad telah mengeluarkannya.

Maksud hadits ini adalah Allah tidak menerima puasa sunnah seseorang selama dia masih mempunyai tanggungan puasa Ramadlan.

Catatan: Hadits ini berderajat dla’if [15], sehingga tidak dapat dijadikan hujah [16]. Sanad hadits ini bersambung dan rawi-rawinya tsiqat, kecuali Ibnu Lahi’ah. Ibnu Lahi’ah, dikatakan oleh Ibnu Hajar bahwa Abu Hatim dan Abu Zur’ah mengatakan bahwa dia adalah rawi dla’if yang haditsnya ditulis. [17] Ibnu Khirasy mengatakan bahwa Ibnu Lahi’ah merupakan rawi yang mencatat hadits dalam suatu kitab, kemudian kitabnya terbakar. Setelah itu, Ibnu Lahi’ah menerima semua hadits yang dibacakan oleh muridnya, sekalipun hadits tersebut maudlu’. Al-Khathib mengatakan bahwa Ibnu Lahi’ah bermudah-mudah dalam menerima hadits, sehingga banyak didapati hadits-hadits munkar dalam periwayatannya. [18]

Keempat, Hadits Abu Ayyub Al-Anshari tentang Keutamaan Puasa Enam Hari Bulan Syawwal

عَنْ عُمَرَ بْنِ ثَابِتِ بْنِ الْحَارِثِ الْخَزْرَجِيِّ عَنْ أَبِيْ أَيُّوْبَ اْلأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ . [19] أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

Artinya:

Dari Umar bin Tsabit bin Al-Harits Al-Khazraji, dari Abu Ayyub Al-Anshari radliyallahu ‘anhu bahwasanya dia menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang telah berpuasa Ramadlan kemudian dia mengikutkannya (dengan) enam (hari) dari bulan Syawwal, (maka) adalah ia (puasa itu) seperti puasa satu tahun.” Muslim telah mengeluarkannya.

Al-‘Utsaimin memahami bahwa lafal “Barangsiapa telah berpuasa Ramadlan” dalam hadits ini menunjukkan bahwa syarat untuk mendapatkan pahala seperti berpuasa selama satu tahun itu jika telah menyempurnakan puasa Ramadlan. [20]

(Muhammad Iqbal/ed)

 FOOTNOTE:

[1]     Artikel ini disusun oleh Muhammad Iqbal dan dalam penyusunanya menjadikan karya tulis ustadzah

[2]     Lihat Tafsirut Tahriri wat Tanwir susunan Ibnu ‘Asyur, jld. 1, jz. 2, hlm. 164.

[3]     Lihat Ruhul Ma’ani susunan Al-Alusi, jld. 1, jz. 2, hlm. 455.

[4]     Lihat Shahihu Fiqhis Sunnah susunan Abu Malik, jld. 2, hlm. 141.

[5]     Lihat Al-Mausu’atul Fiqhiyyah susunan Wizaratul Auqafi wasy Syu`unil Islamiyyah, jld. 28, hlm. 76.

[6]     Lihat Tafsirut Tahriri wat Tanwir susunan Ibnu ‘Asyur, jld. 1, jz. 2, hlm. 165.

[7]     Lihat Ushulul Fiqhil Islami susunan Wahbah Az-Zuhaili, jld. 1, hlm. 50.

[8]     Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld. 2, hlm. 49, k. Ash-Shaum, b. Mata Yuqdla Qadla`u Ramadlan, h. 1950.

[9]     Mauquf adalah: Perbuatan, perkataan, atau pernyataan yang disandarkan kepada shahabat (lihat Taisiru Mushthalahil Hadits susunan Mahmud Ath-Thahhan, hlm. 108).

[10]   Lihat Taisiru Mushthalahil Hadits susunan Mahmud Ath-Thahhan, hlm. 108.

[11]     Lihat Taisiru Mushthalahil Hadits susunan Mahmud Ath-Thahhan, hlm. 109.

[12]   Lihat ‘Umdatul Qari susunan Al-‘Aini, jld. 6, jz. 11, hlm. 56.

[13]   Lihat Fat-hul Bari susunan Ibnu Hajar, jld. 4, hlm. 223.

[14]   Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Al-Musnad, juz. 8, hlm. 368, h. 8606.

[15]   Lihat lampiran, hlm. 26-27.

[16]     Lihat Taujihul Qari susunan Az-Zahidi, hlm. 167.

[17] Lihat Tahdzibut Tahdzib susunan Ibnu Hajar, jld. 3, hlm. 624.

[18]   Lihat Tahdzibut Tahdzib susunan Ibnu Hajar, jld. 3, hlm. 624.

[19]   Muslim, Shahihu Muslim, jld. 2, hlm. 524, , h. 1164.

[20]   Lihat Syarhu Riyadlish Shalihin susunan Al-‘Utsaimin, jld. 3, hlm. 465-466.

[21] Wizaratul Auqafi wasy Syu`unil Islamiyyah, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah, jld. 28, hlm. 100.

[22]   Lihat Taisiru Masa`ilil Fiqh susunan ‘Abdul Karim bin ‘Ali An-Namlah, jld. 2, hlm. 411.

[23]   Lihat Al-Mausu’atul Fiqhiyyah susunan Wizaratul Auqafi wasy Syu`unil Islamiyyah, jld. 28, hlm. 100.

[24]   Lihat Al-Mughni susunan Ibnu Qudamah, jld. 3, hlm. 84.

[25]   Lihat Al-Mausu’atul Fiqhiyyah susunan Wizaratul Auqafi wasy Syu`unil Islamiyyah, jld. 29, hlm. 258-259.

[26]   Lihat Al-Fiqhul Islamiyyu wa Adillatuh susunan Wahbah Az-Zuhaili,  jld. 3, hlm. 116-117.

[27]   Lihat Al-Wajizu fi Ushulil Fiqh susunan ‘Abdul Karim Zaidan, hlm. 197.

[28]   Lihat Taisiru Masa`ilil Fiqh susunan ‘Abdul Karim bin ‘Ali An-Namlah, jld. 2, hlm. 411.

[29]   Lihat Al-Mustashfa fi ‘Ilmil Ushul susunan Al-Ghazali, jld. 1, hlm. 70.

[30]   Lihat Al-Mausu’atul Fiqhiyyah, susunan Wizaratul Auqafi wasy Syu`unil Islamiyyah,  jld. 28, hlm. 100.

[31]   Lihat  Al-Mausu’atul Fiqhiyyah susunan Wizaratul Auqafi wasy Syu`unil Islamiyyah, jld. 28, hlm. 100.

[32]   Lihat Al-Mausu’atul Fiqhiyyah susunan Wizaratul Auqafi wasy Syu`unil Islamiyyah, jld. 28, hlm. 100.

[33]   Lihat Al-Bahrul Muhithu fi Ushulil Fiqh susunan Az-Zarkasyi, jld. 1, hlm. 167.

[34]   Lihat Ushulul Fiqh susunan Abu Zahrah, hlm. 45.

[35]   Lihat  Al-Mausu’atul Fiqhiyyah susunan Wizaratul Auqafi wasy Syu`unil Islamiyyah, jld. 28, hlm. 100.

[36]   Lihat Shahihul Bukhari susunan Al-Bukhari, jld. 2, hlm. 49, k. Ash-Shaum, b. Mata Yuqdla Qadla`u Ramadlan.

[37]   Lihat Shahihu Fiqhis Sunnah susunan Abu Malik, jld. 2, hlm. 141.

[38]     Lihat  Al-Mausu’atul Fiqhiyyah susunan Wizaratul Auqafi wasy Syu`unil Islamiyyah, jld. 28, hlm. 100.

[39] Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, jld. 2, hlm. 49, k. Ash-Shaum, b. Mata Yuqdla Qadla`u Ramadlan.

[40]   Lihat Fat-hul Bari susunan Ibnu Hajar, jld. 4, hlm. 221.

[41]   Lihat ‘Umdatul Qari susunan Al-‘Aini, jld. 6, jz. 11, hlm. 54.

Leave a Reply